“Mana orang yang kamu percaya itu?” Mata seorang wanita melotot sambil menjulur-julurkan kepalanya ke arah barat rumah. Seolah-olah orang yang dibicarakan itu ada di barat rumah. “Kita bisa makan, dia tidak urus. Kita tidak bisa makan, dia juga tidak peduli. Kita sekarat sekalipun juga dia tidak urus. Tidak lagi menghubungimu semenjak suaramu kalah!”
Kepulan asap rokok yang keluar dari mulut pria di depan wanita itu menyesakkan ruangan. Hembusan nafasnya sengaja dikeraskan agar asap yang terbebas dari rongga mulutnya itu segera menutup pandangan amarah istrinya.
“Dulu saja. Datang setiap hari ke rumah. Saat lebaran hari raya kurban, diajak jalan sampai ke Thailand. Sekarang? Melewati rumah kita saja seperti melewati kuburan. Kemana pria yang kau sebut keluarga itu?”
Istrinya sudah kesal dengan pria yang dulu selalu dibela-bela suaminya. Setiap istrinya menyadarkan suaminya itu kalau dia dimanfaatkan, suaminya tidak percaya.
“Sudah berapa ratus juta kau keluarkan demi mencari suaramu? Termasuk uang yang kau berikan demi mencari suaranya. Dan ternyata kau malah bersaing dengannya! Cih. Apa itu yang kau sebut keluarga?!”
“Aku sudah berkali-kali bilang.” Suaminya angkat bicara dengan nada penuh tekanan. “Dia sudah menjerumuskan aku! Aku sudah terlanjur basah. Dan aku tidak mungkin mundur. Kalau aku tahu begini, aku tidak mau menerima tawarannya.”
“Halah! Telingamu itu sudah tuli, kecuali mendengar suaranya. Matamu itu sudah buta, kecuali melihat sosoknya. Dan pikiranmu itu sudah keruh, kecuali ketika dia berbicara.” Wajah putih istrinya itu lebih merona panas dari biasanya. Bukan paras ayu yang tampak, tapi paras penuh emosi.
“Kita sudah tua. Bukannya lihat anak cucu senang, malah menumpuk hutang! Mau berapa tahun lagi melunasi semua hutang? Apa kau mau mewarisi hutang pada anak cucumu?!” Kini, wanita itu menangis sesenggukan. Air matanya yang hangat mengaliri pipinya. “Kau itu sudah menyengsarakan istrimu. Anak-anakmu! Lihat mereka harus banting tulang demi memenuhi kebutuhan bulanan kita! Aku tak punya hati untuk meminta mereka uang bulanan lagi. Gaji mereka dibawah UMR. Belum lagi mereka harus memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Dimana pria yang kau sebut keluarga itu saat kita kesusahan begini?”
“Aku juga sedang menunggu lampu hijau untuk mengerjakan proyek. Setidaknya ada dua proyek.”
“Proyek? Dan kamu masih percaya sama pria yang kau sebut keluarga itu? Proyek tidak satu pun diberikan ke kau.”
Suaminya itu sekarang mengambil kretek terakhirnya dan menyalakan api dengan korek gas yang sisa sedikit.
“Lihat kita sekarang. Sepeserpun kita tidak punya uang! Itu artinya Tuhan tidak mengizinkan kau keluar uang untuk hal seperti itu lagi! Kau sadar tidak, kenapa uang tanah kita juga tak kunjung keluar? Itu karena Tuhan tidak rela kau mengeluarkan uang dengan hal percuma.”
“Jangan menyebut-nyebut nama Tuhan! Jangan menyalahkan aku terus!”
“Jelas. Kau tidak pernah melibatkan aku dalam setiap keputusanmu! Proyek! Pinjam sana sini. Bahkan saat kau mencalonkan diri yang membuat fotomu ada dimana-mana! Kau tahu, aku tidak akan setuju. Tapi lihat sekarang! Aku dan anak-anakmu juga ikut menanggung. Sedangkan pria yang kau sebut keluarga itu tak menanggungmu sama sekali.”
“Tapi kalau kejadiannya tidak begini, kau dan anak-anak juga akan merasakan hasilnya!” Suaminya malah sewot.
“Ah! Untung saja Tuhan tidak ingin istri dan anak-anakmu merasakan hasilnya.”
