Flp.or.id- Penulis 66 buku yang juga Ketua Umum Forum Lingkar Pena (FLP), Afifah Afra, mengaku sering mengalami kebuntuan menulis atau writing block saat menulis. Lantas bagaimana cara mengatasinya?
“Sering banget. Sebenarnya bukan mutlak writing block. Tetapi biasanya mentok di satu tulisan, yang membuat akhirnya malas menulis apapun. Cara mengatasinya, saya berpindah ke tulisan dengan genre lain. Writing block biasanya muncul karena ibarat mobil berjalan, kita kekurangan bahan bakar. Jadi mobilnya mogok. Solusinya, cari bahan bakar. Kalau dalam kepenulisan, bahan bakarnya adalah informasi. Kalau informasi kita santap sebanyak mungkin, bisa dipastikan ide-ide akan mengalir, dan lancar kembali. Tetapi, mobil mogok bisa terjadi karena sopirnya “malas”. Kalau sudah malas, kita harus kembali merefresh unsur-unsur motivasi yaitu harapan, instrumen, valensi,” ungkapnya saat menjadi narasumber Kuliah Whaatsapp bertema, Meningkatkan Produktivkitas Menulis yang digelar FLP bekerja sama dengan lembaga ACT dan Komunitas Blogger FLP, beberapa waktu lalu.
Afifah menerangkan salah satu kunci dari produktivitas adalah motivasi. Intensitas, totalitas, kerja keras, dan kontinuitas dari sebuah usaha, sangat dipengaruhi oleh seberapa kuat motivasinya. Menurut Veithzal (2011), motivasi adalah energi untuk membangkitkan dorongan dalam diri, suatu kondisi yang menggerakkan manusia ke arah tujuan tertentu. Motovasi dapat membangkitkan semangat seseorang untuk tetap bergerak menuju tempat tujuan.
“Kita bisa belajar dari orang sukses yang meski banyak aral menghadang, dia akan tetap bergerak. Susah-payah, jerih-payah, letih-lelah, dijalani tanpa keluh kesah. Namun sebanyak apapun hal pendukung seperti talenta yang hebat, jaringan yang luas, fasilitas yang lengkap, tanpa motivasi yang kuat, semua hanya sia-sia. Dalam berkarya, tidak boleh pandang bulu. Optimalisasi karya harus tetap diutamakan meski menulis karya bukan untuk lomba,” ujarnya.
Menurut Afifah, produktivitas sangat didukung oleh sikap mental. Bukan privilege. Sinungan (2009) menyebutkan: “Pada dasarnya produktivitas mencakup sikap mental yang patriotik yang memandang dari depan secara optimis dengan berakar pada keyakinan diri bahwa kehidupan hari ini lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini.”
Teori motivasi dari Maslow: Bahwa perilaku seseorang sangat tergantung dengan kebutuhannya. Kalau sudah tercukupi kebutuhan fisiologi dasarnya (physiological needs), dia akan mencari kebutuhan rasa aman (safety needs). Kalau sudah merasa safety, dia akan mencoba menjalin hubungan erat dengan sesama (social needs), lalu seterusnya kebutuhan akan penghargaan (esteem needs) dan yang tertinggi dalam hirarki Maslow: kebutuhan aktualisasi diri (self actualization). Dari teori Maslow, alasan menjadi produktif ternyata bertingkat-tingkat, tergantung kebutuhan.
“Banyak penulis yang menjadi sangat produktif karena benar-benar didesak kebutuhan dapur untuk terus ngebul. Sayangnya, setelah hidupnya mapan, dia tidak meng-upgrade dirinya dengan tingkat kebutuhan yang lebih tinggi, misal aktualisasi diri. Sebab, pengejawantahan aktualisasi diri ini, menurut para ahli adalah: jika di seorang pemusik, maka dia akan terus berusaha membuat musik sebagus mungkin tanpa berpikir apa imbalannya. Jika dia seorang penulis, dia akan berusaha menulis sebanyak mungkin tanpa berharap apapun kecuali dia bisa bermanfaat untuk sesama.
Teori Maslow, dalam beberapa hal cukup relevan. Tetapi, belum cukup mampu mem-push motivasi seseorang. Terlebih, aktualisasi diri adalah sebuah konsep yang sangat “abstrak”. Hirarki 1 hingga 4 (physiological needs, safety needs, social needs dan esteem needs) ini mudah dipahami. Tetapi, seperti apa sebenarnya proses aktualisasi diri, hanya orang-orang dengan “maqam” tertentu yang paham.
