JAKARTA, FLP.or.id — Bagi Ali Muakhir, penulis yang juga mengemban amanah sebagai Ketua Harian II Forum Lingkar Pena, kreasi cerita anak (cernak) sudah menjadi brand-nya tersendiri. Sejak 2007, bersama rekan-rekannya, ia menggagas dan membina Komunitas Penulis Bacaan Anak. Berbagai cerpennya juga hadir di majalah-majalah bacaan anak. Belum lagi buku-buku yang terbit menjangkau ruang baca anak-anak Indonesia.
Dari penjelasannya, waktu terlama untuk menulis cernak ialah waktu penulisan sinopsis. “Rata-rata dibutuhkan satu dua hari buat mematangkan sinopsis,” kata penulis yang juga dikenal sebagai seorang Blogger itu. “Kalau sinopsis sudah beres, tulisannya sejam juga selesai,” lanjutnya.
Ali memaparkan bahwa menulis cernak memang harus padat. “Tantangannya, karena cernak itu kan ide dasarnya itu-itu saja ya, bolak-balik,” katanya. “Jadi mesti pandai mencari momen, membuat alur yang beda.”
Ali menjelaskan, misalnya dalam kisah Sisa Kue Eqy, contoh di dalam cerita itu pada dasarnya sama, yakni mengajarkan anak agar mau bersedekah.
“Rata-rata yang dibuat penulis lain, sedekah itu kalau nggak kepada pengemis, ya pas jumatan, atau ketika di jalan. Kalau buat yang seperti begitu lagi, nanti jadi sama,” Ali menguraikan. “Makanya saya buat yang kira-kira tidak dipikirin oleh orang lain.”
Sepanjang perjalanan kepenulisannya, Ali bukan sekali dua kali meraih juara. Sebagai “Kreator Buku” ia juga lama berkiprah di industri penerbitan. Pemegang gelar sarjana agama yang dijuluki oleh Habiburrahman “Kang Abik” El Shirazy sebagai “sesepuh FLP” ini, juga aktif berkeliling memenuhi undangan berbagai FLP cabang.
Kini, sudah lebih dari 346 judul buku karyanya hadir ke publik. “Abdullah Anak Beta” ialah buku pertamanya. Buku komik itu diterbitkan pada tahun 1999. Cerita komik di dalamnya adalah asli karyanya sendiri, sedangkan gambarnya orang lain yang mengerjakan.
Buku-el Sisa Kue Eqy sendiri merupakan picbook (buku cerita yang juga berisi ilustrasi gambar). Format media penyampaian itu dipandangnya juga berpengaruh ke pemilihan sudut pandang pencerita. “Sebetulnya lebih pas buat anak-anak itu sudut pandang “aku”, cuma karena ini picbook, kalau memakai sudut pandang “aku” bisa terjebak antara teks dan gambar berulang,” tuturnya.
Ia mengaku bahwa masa yang paling indah baginya adalah masa anak-anak. Karena itu, sebagian besar karyanya didedikasikan untuk anak-anak. Setiap kali menggarap tulisan untuk anak-anak, ia mengaku memiliki perasaan berbeda yang tidak terlukiskan.
Peranan karya cerita dalam upaya transfer nilai dan penanaman budi pekerti sudah terbukti sepanjang sejarah. Bagi Ali, ukurannya jelas. “Kalau untuk anak-anak, apalagi PAUD, barometernya ialah anak bisa menceritakan kembali dan mengetahui benar salah. Jadi tidak sampai kemudian mengaplikasikannya seketika itu juga,” pungkasnya. (detikcom/red/Foto: Annida Online, Blog Novrini Daulay)
Saya tertarik membuka karena judulnya menjanjikan “bagaimana cerita anak ditulis, tapi bahkan belum mencapai “sekelumitpun”.
Mohon evaluasinya.
Salam
Terima kasih atas ketertarikan dan masukannya, Bpk/Ibu Dunia Akhirat. Seribu postingan pun amat mungkin tak terasa mencapai “sekelumit” bagi yang haus ilmu. Apresiasi mendalam dari kami. Nantikan selalu postingan-postingan terkait berikutnya di laman ini. Insya Allah kami berupaya selalu melakukan evaluasi.
Salam literasi.