“Lihat saja! Dua bulan lagi Sukri mau mendaftar calon pemimpin daerah. Dan aku akan menggantikannya di kantor perwakilan.”
“Oh! Kamu masih membela pria itu! Baiklah. Kita lihat. Apakah omongan pria yang kau sebut keluarga itu masih bisa dipegang?”
Istrinya bergegas masuk ke kamar. Suara pintu dibanting membuat dinding rumah bergetar.
*****
Satu bulan kemudian.
Heri dan istrinya yang duduk di depan meja bundar sedang menandatangani akta jual beli tanah. Setumpuk uang yang berjumlah lima ratus juta rupiah di atas meja menaburkan bunga-bunga kebahagiaan pada Heri dan istrinya.
Meski masker menutupi mulut dan hidungnya, kebahagiaan begitu terlihat jelas dari sisa raut wajah yang tampak. Senyum mereka membuat lekukan-lekukan pada pipi dan memojokkan keriput-keriput pada ujung mata mereka.
Setelah menandatangani semua berkas, Heri menghitung lembaran uang itu dengan pelan dan teliti agar tak ada satu pun yang terlewat. Begitu hitungannya selesai dan tepat setengah miliar, ia mengangguk tanda mengakui jumlah uang yang diperoleh sama dengan harga penjualan yang disepakati.
Heri pun memasukkan lembaran seratus ribu terikat karet ke dalam tas berisi banyak kaca ke dalam tasnya. Kaca yang sudah menimbulkan perdebatan di antara Heri dan istrinya sebelum berangkat ke kantor notaris.
“Apakah kaca lebih menenangkanmu daripada Tuhan?” tanya istrinya yang heran pada waktu itu karena suaminya lebih percaya pada benda yang dapat menjauhkan pencurian dari makhluk halus.
“Aku tidak mau ini hilang sebelum sampai rumah!” Heri masih sibuk memasukkan kaca ke dalam tas sebelu
Istrinya tertawa mengejek. “Kau lucu, Mas! Lebih membahayakan Sukri, Mas, daripada tuyul! Harusnya yang kau kasih kaca itu si Sukri! Biar dia tidak ambil uangmu. Sukri bisa menghabiskan uangmu lebih dari itu! Mau saja ditipu Sukri!”
****
Sukri dan Heri duduk berhadap-hadapan di rumah Sukri. Hanya meja menjadi pembatas mereka. Kepergian Heri ke rumah Sukri tidak diketahui oleh istri Heri. Itu terjadi malam saat istrinya sedang tertidur.
“Seperti yang aku bilang dulu. Aku akan mencalonkan diri menjadi bupati. Posisimu di nomor tiga saat pemilihan tahun lalu akan menjadi pengganti di kursiku sekarang,” ujar Sukri pada Heri.
Sukri memelankan suaranya dan berbisik, “Tapi kau harus mendukungku. Bukan lagi menjadi rivalku seperti tahun lalu.”
“Kau saudaraku. Aku tidak menganggapmu rivalku. Meski aku sangat menyayangkan dirimu yang melepaskanku begitu saja ketika aku sudah tidak memegang uang sepeserpun untuk mencari suara. Bahkan aku tidak tahu harus bagaimana saat itu.”
Sukri mengendikkan bahu. “Aku harap suaramu tetap nomor dua.” Ia tidak ingin membalas protes Heri. “Nyatanya, suara Yono lebih unggul darimu. Aku tak menyangka itu terjadi.”
“Kau sudah menyangka itu akan terjadi. Makanya kau juga mendekati Yono.”
“Begini. Kalau aku terpilih, kau akan kebagian banyak proyek. Tujuh puluh persen untukmu!”
Heri terkesiap. Ia lupa dengan protesnya tadi. Ia menghitung-hitung. Jika sepuluh proyek saja dipegang Sukri, maka dia mendapat tujuh proyek. Satu proyek bisa untung lima puluh juta. Tujuh proyek sudah 350 juta.
Tak sadar air liur membasahi ujung bibirnya dan juga maskernya.
“Jadi? Kau mau mendukungku?”
“Oh, jelas!” Heri bersemangat. Lupa atas kejadian yang sudah menimpanya hingga membuat istrinya mengomel tak henti. “Aku mendukungmu. Namanya juga keluarga.” Sukri meringis dari balik maskernya.
