Sabtu, April 20Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti


Berkarya dari Warung Kopi

credit google
credit google

Warung kopi The Clove di Kota Maros agak sepi ketika itu. Ismawan Amir tengah duduk sambil menikmati secangkir kopi hangat yang baru saja dipesannya sembari membaca pesan dari beberapa grup whatsapp. Tak berapa lama, ia berkata kepada kawannya di bangku sebelah, “beritanya sudah dimuat di media.”

“Dua orang penghafal Al Quran asal Sulsel akan menjadi imam masjid di Amerika,” begitu isi beritanya. Pada tahun 2016, Pesantren Darul Istiqamah yang berpusat di Maccopa Kabupaten Maros di bawah pimpinan Ustad Muzayyin Arif tengah menjalin kemitraan dengan Presiden Nusantara Foundation di New York Imam Dr. M. Shamsi Ali terkait pengiriman imam masjid selama bulan Ramadhan di Amerika.

Warung kopi atau disingkat warkop, saat ini menjadi trend tersendiri bagi banyak kalangan, tak terkecuali para praktisi media, politisi, dosen, aktivis mahasiswa, bahkan ustad dan penulis. Ismawan contohnya. Ia adalah seorang jurnalis pesantren yang secara up to date mengirimkan berita-berita kepesantrenan ke berbagai media. Berbekal pengalamannya ketika aktif di Penerbitan Kampus Identitas Unhas, ia kemudian rutin mengirim tulisan ke media; tulisannya pun dimuat, di-share di fanspage, selanjutnya di-share oleh banyak akun Facebook dengan viewer yang terus meningkatkan per menitnya.

Ruang Interaksi dan Kerja 

Jika dulu warkop hanya berfungsi sebagai tempat menikmati kopi, makanan ringan, serta bercerita, kini fungsi warkop telah melampaui itu. Sebagai tempat bekerja. Seorang yang berdiam diri di sudut warkop jangan dikira ia sedang santai, bisa jadi ia tengah menulis sebuah berita atau artikel yang kelak akan memberikan pengaruh kepada banyak orang.

Warkop kini tidak lagi hanya berguna sebagai ruang interaksi satu-dua orang, tapi juga telah menjadi tempat kerja. Pada sebuah pagi saya sengaja datang lebih cepat di sebuah café di bilangan Matraman, Jakarta. Beberapa orang terlihat asyik membaca pesan di ponselnya, tapi beberapa lainnya sibuk dengan laptop untuk mengerjakan tugas kantor yang menurut saya yang tidak pandai statistik, bahan-bahan yang saya lihat ketika itu sangatlah berat untuk diselesaikan.

Apa yang terasa berat dilakukan di kantor, atau mungkin rumah, kini mulai beralih ke warkop atau café dalam arti yang seluas-luasnya. Café-café kini menjadi salah satu tempat favorit untuk menyelesaikan tugas-tugas kantor, proyek-proyek penting, bahkan untuk negosiasi hal-hal yang dianggap penting.

Sebagai ruang kerja, warkop atau café sesungguhnya bisa berfungsi maksimal jika memang ada tujuan yang jelas dari rumah. Artinya, jika seseorang hendak menyelesaikan pekerjaan di warkop atau café, ia haruslah menjadwalkan dulu apa saja hal-hal yang ingin ia tuntaskan seharian itu. Jika ia seorang penulis, mungkin ia bisa berpikir, hari ini tulisan apa yang hendak saya tuntaskan? Atau, jika ia tengah menulis buku, ia mengatur waktunya untuk melanjutkan buku tersebut atau mengedit naskah yang telah ada. Tanpa ada rencana sebelmnya, kegiatan kita di warkop akan terasa berjalan biasa-biasa, bahkan pada kadar tertentu bisa termasuk membuang-buang waktu.

Sekedar Pilihan

Mengerjakan tugas atau menulis di warkop pada dasarnya pilihan saja untuk lebih nyaman dalam mengerjakan tugas. Penulis novel Harry Potter, J.K. Rowling bahkan menulis sebagian besar bab dalam novelnya di café The Elephant House dan Nicholson’s Cafe.  Dia pernah berkata bahwa menulis dan café sudah mengakar kuat dalam otaknya. Ketika menulis Harry Potter, ia menyelesaikannya dengan tulisan tangan dan adanya café sangatlah membantu dia untuk menikmati kopi tanpa harus ke dapur.

Tentu saja tiap orang punya tempat favorit untuk menyelesaikan buku. Beberapa penulis yang punya jam terbang tinggi memanfaatkan ruang tunggu bandara untuk menulis, bahkan saat berada di dalam pesawat ia juga menuangkan ide-idenya baik di kertas maupun di laptop. Tulisan-tulisan Guru Besar Ilmu Manajemen UI Rhenald Kasali banyak yang diselesaikan di dalam perjalanan dari satu kota ke kota lainnya, bahkan dari satu negara ke negara lainnya. Penulis lain ada yang menggemari keramaian, tapi ada juga yang senang dan lebih terinspirasi menulis saat berada di tempat yang sepi seperti di kamar sendirian, di hotel, atau bahkan di pinggir pantai dan villa di pegunungan.

Masing-masing orang punya pilihan dimana tempat yang kondusif untuk menulis. Olehnya itu, tiap kita rasanya perlu sekali untuk mencari dan menentukan dimana tempat favorit kita untuk menulis. Tidak harus ikut-ikutan penulis terkenal. Selama kita merasa nyaman untuk menulis—apakah itu di kamar, ruang tamu, café, warkop, ruang tunggu bandara, pesawat, atau bahkan di masjid—itu sah-sah saja.

Jika hati terasa nyaman, tulisan lebih mudah mengalirnya, dan lebih cepat selesainya.

*Yanuardi Syukur, Penulis Buku dan Pengurus Divisi Karya Badan Pengurus Pusat (BPP) FLP.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This