“Literasi budaya lokal wujud cinta tahan air, dapat menumbuhkan karakter bangsa yang kuat serta semakin toleran terhadap keberagaman.”
BJ. Habibie
Flp.or.id,- Pesan singkat di atas diungkapkan Presiden Republik Indonesia ke-3, Eyang BJ. Habibie dalam rangka memperingati Hari Aksara International 2019 atau disingkat HAI tahun 2019 yang diselenggarakan di Kota Makasar, Sulawesi Selatan pada tanggal 5-8 September 2019 lalu. Saat itu beliau sedang berbaring di sebuah rumah sakit di bilangan Jakarta.
Pesan tersebut menjadi pesan terakhir Habibie karena pada tanggal 11 September 2019 beliau meninggal dunia. Habibie meninggal di RSPAD Gatot Subroto Jakarta karena gagal jantung dan faktor usia.
Pesan tersebut bergulir kencang di media massa, media sosial, maupun group-group whatsaap. Sebagian besar meresponnya dengan positif, terutama karena beberapa tahun belakang ini generasi penerus bangsa mulai kehilangan identitas. Mereka seolah lebih bangga dengan budaya luar daripada budaya bangsa.
Padahal, sebagaimana pesan eyang di atas, literasi budaya lokal merupakan salah satu wujud kecintaan terhadap tahan air. Literasi budaya lokal akan menumbuhkan karakter bangsa serta toleransi antar agama.
Apa jadinya, jika generasi muda meninggalkan literasi budaya lokal? Bisa jadi mereka tidak lagi mencintai tanah air. Bukannya membangun bangsa, sebaliknya mereka malah menjadi parasit. Jika hal tersebut dibiarkan akan sangat berbahaya bagi bangsa.
Oleh karena itu, pemerintah melalui HAI 2019 mengajak masyarakat agar mengambil peran bersama pemerintah untuk kembali mengajak anak muda mencintai budaya lokal melalui literasi budaya.
Sebagaimana dilansir kompas (8/9/2019), Direktur Pembinaan Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraaan Ditjen PAUD dan Dikmas Kemendikbud Abdul Kahar berharap, lewat tema Ragam Budaya Lokal dan Literasi Masyarakat yang diusung dalam HAI, pihaknya berharap buta aksara di Indonesia bisa dientaskan lewat pendekatan budaya masing-masing daerah.
“Kita memiliki budaya dan bahasa yang begitu banyak di nusantara ini,” ujar Abdul Kahar yang didapuk menjadi ketua panitia. “Budaya dan bahasa tersebut bisa digunakan untuk mengajak masyarakat di daerah masing-masing supaya menjadi masyarakat yang berliterasi,” pungkasnya.
Peringatan HAI Tingkat Nasional ke-54 yang diselenggarakan di Lapangan Karebosi, Kota Makassar, Sulawesi Selatan tersebut selaras dengan United Nations Educational, Scientific Cultural Organization (UNESCO) yang menetapkan tanggal 8 September sebagai Hari Aksara Internasional. Tahun ini UNESCO mengangkat tema Literacy and Multilingualism.
Peringatan HAI tahun 2019 di Indonesia kali ini sangat spesial dibanding tahun-tahun sebelumnya karena Indonesia saat ini menjadi negara percontohan pemberantasan buta aksara, mengingat angka buta aksara berkurang secara signifikan dalam lima tahun terakhir.
Budaya Lokal dan Keresahan Para Ibu
Berkaitan dengan tema HAI tahun 2019, jadi teringat obrolan para Ibu dalam sebuah group whatsaap, mereka meresahkan anak-anak mereka yang lebih mengenal lagu-lagu berbahasa korea dibanding lagu-lagu berbahasa Indonesia. Lebih mengenal bahkan mengidolakan artis dan band-band korea (biasa disebut dengan budaya Kpop) dibanding artis lokal. Lebih mengenal budaya Kpop, dibanding budaya nusantara.
Padahal fandom –sebutan untuk fans Kpop, jika sudah fanatik sangat berbahaya. Mereka bisa mengikuti gaya hidup idolanya. Lebih seram lagi jika mereka sudah menjadi Sasaeng –sebutan untuk fans yang sangat fanatik dengan Kpop.
Sasaeng bisa melakukan hal gila demi bisa mendapatkan perhatian idolanya. Mereka bukan hanya mengikuti gaya hidup idolnya, melainkan juga akan mengikuti ke mana pun idolanya pergi hingga mengganggu privacy idolanya. Seperti memaksa masuk ke rumah idolanya, meneror, hingga menyakitinya.
