“Aku tak mau lagi bermain denganmu!” kataku marah sambil melemparkan boneka-boneka kain dan rumah-rumahan kertas ke luar jendela. Kaca rumah masih berembun, buram dan berkabut setelah hujan menyambangi rumah kecil di tepi kota. Sunyi masih mengitari sudut-sudutnya dan bercak basah di langit-langit masih menitiki kamar tidurku yang dingin.
“Lho, bukannya tadi kita mau main rumah-rumahan? Kok bonekanya dibuang?” tanya Bi Imah sambil mengelus kepalaku. Sayang.
“Aku bosan. Aku mau main lompat tali dan ayunan di luar,” jawabku seraya menjauhkan kepalaku dari jangkauan tangannya. Entah kenapa, aku bosan dielus oleh Bi Imah. Bila aku tidak mau makan, Bi Imah membujukku sambil mengelus kepalaku. Bila aku tidak mau mandi, Bi Imah mengajakku bermain kucing dalam air juga sambil mengelus kepalaku. Dan bila aku tidak mau tidur, Bi Imah mengajakku bermain lipat selimut, lagi-lagi sambil mengelus kepalaku. Bi Imah terlalu banyak mengelus kepalaku. Berbeda dengan Ibu. Ibu hampir tidak pernah mengelus kepalaku.
“Tapi di luar ada Hujan, sayang. Dengarlah, langkah kakinya masih terdengar di atas atap,” ujar Bi Imah seraya menedengkan telinganya. Aku diam. Mendengarkan suara hujan yang melompat-lompat. Tik…Tik…Tik…Iramanya samar terdengar, namun mudah diikuti. Mengajakku bermain, melompat sambil menyanyi.
“Mungkin asyik bila aku bernyanyi bersama Hujan,” pikirku. Aku mulai melompat-lompat. Pertama aku melompati kasur bersprei putih yang kusut, lalu boneka panda yang tergolek di lantai, lalu potongan lego warna-warni yang berserakan, lalu Bi Imah yang sedang memunguti boneka-boneka kain. Hup hup hup. Aku menyanyi mengikuti irama Hujan. Keras-keras. Aku ingin menari mengitari langit dan melompat bersama Hujan di atap.
“Bi Imah, aku ingin bermain bersama Hujan. Bolehkah aku keluar dan menemuinya?” tanyaku.
“Hujan tidak datang bertamu ke rumah kita, sayang. Ia hanya singgah sebentar lalu melanjutkan perjalanannya. Mungkin ia tidak punya waktu untuk bermain denganmu,” jawab Bi Imah.
“Tapi dari tadi ia mengetuk pintu rumah kita, Bi. Aku ingin mengajaknya masuk dan menjamunya dengan segelas susu cokelat hangat. Agar ia dapat melanjutkan perjalannya kembali dengan segar,” sanggahku. “Aku bosan bermain-main denganmu. Aku mau bermain bersama Hujan.”
Bi Imah menatapku. Wajahnya yang tua semakin mengeriput dimakan jaman. Ia sudah ada sejak Nenek ada dalam buaian dan sejak Ibu menatap dunia. Kini ia juga ada di duniaku. Yang tak jemu menghitung waktu.
“Boleh ya, Bi… Boleh ya… Hanya sebentar kok. Aku janji tidak akan nakal,” ujarku sambil menarik-narik kebaya lusuhnya.
“Baiklah, sayang. Tapi pakai baju hangat dan topi merahmu ya,” Bi Imah beranjak membuka lemari.
Dengan riang gembira kutemui Hujan. Berjaket dan bertopi merah. Hujan masih menungguku rupanya. Ia tersenyum melihatku lalu mengembangkan tangannya. Menyambutku menari di dalam lingkarannya, mengajariku menyanyikan lagu yang tadi kudengar di kamar.
“Setelah ini, kau akan kutraktir minum susu cokelat hangat buatan Bi Imah,” kataku pada Hujan. Hujan tersenyum. Ia mengucapkan terima kasih dengan sopan sambil membungkukkan badannya. Katanya ia sudah minum tadi, waktu ia singgah di kota sebelah.
Hingga sore hari, aku bermain bersama Hujan. Waktu seakan berhenti berdentang dan Bi Imah hilang dari ingatan. Sayup-sayup kudengar ketukan Senja di depan pintu rumahku. Ah, ia juga ingin bertamu rupanya. Ia ingin melanjutkan ceritanya padaku tentang Bintang yang terputus kemarin. Aku tersenyum padanya dan bertanya pada Hujan apakah ia juga bersedia mendengarkan lanjutan cerita Senja.
“Duduklah kalian berdua di ruang tamuku,” kataku sambil merangkul Hujan dan Senja. “Ini kusediakan biskuit hangat dan susu cokelat. Sambil menunggu Ibu pulang, mari kita berbincang-bincang.”
