Humaira, gadis cilik berusia 12 tahun itu meringkuk ketakutan seraya memeluk Umar, adiknya yang masih berusia lima tahun. Mereka bersembunyi di dalam almari dapur rumahnya yang gelap tanpa listrik.
“Kakak, aku takut sekali…” Umar berbisik pelan. Tubuhnya menggigil ketakutan dan ia mulai menangis.
“Sst… diamlah Umar, jangan menangis,” Ia membekap mulut Umar ”Nanti kita bisa ketahuan.”
Brak! Bug! Suara-suara keras pintu- pintu dibanting, diriingi derap langkah kaki bersepatu boot. Langkah-langkah berat itu semakin lama semakin mendekat. Mereka berdiri di depan lemari tempat Humaira bersembunyi. Humaira terus berdo’a di dalam hati, “Ya Allah, lindungilah kami dari kejahatan makhlukMu.”
Mereka menyenter seluruh bagian ruangan. Prang! Piring-piring di dapur berjatuhan. Humaira, mengintip dari lubang kunci lemari di bawah wastafel tempat ibunya biasa mencuci. Mereka kira-kira berjumlah empat orang, lelaki berseragam militer dengan senapan laras panjang. Jantung Humaira berdetak keras, tangannya gemetaran dan keringat dingin membanjiri tubuh kurusnya. Sementara Umar, membenamkan wajahnya ke dada Humaira seraya memegangi celananya yang mulai basah karena air kencing. “Rumah ini kosong, ayo kita sisir rumah-rumah yang lain!” perintah pria bertubuh tinggi besar itu kepada anak buahnya. Humaira terduduk lemas di dalam lemari, sendi-sendi tubuhnya seakan tak kuat menopang. Ia berbisik pada Umar, “Kita sudah aman Umar, mereka sudah pergi.” Umar melepaskan tangisannya di pelukan Humaira.
Kota Alepo, di bagian utara Suriah sudah seperti kota mati. Sejak peperangan dua tahun yang lalu. Rumah-rumah dan bangunan luluh lantak, rata dengan tanah. Laki-laki berseragam itu memang biasa menyisir rumah-rumah penduduk di Alepo. Ahmad, teman sekolah Humaira sudah tewas seminggu yang lalu. Seluruh keluarganya ditembaki membabi buta, mereka memuntahkan peluru-peluru tak tentu arah, merangsek ke dalam rumah dan mengetahui siapa saja anggota keluarganya, bahkan mereka hafal satu persatu namanya.
***
Siang itu, matahari menyinari bumi Alepo. Pakaian lusuh Humaira berkibar-kibar ditiup angin dari atas pohon. Sementara Umar duduk di bawah rimbunnya pohon seraya menantikan buah-buahan yang dipetik Humaira. Mereka memang biasa mengumpulkan makanan dari alam, belakangan ini sulit sekali mendapatkan makanan di Suriah. Jika beruntung mereka bisa makan buah-buahan atau kacang-kacangan, jika tidak, rumput, daun-daunan, dan segelas air pun sudah cukup menghilangkan lapar. Hening, hanya terdengar tiupan angin dan gemersik daun. Tiba-tiba, Bum! Sebuah bom dijatuhkan dari pesawat tempur, memecah keheningan kota Alepo. Umar menjerit ketakutan. Mereka segera berlindung ke dalam Masjid. Bum! bangunan Masjid bergetar. Dengungan mesin-mesin tempur di udara bak ribuan lebah yang siap menyerang, semakin lama suaranya semakin keras, memekakkan telinga. Humaira berusaha melindungi Umar dari serpihan-serpihan bangunan Masjid yang mulai rontok. Mereka hanya bisa pasrah. Duar! Krak! Sebuah bom mengenai sisi kanan Masjid, Masjid itu runtuh dan menimpa tubuh mungil mereka. Nyeri dan sakit yang amat-sangat, Humaira berusaha bertahan, “Umar..umar..” suaranya ibarat bisikan yang hilang ditelan angin. Sunyi, tak ada jawaban, hanya terdengar rintihan-rintihan dari mulut mungil Umar. Mata Humaira mulai berkunang-kunang, redup semakin meredup dan gelap.
***
“Humaira, Humaira,” sayup-sayup terdengar suara seseorang memanggil namanya. Ia masih belum sadar sepenuhnya. Tercium olehnya bau anyir darah dan obat antiseptik yang menusuk hidung. Derap-derap langkah kaki mondar-mandir di dalam ruangan diiringi erangan-erangan beberapa orang yang menahan sakit. “Humaira..” suara itu kembali memanggilnya. Humaira berusaha membuka matanya sedikit demi sedikit, dilihatnya orang berpakaian putih lalu lalang, pandangannya masih buram. Ia menengok ke kanan beberapa orang merintih kesakitan dengan balutan perban. Lalu ia menoleh ke sumber suara yang memanggil-manggil namanya. Ditatapnya seorang laki-laki paruh baya, berambut tebal dan bertubuh tinggi. Ternyata Ammuh Azzam, ia adalah teman baik ayah Humaira yang bekerja sebagai dokter.
