JIKA Tuan seorang ahli sejarah, Tuan pasti tahu nama Desa Cibintinu. Itulah desa kami dulu. Di sinilah pelajar Soekarno bertemu dengan salah seorang leluhur kami, petani Marhaen. Ketika pelajar Soekarno menjadi kian ternama, nama leluhur kami itu acapkali disebut-sebut dalam pidato-pidatonya. Sudah pasti, kami merasa sangat bangga.
Berpuluh tahun lamanya kami hidup dalam kebanggaan semacam itu. Kemudian, peristiwa pada pertengahan tahun 60-an mengubah segalanya. Deru puluhan mobil jip dan gemuruh ratusan pasang sepatu lars yang sepanjang malam tak henti-henti itu seketika menghancurluluhkan kemegahan nama Marhaen dalam benak kami. Sejak itu, kami dibayang-bayangi rasa ngeri, terkucil, dan dicemooh orang-orang sekitar bahwa kami keturunan orang-orang pengkhianat dan biadab. Kami ditiadakan.
Beruntung, masih ada satu nama yang tersisa dalam ingatan kami yang membuat kami masih terhubung dengan tanah kelahiran kami; membuat kami merasa tetap ada. Sebuah nama yang tidak Tuan kenali: Kimri. Demi memperjuangkan keberadaan kami, perkenankan kami bercerita tentangnya kepada Tuan.
**
KIMRI adalah seorang bujang belasan tahun, anak kedua janda Juanah. Karena amat miskin, Kimri tidak bersekolah. Pekerjaan sehari-harinya mencari ikan belut, bogo, lele, dan tutut di sawah, situ yang baru dikuras airnya, atau séké. Kemudian, ia menjualnya kepada penduduk sekitar Desa Cibintinu, Karasak, dan Cibuntu. Selain itu, ia kerap disuruh berbagai pekerjaan oleh penduduk di tiga desa kecil yang dipisahkan oleh Kali Citepus itu. Mulai dari mencari kayu bakar sampai menjualkan ikan di pasar. Jika sedang tidak ada yang menyuruh, Kimri sering tampak berkeliaran di sawah untuk melakukan kegemarannya: mengetapel burung pipit dan belekok.
Kimri disukai semua orang bukan hanya karena hasil pekerjaannya yang selalu memuaskan, tetapi juga karena selalu berpenampilan aneh. Pecinya dipasang melintang. Sarung belelnya melintang dari bahu ke pinggang. Matanya merah. Badannya kurus. Tangan kirinya selalu menggenggam ketapel. Selain itu, ia pun memiliki kebiasaan yang membuatnya makin dikenal. Ia suka berjongkok di pinggir jalan dan jika ada orang yang lewat, ia akan menirukan suara belekok dengan amat persisnya, “Kek… koook… kek… koook!”
Satu hal lagi yang membuat Kimri dikenal adalah karena orangnya yang seakan tidak mengenal rasa takut. Ia seringkali negér di pinggir Situ Haji Tamrin yang terkenal angker. Konon, di dasar situ itu terdapat lubang kadal meteng, sarang kadal dan lele siluman. Namun, Kimri tak terpengaruh dengan cerita itu
Suatu hari, Situ Haji Tamrin dikuras. Kimri diminta oleh Abah Sumanta, orang kepercayaan Haji Tamrin, untuk menemaninya menjaga situ selama pengurasan berlangsung. Situ dikuras mulai pada saat waktu asar. Abah Sumanta dibantu Kimri mengalirkan air situ ke Kali Citepus yang berada dekat di sampingnya.