Kali ini, berbeda daripada yang sebelumnya, mereka bertamu lebih lama di rumahku. Aku duduk mendengarkan cerita Senja yang diiringi nyanyian Hujan. Angin pun yang sedang berlari-lari di luar, ikut tertarik dan duduk di ruang tamuku. Kami berdua berbisik-bisik. Ah senangnya berkumpul dengan sahabat-sahabatku.
Senja berjanji akan melanjutkan ceritanya tentang Bintang hari ini. Lamat-lamat kudengar suara Bi Imah memanggil-manggilku. Aku ingin menjawab panggilan Bi Imah, tetapi cerita Senja sedang seru-serunya dan nyanyian Hujan sedang merdu-merdunya. Aku terus mendengarkan mereka sampai Bi Imah datang dan membopongku ke kamar.
Aku meronta-ronta berusaha melepaskan diri. Aku masih ingin bermain dengan mereka dan mereka masih belum pamit pulang. Bi Imah terlihat marah. Ia tidak berkata apa-apa saat melepaskan jaket dan topi merahku.
“Aku mau pamit dulu pada tamu-tamuku, Bi. Mereka masih berada di luar,” kataku memohon pada Bi Imah. “Bukankah Ibu belum pulang? Aku ingin memperkenalkan mereka pada Ibu.”
“Aku yakin Ibu sudah mengenal mereka dengan baik, sayang. Jadi kau tidak perlu repot-repot memperkenalkan mereka,” jawab Bi Imah. “Sekarang, minum susumu lantas pergi tidur. Kau sudah cukup bermain seharian ini.”
“Tidur? Tapi Ibu belum pulang, Bi. Aku mau tidur bersama Ibu,” protesku. Aku tidak sabar rasanya menceritakan pada Ibu tentang Hujan, Angin dan Senja. Tentang nyanyian Hujan. Tentang cerita Senja. Tentang bisikan Angin. Dan ingin segera memperlihatkan pada Ibu bahwa aku sudah pandai menyanyikan lagu Hujan dan hapal cerita Senja.
“Mungkin Ibu pulang terlambat hari ini. Tenanglah, sayang, akan kuceritakan pada Ibu tentang tamu-tamumu hari ini,” jawab Bi Imah seraya menyelimutiku.
Aku terdiam sambil menatap keluar jendela. Hujan melambaikan tangannya padaku sambil tersenyum. Senja sudah menggandeng Malam untuk bermain lipat selimut. “Kapan-kapan kita bermain lagi,” bisiknya sambil mengedipkan mata. Kecewa diam-diam menyelinap dan Sunyi kembali mengisi kamarku.
*****
Dong…dong…dong… jam dinding di ruang tamu berdentang dua belas kali membelah senyap. Hening terasa menusuk-nusuk pipiku. Aku terbangun dengan keringat bercucuran. Jendela kamarku terbuka dan kulihat wajah Bulan di sana. Besar sekali dan sinarnya menyilaukan mataku. Perlahan ia melayang mendekat ke arahku. Semakin lama semakin cepat dan Bulan besar itu hampir menelanku. Aku berusaha berteriak, tetapi kerongkonganku tercekat. Entah kemana para Bintang. Senyum mereka tak kelihatan menghias Malam.
Aku melihat Bi Imah yang tertidur di sisi tempat tidurku. Dengkurannya mengguncang kamarku. Botol susuku yang kosong tergeletak di sudut. Kulirik Sunyi yang sedang duduk termangu di pojok. Apakah Ibu sudah pulang?
Aku merayap melintasi ranjang dan berdiri di atas tubuh Bi Imah. Bi Imah tidak terbangun. Bulan besar itu masih juga mengejarku. Ia ingin mengajakku bermain rupanya.
“Tak tahukah ia kalau aku sudah lelah dan sangat mengantuk?” pikirku. Aku berjalan melintasi kamarku dan keluar. Aku menatap ke lorong-lorong panjang yang gelap. “Di mana biasanya Bi Imah menyimpan susuku?” rasa haus yang begitu menyengat membuat tenggorokanku kering dan panas. Dan rasa-rasanya bukan saja tenggorokanku yang panas, tetapi juga seluruh tubuhku. Seperti Api yang sering kulihat menjilat-jilat panci Bi Imah di atas kompor. Aku meraba-raba seluruh tubuhku. Tubuhku panas. Api tidak ada di atasnya, tetapi di dalamnya.
Di belakangku kulihat Bulan semakin membesar, siap memagutku masuk ke dalam haribaannya. “Ini bukan Bulan yang biasa tersenyum di luar jendela kamarku,” pikirku cemas. “Bulan itu tidak membesar.” Aku menggapai-gapai dalam kegelapan. Mencari kaleng susu dan termos air panas. Dan tiba-tiba aku memegang sesuatu. Termos. “Ini dia yang kucari-cari,” pikirku senang.