“Ammuh..”
“Apa kau sudah sadar, nak?”
“Ya, hanya saja lenganku sakit sekali.”
“Tenanglah, jangan banyak bergerak.”
“Bagaimana dengan Umar, ammuh?”
“Umar baik-baik saja, hanya saja…” Ucapan Ammuh Azzam terhenti seraya menatap Humaira dengan tatapan iba.
“Kuatkan hatimu nak..”
“Ada apa ammuh?”
“Adikmu harus diamputasi kaki kirinya, karena terkena serpihan bom.”
Humaira terdiam, ada setitik bening di sudut matanya. Menahan perihnya luka hati, mengingat kondisi Umar yang kelak hanya memiliki satu kaki. Selama beberapa hari ke depan mereka harus menginap di rumah sakit, sampai semua luka-lukanya pulih kembali.
***
Seminggu kemudian
“Ammuh, apa kami sudah boleh keluar dari rumah sakit?” tanya Humaira kepada Ammuh Azzam yang setiap pagi selalu rutin mengunjungi Umar dan Humaira.
“Sudah bisa, di mana ibumu?” tanya Ammuh Azzam,” Pihak rumah sakit akan menghubunginya agar menjemput kalian.”
“Ibu…sudah meninggal ammuh..” jawab Humaira, “Sebulan yang lalu, ibu ditembak sniper saat pergi ke pasar.”
“Sedangkan ayah…aku tidak tahu bagaimana nasibnya, sudah enam bulan lebih ayah tidak pulang ke rumah,” ada gurat kecemasan di wajah tirus Humaira.
Ayah Humaira memang jarang pulang ke rumah, sejak peperangan meletus dua tahun yang lalu. Beberapa kali Humaira memergoki ayahnya membawa pulang lempengan-lempengan besi bekas tanki, cakram rem mobil, dan benda-benda rongsokan lainnya.Ia bekerja semalaman di bengkelnya. Ayah Humaira, seorang teknisi. Namun Humaira tak tahu secara pasti apa yang dikerjakan ayahnya malam itu.
“Humaira, ayahmu masih hidup. Bergembiralah!” ucap Ammuh Azzam berusaha menghibur.
“Benarkah, ammuh?”
“Ya, saat ini ia ada di tempat yang aman.”
“Ammuh, tolong sampaikan padanya, kami sangat merindukannya…”
“Insya Allah..” ucap Ammuh Azzam sambil mengangguk, “Sekarang kemana kalian akan pergi?”
“Entahlah ammuh, rumah kami tak lagi aman. Beberapa waktu lalu beberapa orang berpakaian militer mendobrak masuk ke dalam rumah.”
“Tinggallah di pengungsian, di sana lebih aman. Aku akan mengantarkan kalian ke pengungsian yang terdekat dengan Alepo, di Mandjeb.”
“Baiklah ammuh..”
Ammuh Azzam dan Humaira menggandeng Umar yang masih tampak canggung dengan kedua tongkatnya, kaki kecilnya tertatih-tatih. Mereka bertiga meninggalkan rumah sakit menuju ke Mandjeb.
***
Mandjeb, 20 November 2013
Suriah memasuki musim dingin di bulan November, salju tebal dengan suhu di bawah 1 derajat celcius melanda seluruh penjuru Suriah, termasuk kamp pengungsian di wilayah Mandjeb. Tenda-tenda pengungsian di Mandjeb tak mampu menghadang dinginnya salju disertai angin musim dingin, tidak ada pemanas listrik karena di pengungsian tidak ada aliran listrik. Tidak semua pengungsi mendapatkan selimut tebal, sebagian mereka terpaksa menghangatkan tubuh menggunakan kain seadanya.
Humaira duduk berdempet-dempetan dengan Umar untuk menghangatkan tubuh mereka, gigi mereka bergemeletuk dan tangan-tangannya pucat menahan dingin. Siang itu para relawan membawa kabar gembira, ada bantuan datang berupa selimut tebal. Anak-anak dan lansia mendapat prioritas lebih dulu untuk mendapatkan selimut tersebut. Tiba-tiba terdengar suara seorang relawan dari luar tenda.
“Assalamualaikum, kami membawa beberapa lembar selimut. Adakah yang membutuhkan?”
Ammah Zubaidah keluar dari tenda mereka dan membagikan selimut-selimut tersebut kepada para penghuni tenda, satu tenda di pengungsian bisa dihuni empat keluarga. Bagi Humaira dan Umar, Ammah Zubaidah sudah seperti ibu kandungnya sendiri. Ammah Zubaidahlah yang mengurus segala keperluan mereka selama di pengungsian.