Mereka mengidolakan budaya Kpop selain karena informasi yang demikian deras masuk ke negara kita, cara mereka menginformasikan pun sangat menarik, membuat anak-anak tertarik.
Selain paras mereka yang cantik dan ganteng, kehidupan mereka terlihat sangat menyenangkan dan hedon. Siapa pun yang melihat pasti tertarik untuk mengidolakan mereka dan menginginkan menjadi seperti mereka.
Tidak heran jika para Ibu resah jika anak-anak remajanya mengidolakan bahkan menerapkan budaya Kpop dalam kehidupannya. Selain menakutkan, budaya Kpok kurang sesuai dengan budaya lokal yang penuh dengan kearifan, dengan kesantunan, lebih respek, dan sesuai dengan kultur Bangsa Indonesia. Mereka tidak ingin anak-anak mereka menjadi parasit bagi bangsa ini.
Padahal, budaya lokal jika dijaga dengan baik mampu membawa bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat, bukan sebaliknya. Kita bisa mengambil contoh negara Jepang yang hingga kini terus berkomitmen menjaga kebudayaan yang mereka miliki.
Meski pun tetap menjaga kebudayaan, Jepang mampu menjadi salah satu negara yang disegani di dunia berkat teknologinya yang maju. Teknologi yang dikembangkannya menjadi menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia.
Peran Keluarga, Literasi Budaya dan Kewargaan
Obrolan para Ibu dalam group whatsaap tersebut kemudian berlanjut dengan diskusi, bagaimana mendidik anak-anak agar aware dengan budaya lokal, salah satunya adalah dengan mengenalkan Literasi Budaya dan Kewargaan sejak dini.
Anak-anak memang sudah dikenalkan Literasi Budaya dan Kewargaan di sekolah, tetapi dengan jumlah jam pelajaran yang terbatas, mereka hanya mengetahui kulitnya saja, maka penting sekali peran ibu dalam keluarga untuk lebih memperluasnya.
Misalnya dengan memberikan bahan bacaan Literasi Budaya dan Kewargaan yang ditulis dan dikemas dengan menyenangkan. Rutin membacakan bahan bacaan Literasi Budaya dan Kewargaan dalam keluarga. Memperbanyak kegiatan kebudayaan yang diikuti anggota keluarga dan meningkatkan pemahaman keluarga terhadap nilai-nilai budaya.
Arti Literasi Budaya adalah kemampuan dalam memahami dan bersikap terhadap kebudayaan Indonesia sebagai identitas bangsa. Sementara, arti Literasi Kewargaan adalah kemampuan dalam memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara.
Dengan demikian, literasi budaya dan kewargaan merupakan kemampuan individu dan masyarakat dalam bersikap terhadap lingkungan sosialnya sebagai bagian dari suatu budaya dan bangsa.
Literasi budaya dan kewargaan menjadi hal yang penting untuk dikuasai karena Indonesia memiliki beragam suku bangsa, bahasa, kebiasaan, adat istiadat, kepercayaan, agama, dan lapisan sosial masyarakat.
Sebagai bagian dari dunia, Indonesia turut terlibat dalam kancah perkembangan dan perubahan global. Oleh karena itu, kemampuan untuk menerima dan beradaptasi, serta bersikap secara bijaksana atas keberagaman ini menjadi sesuatu yang mutlak.
Selain itu, sebagai bagian dari dunia global, Indonesia mendapat pengaruh budaya dari berbagai negara sebagai dampak dari hubungan kerja sama yang dibangun. Akibatnya, keberagaman yang sudah ada, yang dibawa oleh tiap-tiap suku bangsa di Indonesia menjadi semakin kompleks dengan masuknya pengaruh global. Literasi budaya dan kewargaan tidak hanya menyelamatkan dan mengembangkan budaya nasional, tetapi juga membangun identitas bangsa Indonesia di tengah masyarakat global.
Jadi, selain dalam lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah, dalam lingkungan keluarga pun harus diperkenalkan Literasi Budaya dan Kewargaan sebagai literasi dasar yang wajib diterapkan dalam keluarga. Semua bergotong royong agar budaya lokal tidak luntur dan hilang ditelan jaman. Bukan hanya memperkenalkan Literasi Budaya dan Kewargaan, melainkan juga memperkenalkan lima (5) literasi dasar lainnya, seperti Literasi Baca Tulis, Literasi Numerasi, Literasi Finansial, Literasi Sains, dan Literasi Digital.
Ali Muakhir
Penulis lebih dari 333 judul buku, pegiat literasi,
dan peraih Penghargaan Adikarya Ikapi.
Aktif di Forum Pegiat Bacaan Anak dan Forum Lingkar Pena Pusat