Menurut Asma Nadia di Tupperware On Radio, berdasarkan pengalamannya mengikuti berbagai acara kepenulisan di mancanegara, banyak penulis-penulis asing yang kagum dengan Indonesia. Pasalnya Indonesia, yang digolongkan sebagai Negara Ketiga—nama halus dari negara terbelakang—ini memiliki penulis-penulis belia yang tidak sedikit jumlahnya, bahkan terus bertambah setiap tahun. Sementara di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Kanada, tidak terdapat penulis berusia anak-anak seperti yang dimiliki Indonesia.
Tentu saja kabar yang disampaikan Asma Nadia tersebut sangat menggembirakan dan patut disyukuri. Kenyataannya diberbagai toko buku di Tanah Air amat mudah dijumpai buku-buku karya penulis usia sekolah dasar. Tidak hanya jumlahnya yang mengagumkan, mutu tulisannya sendiri tidak perlu disangsikan. Di antara sebabnya adalah karena banyak sekali program atau acara pengkaderan penulis anak-anak lewat workshop, pelatihan, kelas menulis, dan ajang lomba menulis. Di samping itu, banyak penerbit-penerbit besar yang mulai membuka pintu lebar-lebar bagi anak-anak—usia tertentu—untuk menerbitkan karya mereka lewat label KKPK (Kecil-Kecil Punya Karya), PCPK (Penulis Cilik Punya Karya), atau PECI (Penulis Cilik Indonesia).
Demikian pula dengan kumpulan cerita pendek Sahabat dari Timur ini. Isinya menghimpun 12 cerita pendek karya anak-anak sekolah dasar yang menjadi pemenang Lomba Menulis Cerpen Nasional PECI 2013.
Salah satu cerita pendek yang terbilang berhasil—karena muatan isi dan teknik penyajiannya yang memikat—adalah cerita pendek yang menjadi judul buku kumpulan ini; Sahabat dari Timur. Cerita karya Rizki Rahmayanti (Kiky) ini bercerita tentang tokoh aku—Laila—yang mendapat teman baru di sekolah. Namanya Jeanny, pindahan dari Manokwari, Papua.
Sayangnya, sejak awal masuk ke sekolah baru, Jeanny kurang mendapat sambutan baik dari teman-teman sekelas. Dia bahkan diolok-olok karena kulitnya yang hitam legam.
“Jeanny hitam… Jeanny hitam!” Aldo berseru sambil tertawa dan berjoget di bangkunya yang terletak di pojok kelas. (halaman 6)
“Eh, Laila! Kamu, kok, mau, sih, salaman dengan Jeanny? Nanti hitamnya luntur ke kulitmu, loh!” seloroh Elna yang duduk di belakang kami. Ratna yang duduk di sampingnya, tertawa geli.” (halaman 7).
Tidak hanya diolok-olok, teman baru Laila itu juga difitnah mencuri dan menyembunyikan buku Matematika milik Mira, teman sekelas mereka. Celakanya, saat digeledah, buku milik Mira memang tersembunyi dalam tas Jeanny. Entah siapa yang iseng memasukkannya! (halaman 12).
Kejadian itu membuat Jeanny semakin tidak disukai teman-temannya. Tidak seorang pun yang mau berteman atau sekadar bercakap-cakap dengan Jeanny, kecuali Laila—yang tidak percaya kalau Jeanny sengaja menyembunyikan buku Matematika Mira.
Menariknya, cerita pendek ini tidak menuruti tipikal dongeng Bawang Merah Bawang Putih—yang sudah klise atau usang tapi terus saja diadaptasi sebagai bahan cerita dalam sinetron-sinetron kacangan, yakni siapa yang berbuat curang pada akhirnya akan ketahuan lalu menuai malapetaka bertubi-tubi, sedang si baik hati akan mendapat hujan keberuntungan. Hingga akhir cerita, tak sekali pun pengarang menceritakan siapa anak curang yang tega menyembunyikan buku Matematika dalam tas Jeanny. Tidak pula diceritakan bahwa pada akhirnya seluruh teman di kelas jadi menyukai Jeanny, karena keemasan hati dan perangainya. Yang diceritakan justru persahabatan Laila-Jeanny semakin erat, bahkan setelah Ujian Akhir Semester, Laila diajak keluarga Jeanny untuk mengunjungi Manokwari.