Salah satu teori motivasi yang lebih banyak “disukai” oleh para pakar manajemen SDM, karena lebih mudah dipahami, yaitu teori harapan (expectancy theory of motivation) yang dikembangkan oleh Victor Vroom. Menurut Vroom, motivasi itu mensyaratkan tiga hal, yaitu EXPECTANCY (harapan), INSTRUMENTALITY (instrumental) dan VALENCE (valensi).
EXPECTANCY artinya harapan. Orang yang memiliki harapan tinggi, cenderung akan lebih terdorong untuk bergerak. Dia akan mengerahkan seluruh kemampuan (effort) yang dimilikinya untuk memperkuat kinerja. Karena itu, jangan takut bermimpi. Tulislah harapan-harapan tentang menulis.
Harapan tinggal harapan jika sekadar harapan. Harapan butuh instrumen sebagai tolok ukur kinerja. Maka, kita butuh membuat instrumen-instrumen ini. Caranya: tentukan target, lalu buatlah program dan jadwal untuk mencapainya. Instrumen pencapaian bisa beragam, tetapi intinya adalah, kita memiliki tolok ukur sendiri untuk meraih sesuatu. “Misal: dalam sehari saya mewajibkan diri untuk menulis apa saja, sebanyak minimal 5 halaman. Saya akan terus menerus menekankan pada diri sendiri, bahwa ini adalah idealita yang harus saya penuhi. Saat ini, saya sudah sampai taraf depresi atau merasa tak punya arti jika sehari tak bisa menulis 5 halaman, sebaliknya merasa berbahagia dan fresh jika hal ini terlampaui. Ini artinya, saya sudah memasukkan instrumen target 5 halaman dalam alam bawah sadar saya. Instrumen lain yang tak kalah penting adalah dorongan dari orang-orang sekitar, lingkungan yang kondusif, fasilitas yang diperlukan, dan sebagainya. Ranah dari instrumen yang lain adalah kedisiplinan, etos kerja, ketelitian dan juga kemampuan mengeksekusi ide dalam bentuk karya nyata. Kalau kalian percaya teori otak kanan dan otak kiri, maka indikator instrumen ini dominan otak kiri,” urai Afifah.
VALENCE atau valensi kalau dalam sains artinya ikatan dalam “tingkat kebersenyawaan suatu unsur dengan unsur lain”. Kalau dalam manajemen SDM, berarti “derajat ketertarikan hati pada sesuatu.” Valensi sangat dipengaruhi dari passion atau minat seseorang. Semakin kuat passion, semakin kuat pula valensinya terhadap bidang tertentu. Kata seorang pakar, “activity without passion is poison”.
Jadi, kalau mau ditarik dalam rumus: M = E + I + V. Jadi, jika kita butuh M = 100, setidaknya 3 unsur tersebut harus seimbang. Katakanlah 40 + 30 + 30. Jika produktivitas berbanding lurus dengan motivasi, maka untuk menguatkan motivasi, kita harus memiliki harapan-harapan, buatlah instrumen-instrumen untuk “membumikan harapan”, bangunlah valensi yang kuat dengan dunia yang hendak kita tekuni, yakni kepenulisan. Harapan itu ibarat mimpi, sedangkan instrumen adalah aksi. Jika kita ingin jadi penulis top, misal seperti JK Rowling. Itu harapan. Kita perlu membuat sebuah instrumen yang membuat harapan itu menjadi nyata. Misal, belajar menulis sehari 1 jam. Maka, program latihan 10 ribu jam adalah cara kita membumikan harapan agar tidak terus melangit
Ketika ditanya tentang bagaimana cara meningkatkan skill menulis dan apa yang menjadi salah satu kiat supaya sukses di dunia kepenulisan, Afifah menyarankan agar banyak berlatih. “Jika kita terus berlatih, skill kita akan semakin baik. Tetapi, skill saja kurang cukup untuk membuat kita benar-benar menjadi seorang penulis. Skill itu baru HOW TO. Kita perlu desire (want to) dan knowledge (5W) agar bisa benar-benar memiliki tradisi sebagai seorang penulis.