Tengah malam itu, Kimri dibangunkan Abah Sumanta untuk bergilir menjaga situ. Kimri nongkrong di pinggiran situ yang berseberangan dengan saung. Sesekali, ia menirukan suara belekok. Menjelang wanci janari, Kimri melihat sebutir cahaya melesat dari suatu tempat di arah Cibintinu. Cahaya itu membubung, lalu kembali menukik. Kimri memperhatikan, cahaya itu makin lama makin membesar dan mendekat ke arah situ. Dilihatnya cahaya itu mengepak-ngepak dan mengeluarkan suara, “Kek… koook… kek… koook!” Lalu, cahaya itu hinggap di pinggiran situ antara dirinya dan saung. Kimri pun kian takjub saat melihat cahaya itu ternyata seekor belekok sebesar kambing. Putih bercahaya. Setelah berjalan beberapa langkah, belekok itu terjun ke situ dan menimbulkan suara gedebur air, lalu lenyap tanpa bekas. Kimri tersenyum.
Keesokan paginya, air situ telah surut. Berbagai penghuninya bergerak-gerak menyebabkan air situ berkecipakan. Beberapa orang penduduk telah berdatangan. Mereka bersiap menangkap ikan. Mujair akan diserahkan kepada Haji Tamrin, ikan lainnya boleh mereka ambil. Para anak buah Haji Tamrin mengawasi di pinggiran kolam. Jika sudah beramai-ramai berada di sana dan air dalam keadaan surut, keangkeran Situ Haji Tamrin seakan lenyap. Apalagi mereka tidak mendapati lubang yang disebut-sebut sebagai liang kadal meteng itu. Sementara, Kimri masih tertidur di saung.
Pada sore harinya, ketika sudah tak seorang penduduk pun tampak, Kimri nongkrong di saung tepi situ itu. Tiba-tiba terdengar bunyi kecipak air dari arah kolam. Dilihatnya di bagian tengah kolam kilatan-kilatan dari tubuh segerombol lele yang ditimpa cahaya matahari senja. Kimri tersenyum dan serta-merta mengambil ayakan besar, lalu terjun ke situ. Ia pun melangkah menuju gerombolan lele itu. Kakinya tergubal-gubal dalam lumpur. Ketapelnya dikalungkan. Sesampainya di tengah, ia melihat lele yang besar-besar terjebak dalam dasar kolam yang sama sekali tak berair. Namun, ketika Kimri hendak menciduk lele-lele itu, mereka secara bersamaan bergerak menjauhinya.
Kimri terus mengejar lele-lele itu. Tampak dari wajahnya yang berseri-seri, hatinya girang. Sesekali, ia berhenti, menegakkan tubuhnya, lalu menirukan suara belekok. Tanpa terasa, ia dan lele-lele itu telah sampai di tepi kolam. Belum satu lele pun ia dapat. Entah kenapa, lele itu begitu lingas. Tanpa disadarinya, lele-lele itu menuju sebuah lubang sebesar setengah lingkaran nyiru. Badannya membungkuk. Tangannya merogoh-rogoh lubang itu. Namun, belum satu pun lele ia dapatkan. Ia terus merogoh sedalam mungkin lubang itu.
Hari pun menjelang magrib. Kemarau membuat langit bersih dan pantulan sinar matahari pada langit barat membuat bumi tampak terang. Di tanah milik Wak Ata Jendol yang sedang dibangun rumah, Kimri duduk mencangkung di atas tumpukan batu-bata setinggi lutut. Pancaran lembayung membuat bayangannya panjang, namun pudar.
“Eh, kamu, Kimri. Kebetulan. Tolong belikan daun sirih ke Bi Oyoh,” pinta Wak Ekih, salah seorang warga Karasak, sembari mengulurkan sekeping lima rupiah, “Kembaliannya kamu ambil saja. “
Namun, Kimri bergeming. Hanya ketapel yang tergantung di lehernya yang tampak bergerak-gerak kecil ditiup angin. Kedua lengan dan kaki dari telapak hingga betis ditutupi lapisan tipis lumpur yang sebagian telah mengering.
“Kimri?” Wak Ekih menegurnya. Namun, Kimri masih bergeming. Tampak mata merahnya seakan tak berkedip. Wak Ekih akhirnya urung menyuruhnya. Ayannya bakal kambuh, pikirnya. Ia pun bergegas pergi meninggalkan bujang yatim itu.