Gagasan utama yang diusung cerita pendek ini adalah mengenai pentingnya persahabatan lintas pulau, lintas agama, lintas ras, dan lintas warna kulit; demi kemanusiaan dan kedamaian tanpa mengabaikan prinsip hidup masing-masing pihak.
Hal ini antara lain dikemukakan lewat percakapan Jeanny dengan Laila,
“Mengapa kamu tetap suka berteman denganku, Laila? Bukankah teman-teman sudah banyak yang menjauhiku? Aku berbeda dari kalian. Kulitku hitam, rambutku keriting kecil-kecil, dan aku menganut keyakinan yang berbeda denganmu. Kamu juga memakai jilbab, tapi baik sekali terhadapku,” Jeanny berkata padaku ketika kami sedang beristirahat di kamarnya yang penuh boneka.
Aku memandangi wajahnya dengan tersenyum kecil. “Kata bundaku, perbedaan diciptakan bukan untuk menjauhkan, tapi saling menyayangi. Indonesia terdiri dari bermacam suku dan agama. Kita sebagai anak Indonesia yang mencintai Tanah Air, harus juga dapat menghargai perbedaan itu. Tenanglah, aku tak terpengaruh dengan mereka, Jean!” (halaman 16-17).
Mengenai toleransi antaragama disampaikan pengarang lewat bibir bundanya Laila, “Laila, tidak ada yang salah dari persahabatan antaragama. Rasulullah pun tetap menjaga silaturahmi dan berbuat baik dengan orang kafir. Rasulullah pernah bersabda, Kasihilah orang-orang yang berada di atas bumi, niscaya Dia (Allah) yang berada di atas langit akan mengasihi kamu. (HR At Tirmidzi). Maka, sudah jelas jika mengasihi sesama manusia tak perlu membedakan asal-usulnya,” Bunda menjelaskan dengan panjang lebar.
Hatiku gembira sekali mendengarnya.
“Dan kamu juga harus ingat, dalam surat al-Kafirun juga disebutkan, Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku. Kamu boleh berteman dengan Jeanny, tapi tidak boleh ikut serta dalam perayaan keagamaannya. Misalnya ketika Jeaanny merayakan Natal, kamu tidak boleh ikut merayakannya.” (halaman 21-22).
Cerita pendek ini juga memaparkan sekelumit kekayaan budaya Indonesia lewat aneka kain songket yang menjadi koleksi mama Jeanny, seperti kain songket Lepus Bintang Berakam, Bungo Pacik, Bungo Kayu Apui, Bungo Bakung, Bungo Tabur Limar Kucing Tidur Tajur (halaman 14) dan makanan khas Papua, yakni papeda (halaman 15).
Selain cerita di atas, patut pula disebut di sini, cerita pendek Misteri Waduk Gajah Mungkur karya Fatimah Untoro (Fatimah). Pengarang muda asal Solo ini membuat alur ceritanya sedemikian rupa hingga menyerupai cerita detektif dan science fiction yang mengandung muatan misteri dan teka-teki. Sumber teka-teki itu sendiri berasal dari kawanan makhluk purba bernama plesiosaurus yang menghuni Waduk Gajah Mungkur dan menjadi penyebab hilangnya penduduk yang melancong ke kawasan tersebut.
Sepuluh cerita pendek lainnya pun tidak kalah menarik untuk dibaca. Tentu tidak bijak jika isi atau sinopsisnya diuraikan di sini, karena dapat mengurangi kenikmatan dan rasa penasaran pembaca untuk menelusuri seluruh cerita secara langsung. Cara yang bijak ialah dengan membacanya sendiri buku kumpulan ini.
Kritik untuk buku seharga Rp28.000 ini adalah soal teknis atau penyajiannya. Dalam penyajiannya masih banyak kesalahan ketik yang tersebar nyaris di seluruh cerita. Mudah-mudahan kedepannya, kesalahan-kesalahan kecil ini tidak perlu terjadi lagi.
- Judul : Sahabat dari Timur
- Pengarang : Rizki Rahmayanti, dkk.
- Penerbit : Lintang
- Cetakan : Pertama, April 2013
- Tebal : 184 halaman
- ISBN : 978-602-8277-90-7