Hari demi hari di pengungsian diisi dengan aktivitas bermain, mereka menggambar dan mendengarkan dongeng dari para relawan. Itulah satu-satunya hiburan bagi mereka di tengah ganasnya peperangan. Ada seorang relawan dari Indonesia yang sangat disukai Umar, Ammuh Usman, demikian Umar biasa memanggilnya. Di malam hari Umar biasa menyelinap ke tenda para relawan hanya untuk mendengarkan dongeng sebelum tidur dari Ammuh Usman. Mungkin Umar hanya rindu dengan ayahnya, ia memang terbiasa mendengarkan dongeng menjelang tidur dari ayahnya.
“Ya Ammuh, ceritakan kepadaku dongeng yang lainnya,” pinta Umar seraya meletakkan tongkatnya dan duduk di samping Ammuh Usman yang sedang menuntaskan tilawah Al-qur’annya. Ammuh Usman merangkulnya dan mulai bercerita di tengah kelap-kelip lilin kecil. Hingga Umar tertidur.
***
Mandjeb, 29 November 2013
Anak-anak bermain salju di depan tenda-tenda pengungsian, hari ini sedikit bersahabat. Matahari sedang bermurah hati membagikan cahayanya. Humaira dan Umar terbiasa bermain bersama anak-anak pengungsi yang lain. Terkadang mereka saling menimpuk dengan bola-bola salju.Tiba-tiba, Ammuh Usman memanggil Humaira dan Umar. Di sampingnya berdiri dua orang laki-laki, yaitu Ammuh Azzam dan seorang laki-laki dengan kaca matanya dan kulitnya yang putih. Humaira terperanjat, “Itu ayah!” pekiknya kepada Umar. Humaira berlari berhamburan menuju ke pelukan Ammar, ayahnya. Sementara Umar tergopoh-gopoh mengayunkan tongkatnya di belakang Humaira. Rasanya seperti mimpi, Ammar memeluk anak-anaknya dan menangis hingga basahlah jenggotnya.
Malam itu Ammar tidur di tenda pengungsian, mereka melepas rindu yang lama terpendam. Umar tertidur di pangkuan ayahnya, sangat pulas. Sementara Humaira lebih senang berbincang-bincang dengan ayahnya.
“Ayah, ke mana saja ayah selama ini?”
Ammar hanya tersenyum, sembari membelai lembut rambut Humaira. Lama ia menatap putrinya yang mulai beranjak dewasa. Mirip sekali ia dengan ibunya, Sarah.
“Humaira, jagalah Umar. Ia anak yang halus hatinya.”
“Aku akan menjaganya ayah…hanya dia dan ayah yang aku miliki.”
Ammar merogoh saku bajunya yang sudah kusam. Ia mengambil secarik kertas lecek dan menyerahkannya kepada Humaira.
“Ini alamat Amirah,Bibimu.” Ucap Ammar diselingi tiupan angin malam,” Saat ini ia tinggal di Yordania.”
“Kalian pergilah ke sana,” Ammar memeluk erat Humaira seakan-akan itulah pertemuannya yang terakhir,
” Esok Ammuh Usman akan pulang ke negaranya. Ia akan melewati pintu perbatasan Yordania.”
Humaira mendengarkan dengan seksama.
“Ayah sudah memintanya untuk mengantarkan kalian ke tempat Ammah Amirah.”
“Bukankah ayah ikut dengan kami?”
“Tidak, putriku. Masih ada yang harus ayah lakukan di sini.”
Humaira mengatupkan bibirnya, bergetar. Air matanya bercucuran deras bak anak sungai, seakan-akan belum hilang kerinduan pada ayahnya. Esok hari ia harus berpisah kembali.
***
Pagi itu Humaira dan Umar sudah bersiap untuk pergi ke Yordania. Umar memeluk erat-erat ayahnya seraya menangis terisak-isak. Mereka segera menaiki jeep para relawan. Dari kejauhan Umar melihat Ammar melambaikan tangan semakin lama semakin kecil. Tiba-tiba terdengarlah desingan peluru bersahutan-sahutan seperti suara petasan, di selingi pekikkan takbir membahana dari mulut Ammar. Ia terjerembab jatuh ke tanah. Ia tertembak tepat di lehernya. Merah darahnya mewarnai putihnya salju. Umar terkesiap menatap Humaira dengan kesedihan yang mendalam, “Ada sniper… Ayah..” Humaira hanya bisa memeluk dan membelai rambut pirang Umar, ia berbisik, “Inilah yang sudah dinantikan ayah dari dulu Umar… inilah alasan kenapa ayah tetap bertahan di Suriah… kuatkanlah hatimu.” Setetes demi setetes bening jatuh membasahi baju lusuh Humaira. Mobil jeep itu melaju dengan kecepatan penuh menuju pintu perbatasan Yordania. Menghilang bersama angin musim dingin.
Ummu Maila
Subhanallah bagus banget cerpennya..
Sampe nangis bacanya terbawa kedalam penderitaan humaira dan ummar :'(