Keesokan harinya, ketiga desa kecil itu geunjleung. Kimri ditemukan mati di Situ Haji Tamrin. Jasadnya ditemukan kedua saudaranya yang tengah mencarinya karena dua hari tidak pulang ke Cibintinu. Kepalanya dalam keadaan terbenam ke dalam lumpur. Saat diangkat, tubuhnya telah kaku. Kedua batang lengannya terjulur lurus dengan telapak mengepal. Kepalanya merunduk.
Hampir semua penduduk berkumpul di sana. Saat hari beranjak siang, tampak lima orang lelaki berseragam polisi di sana. Abah Sumanta dan kedua orang saudara Kimri dipanggil dan dibawa sebagai saksi. Penduduk lainnya membantu janda Juanah mengurus mayat Kimri.
Para penduduk betul-betul dibuat sangat kaget dengan peristiwa ini. Terlebih Wak Ekih.
“Pantesan atuh kemarin saya suruh-suruh, Kimri diam saja. Sinarieun!” serunya berkali-kali kepada semua orang.
Mereka merasa kehilangan, sekaligus ngeri karena Kimri mati dalam keadaan tidak wajar. Kabar santer menyebutkan, jiwanya diambil siluman situ untuk dijadikan penduduk di kerajaannya.
Kengerian itu berlanjut dan bertambah-tambah saat dua orang perawan Karasak, Rukmini dan Suramah, berlarian sembari berteriak-teriak sejadi-jadinya saat mereka hendak melewati petak sawah milik Haji Warsid. Setelah ditanya, mereka mengaku melihat sosok Kimri tengah berdiri tegak dengan mata merah menatap kosong tanpa berkedip di antara padi-padi yang mulai menguning.
**
JIKA Tuan kebetulan melalui Jalan Karasak dari arah Jalan Soekarno-Hatta, Tuan akan mendapati lembah kecil. Tepat pada titik turunan, di sebelah kiri jalan, ada tanah kecil bekas Tugu Marhaen. Lihatlah bengkel mobil di sebelahnya. Itulah bekas rumah janda Juanah. Lalu, Tuan pun akan melewati rumah besar yang di halamannya terdapat pohon cemara yang tinggi. Itulah bekas sawah Haji Warsid. Jika di dekat-dekat sana Tuan kebetulan melihat sosok bujang berkopiah melintang di kepala, berselendang sarung, dan bermata merah sedang berjongkok di tepi jalan, sapalah ia atau suruhlah ia membantu Tuan melakukan suatu pekerjaan. Namun, jangan gusar jika ia bergeming saja. Sebab, Tuan tahu, ia hanya kenangan. Sisa kenangan kami. Sebagai ahli sejarah, Tuan tentu mengerti, betapa berharganya ia bagi kami.
***
Bandung, 17-18 Agustus 2010
Keterangan
bogo: gabus, tutut: keong sawah, situ: kolam besar yang secara periodik dikuras untuk diambil ikan-ikannya, séké: kolam alami yang tak pernah dikuras, belekok: burung kuntul, kadal meteng: kadal siluman, negér: menangkap ikan dengan cara menjebaknya ke dalam borongsong yang telah diberi umpan, borongsong: kantong yang terbuat dari anyaman bambu dan berbentuk bulat, wanci janari: waktu sebelum subuh/waktu sahur, ayakan: saringan dari anyaman bambu, lingas: lincah/susah ditangkap, nyiru: nampan, geunjleung: heboh karena sesuatu yang menakutkan atau aib, sinarieun: tidak seperti biasanya/tumben.
Cerpen ini juga telah dimuat di harian Tribun Jabar pada tanggal 7 Agustus 2016.
*Topik Mulyana. Dosen Filologi di FKIP Universitas Muhammadiyah Tangerang, Kritikus Sastra. Koordinator Divisi Karya BPP FLP 2013 – 2017.