Aku berusaha mengangkat termos itu, tetapi berat sekali. Aku menggenggam tutupnya erat-erat dengan kedua tanganku dan dalam hitungan yang ketiga, aku menangkatnya. Satu…Dua…Tiga… Hup. Braakk! Pyaarr!
Termos berat berisi air panas itu jatuh ke lantai. Airnya yang panas mengguyur seluruh tubuhku. Piyamaku panas menempel di kulitku. Kudengar suara Bi Imah di belakang punggungku. Memanggil-manggil namaku. Aku tidak bisa berpaling karena Bulan yang membesar itu menghalangiku. Tiba-tiba, bagai magnet besar, Bulan menarikku ke dalam pelukannya. Aku menyerah dalam panas dan hening yang aneh.
*****
Sayup-sayup kudengar isak tangis. Tangis seorang perempuan. Ia memanggil-manggil namaku sambil memukul-mukul dadanya. “Ini salahku! Ini semua salahku!” begitu teriaknya. Perempuan itu masih muda dan cantik. Wajahnya putih bersinar seperti Bulan. Bulan? Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Rasa-rasanya aku pernah menjelajah dunia bersama Bulan.
“Sayang, bukalah matamu, Nak! Ibu ada di sini, sayang. Ini Ibu pulang membawa banyak hadiah untukmu. Cokelat yang enak, mainan, baju dan sepatu baru untukmu,” perempuan muda itu mengguncang-guncang lenganku.
“Ibu!” pikirku senang. “Ibu, akhirnya kau pulang juga. Tahukah aku ingin bercerita banyak padamu? Aku ingin menyanyikan lagu Hujan untukmu. Aku ingin menceritakan cerita Senja. Kisah tentang Bintang dan Sunyi yang selalu sabar menungguiku bermain di kamar. Aku ingin berbagi seribu tahun bersamamu, Ibu!” Aku berteriak, tetapi tidak ada suara yang terdengar. Aku ingin memegang tangan Ibu, tetapi tanganku tak dapat kugerakkan. Aneh. Aku ingin menggerakkan kakiku, tetapi kakiku tetap diam membatu. Begitu juga tubuhku. Diam dan kaku.
Jiwaku rasanya ringan. Lebih ringan dari udara, dan saking ringannya, aku bisa terbang bersama burung-burung. Di sudut, kulihat Bi Imah duduk memeluk lututnya. Pandangannya kosong. Rangkaian bunga melati berserakan di ujung kakinya. Lalu kulihat Ibu masih menangisiku. Aku? Rasanya aku tidak dapat lagi mengenali diriku sendiri. Aku terbaring di situ, di dalam tempat tidur sempit yang bukan ranjangku. Aku mengenakan jaket dan topi merahku. Pakaian bermainku. Tetapi aku diam dalam tidur yang aneh.
Tak lama kudengar Hujan datang ditemani Angin. Kali ini ia tidak bernyanyi, melainkan meratap. Ratapannya terdengar begitu menyayat disertai lolongan Angin. Lalu Senja datang. Ia meminta maaf padaku karena ceritanya belum sempat diselesaikannya. Bintang-Bintang turun dari kubah Malam dan mereka enggan menari. Ingin kusuguhkan susu cokelat untuk tamu-tamuku, tetapi rasa-rasanya mereka sedang tidak mau minum susu. Ibu masih menangis. Air matanya membasahi pakaian bermainku yang kian memerah. Yang merahnya melebihi hatiku.
“Sayang, maafkan Ibu, Nak. Maafkan Ibu yang tidak sempat melihat sinar mentari berpijar di matamu. Maafkan Ibu yang tidak sempat membuatkan susu cokelat untukmu. Maafkan Ibu yang tidak pernah lagi bisa membagi pelangi bersamamu. Ibu akan melakukan apa saja asal kau kembali lagi ke dalam pelukanku. Apa saja yang kau minta. Sebutkan saja, apa yang kau minta, sayang?” ratap Ibu berulang-ulang.
Aku memandang Ibu, Bi Imah, Hujan, Angin, Senja, Bintang dan Sunyi. Ah kalian semua berkumpul sekarang di sini. Di kamar ini. Dalam satu keluarga yang kurindukan sepanjang masa. Dengan bantuan Angin, kubisikkan satu kalimat di telinga Ibu. Perlahan dan lembut.
“Ambilkan Bulan, Bu!”
Jakarta, 23 November 2007
For Mom with lots of love
assalamualaikum.mbak lia,salamsilaturrahmi :),minta cerpennya ya!
Waalaikumsalam wrwb… maksudnya apa ya minta cerpen? *bingung