Ahad, 17 Desember 2017. Dua pekan sebelum tutup buku tahun 2017, saya berkesempatan mendampingi Rapat Kerja Wilayah (Rakerwil) FLP Bali di Rumah Makan Dapoer Bali. Hadir dalam rapat itu 5 pengurus, yaitu Riskiana Safitri, Dina Romadianingrum, Fatkurohman, Cian, dan Suwandi Aziz. Rapat jelang akhir tahun itu membahas program FLP wilayah Bali untuk tahun 2018 dan 2019. Riskiana Safitri, Ketua FLP Bali saat ini, baru saja menggantikan saya yang telah selesai menjalankan amanah memimpin kepengurusan FLP wilayah Bali periode sebelumnya.
Empat hari pasca Rakerwil tersebut, saya yang memang berdomisili di Bali, kembali berkesempatan membersamai pengurus FLP wilayah Bali dalam agenda nonton bareng (nobar) film Ayat-Ayat Cinta 2. Ini adalah nobar pertama film AAC 2 yang diselenggarakan oleh wilayah FLP, tepat pada hari pertama tayangnya, Kamis 21 Desember 2017. Perkara Nobar Film, FLP Bali memang selalu terdepan. Saat film Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP) hadir, FLP Bali menggelar empat kali nobar. Lalu saat sekuelnya jadi yaitu film Duka Sedalam Cinta (DSC), FLP Bali kembali menggelar nobar sebanyak tiga kali.
Bali memang punya suasana tersendiri dalam kehidupan sosial negeri ini. Terkenal dengan istilah pulau seribu pura, menjadikan masyarakat Bali dikenal sangat religius dalam menjalankan perintah agama yang dianutnya. Baik umat Hindu sebagai mayoritas maupun yang beragama lain termasuk umat Islam yang sangat kental dengan nilai-nilai persaudaraan. Berawal dari latar belakang inilah, Bali menjadi wilayah yang sangat nyaman untuk tumbuhnya berbagai komunitas dan organisasi yang ada. Lebih khusus lagi Denpasar dan Badung, yang merupakan pusat kota dan pariwisata yang sangat identik dengan nilai-nilai intelektualitas. Maka di dua kota inilah Forum Lingkar Pena wilayah Bali memulai langkahnya. Guna memenuhi kebutuhan literasi mahasiswa beragam asal di dua kota tersebut.
FLP wilayah Bali tercatat berdiri pada 17 Februari 2005, dengan kepengurusan wilayahnya saat itu dinahkodai oleh Ahmad Hanafi. Peresmiannya langsung oleh salah satu pendiri FLP, yaitu Helvy Tiana Rosa. Selanjutnya, perjalanan FLP Bali mengalami pasang-surut dengan segala keunikannya. Bagaimana tidak, setahun setelah terbentuk, FLP Bali mengalami kevakuman hingga 3 tahun lamanya. Namun tahun 2009, Ketua FLP wilayah Bali dapat turut serta menghadiri Munas II FLP di Solo. Selanjutnya hingga 2017, perjalanannya kembali tidak terlalu signifikan. Memang ada kegiatan besar dan rutin, namun belum maksimal di kaderisasinya. Sempat memiliki dua cabang yaitu Denpasar dan Badung. Akan tetapi, karena keterbatasan pengurus maka cabang tersebut dileburkan menjadi satu dan kini hanya ada struktur wilayah saja.
Menariknya, dalam kondisi seperti itu, FLP wilayah Bali terus menggelar agenda rutin yaitu NgoFi (Ngobrol Fiksi) setiap dua pekan. Dari kegiatan NgoFi inilah terekrut anggota, yang kemudian menghasilkan sebuah agenda workshop dengan panitia mandiri dari anggota NgoFi tersebut. Lalu beberapa kali melakukan workshop kepenulisan, sampai akhirnya FLP Bali diamanahi untuk menjadi tuan rumah hajatan besar Musyawarah Nasional ke-3 di Hotel Green Villas pada tahun 2013.
Memasuki tahun 2018, FLP Bali segera bersiap dengan agenda di pekan pertama. Yaitu agenda rutin NgoFi, pada Ahad 7 Januari 2018. Tapi kali ini bukan Ngobrol Fiksi, melainkan Ngobrol Fun Seputar Puisi. Narasumbernya sastrawan lokal Bali, Made Muja Wijaya. Targetnya melahirkan antologi puisi di permulaan tahun 2018.
Denpasar, 3 Januari 2018
Lailatul Widayati
Sekretaris Divisi Jarwil BPP