“Dan untuk mendapatkan kursiku memang tidak perlu mencari suara lagi. Kau sudah menang. Tapi kursi itu tidak gratis.”
Suasana hening. Heri mendengarkan dengan penuh konsentrasi.
“Kursi itu harus dibersihkan dulu dari bekas aku duduk.” Sukri tertawa.
Heri tertawa kecil menanggapi lelucon Sukri. “Kalau cuma membersihkan, tak perlulah menyuruhku. Kantormu pasti sudah punya tukang bersih-bersih.”
Kali ini Sukri tertawa lebih keras. Sampai-sampai ia hampir memakan maskernya karena menghirup udara dari mulut.
“Kamu benar!” Sukri tak bisa mengendalikan gelak tawanya. Suara Sukri memelan dan mulai serius, “Untuk memakai jasa itu, cukup seratus juta berikan padaku.”
Perut Heri terasa diaduk-aduk. Makanan di dalamnya bercampur dengan asam yang diproduksi lambung sudah begitu kuatnya dan membuat nyeri perutnya begitu terasa. Rasa asam dari perut sudah sampai tenggorokan Heri. Untung dia memakai masker, Sukri tidak tahu bagaimana wajahnya yang memucat.
“Bagaimana dengan proyek yang kau janjikan akan berjalan bulan ini?” Heri mengalihkan pembicaraan.
“Kita sama-sama tahu. Semua proyek tertunda gara-gara pandemi.”
“Jadi?”
“Kalau mau proyek berjalan, kau harus menyiapkan biaya tambahan.”
“Ini konyol!”
Sukri memutar kepalanya, “Ya, terserah. Kalau kau tidak bisa memberi biaya tambahan, terpaksa aku kasih ke orang. Dan uang yang kau berikan kemarin tidak bisa kembali.”
Heri menarik nafas dalam. “Berapa?”
Sukri mengangangkat satu telunjuk tangan kanannya ke udara. Kemudian dua jari kirinya juga diangkat membentuk angka nol. Ia ayunkan dua kali ke udara. “Seratus,” bisiknya pelan.
Heri merasa dadanya mulai sesak. Ia sudah begitu jauh terlibat dalam urusan bersama Sukri, pria yang ia sebut keluarga itu di depan istrinya. Ia merasa serba salah. Mundur sia-sia. Maju tak jua tampak hasilnya.
Sukri melanjutkan, “Rasanya kamu tidak akan kesulitan keuangan lagi. Bukannya kamu baru terima penjualan tanahmu?”
Heri terkesiap. Ia tak menyangka kehadirannya di notaris sudah diketahui Sukri. Ini pasti ulah istrinya yang suka cerita ke tetangga-tetangga hingga terdengar di telinga Sukri.
***
“Loh, Mas! Mas!” teriak istri Heri dari kamar.
Suara teriakan istrinya membuat Heri yang berada di depan rumah segera masuk ke dalam kamar. Ia melihat istrinya itu terduduk dengan wajah terbengong dengan tumpukan lembaran merah seratus ribu di depannya.
“Uang ini cuma tiga ratus juta, Mas! Uangnya kurang! Apa tadi malam ada maling masuk rumah kita??”
Suaminya menggeleng. “Aku terjaga saat menonton bola dan tidak ada.”
“Ini tidak mungkin! Uangnya hilang, Mas! Ini tidak mungkin hanya dalam semalam tiga ratus juta hilang!”
Heri diam saja.
“Mas! Kita harus lapor polisi! Ini pasti ada pencurian!”
Istrinya mulai menangis.
Heri mencari tuduhan lain, “Kamu membuang semua kaca itu, kan? Lihat apa yang terjadi!”
“Aku tidak percaya makhluk itu mengambilnya!”
Heri keluar dari kamar dan meninggalkan istrinya yang menangis setengah berteriak. Heri duduk di teras.
Heri berkata dalam hati sambil menyalakan rokoknya, “Setelah Sukri terpilih, uang tiga ratus itu akan kembali bahkan berkaki-kali lipat. Bulan depan, proyek juga akan berjalan. Jangan khawatir dengan uang yang kau anggap hilang itu.”
****
Lita Lestianti, seorang ibu rumah tangga yang sedang menekuni dunia menulis fiksi, menulis beberapa buku anak (Kemdikbud dan Let’s Read), anggota FLP Malang, dan emerging writer Ubud Writers and Readers Festival 2019.