Ketika ternyata posisi kita tidak berada di lingkungan yang ideal untuk menulis, contohnya tinggal di pedalaman, atau bekerja penuh waktu hingga susah membagi waktu luang, tapi dia punya keinginan untuk menulis/berkarya, Afifah memotivasi infiru khifafan wasikolan wajahidu biamwalikum wa anfusikum fisabilillah, dzalikum khoirul lakum inkuntum ta’lamun” (Q.S. At Taubah: 41). Artinya, “Berat maupun ringan tetap berangkatlah untuk membela agama Alloh dengan harta dan tenaga kalian. Demikian itu lebih baik untuk kalian jika kalian tahu”. Menulis, dalam perspektif iman, adalah jihad bil qolam. Maka, dalam kondisi apapun, berat atau ringan, harus dilakukan. Tipsnya, pakailah kaidah udara yang memenuhi ruang kosong. Ketika ada ruang kosong, udara selalu masuk. Ada celah sedikit pun, udara tetap masuk. Maka oksigen ada di mana-mana, bahkan di sel tubuh kita yang supermungil.
Terkait bagaimana mengatur waktu menulis dan menyesuaikan diri dengan aktivitas, Afifah menerangkan baginya kehidupan adalah ajang perlombaan. Kemenangan itu adalah akumulasi dari apa yang kita lakukan. Untuk mengukur apakah saya sudah bisa “naik kelas” atau belum. Perlombaan bagi saya itu menyenangkan, karena kita bertanding melawan 2 hal sekaligus: melawan diri sendiri dan melawan orang lain. Maka ada level-level kemenangan dalam lomba: melawan diri sendiri: draft selesai, jadi novel. Melawan orang lain: naskah kita menang di event tersebut. Soal bagaimana mengatur waktu, saya pakai kaidah udara mengisi ruang kosong. Setiap ada waktu senggang, saya nulis. Biasanya di HP. Tapi yang paling penting, sebenarnya kita harus sudah memiliki sebuah konsep utuh tentang sebuah novel atau buku non fiksi. Jadi, kita sudah memiliki kerangka. Langkah selanjutnya, kita seperti sedang menata puzzle menjadi bentuk utuh sesuai kerangka.
Ketika akan ikut lomba, apa yang harus disiapkan? Afifah menjawab pentingnya kita memperkuat elemen instrumen adalah agar mood tidak terlalu mendominasi. Target menang tentu harus. Karena targetnya menang, kita harus mengetahui atau mengukur bagaimana cara mencapai target-target tersebut. Untuk Indiva, ada beberapa bocoran ya agar naskah bisa menang. Pertama, tim Indiva senang sekali dengan naskah-naskah idealis, tapi dikemas dalam bahasa yang tidak terlalu mendayu-dayu. Baik naskah anak atau remaja, khususnya yang fiksi, tema-tema sosial, lingkungan, sejarah lebih disukai. Naskah-naskah dengan kearifan lokal juga diminati. Setting bisa didetailkan.
Agar sebuah karya penulisan bisa diterima oleh public, ia menerangkan zaman sekarang, karya-karya sudah sedemikian terspesialisasi alias customized. Jadi, yang penting sebenarnya, kita mau menulis untuk segmen mana? Anak, pra remaja, remaja, dewasa? Nah, ketika segmennya jelas, maka kita harus mempelajari bagaimana komunikasi yang efektif ke segmen tersebut? Kalau untuk segmen pembaca WAttpad, pasti berbeda dengan segmennya pecinta John Grisham, dll
Di akhir sesi, Afifah memberikan motivasi, menulis adalah perjuangan. Bukan lagi sekadar laku suka cita, atau permainan penuh gelak tawa. Menulis kadang merupakan pekerjaan berdarah-darah. Penuh perjuangan. Tetapi jika itu kita lakoni dengan sepenuh kesadaran, maka akan menjadi satu amal kebaikan yang sangat besar nilainya. Tirulah produktivitas para ulama. Imam Ath-Thabari, misalnya. Beliau yang bernama lengkap Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amali ath- Thabari, terkenal sebagai ulama yang sangat banyak menghasilkan karya. Imam Ath- Thabari, dalam sehari beliau menulis 40 lembar. Seumur hidup, beliau berhasil menulis 584.000 lembar naskah. Karya beliau yang paling terkenal adalah Tafsir Ath-Thabari dan Tarikh Ath-Thabari (judul aslinya Tarikh ar-Rusul wal Muluk). Tarikh Ath Thabari sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan jumlah buku sebanyak 40 jilid. Ada juga Imam Jalaluddin as-Suyuthi, yang berhasil menyusun 600 karya tulis dari berbagai disiplin ilmu. Sampai-sampai beliau diberi julukan Ibnu Kutub, saking produktifnya menulis. <>