Oleh S. Gegge Mappangewa
Ramadan sebagai titimangsa pasti akan berlalu, seperti kepastiaannya akan datang lagi meski tak ada jaminan kita akan bertemu kembali sebelas bulan ke depan. Namun, Ramadan sebagai bulan puasa akan selalu ada bagi yang terbiasa puasa sunnah. Ramadan sebagai bulan Al-Qur’an tak akan pernah pergi dari orang yang tetap punya waktu untuk mengaji. Ramadan akan selalu ada bagi jiwa yang karakternya senang berinfak. Di luar Ramadan masih bisa salat malam. Beberapa ladang-ladang pahala di bulan Ramadan tetap terbuka lebar untuk digarap di luar Ramadan. Bedanya hanya ada pada kelipatan pahala. Seperti kelipatan diskon belanja yang banyak promo di Ramadan. Jika di luar Ramadan kita tetap gila belanja meski tanpa promo diskon, sejatinya begitu pun dengan ketaatan di luar Ramadan.
Ramadan ini mungkin punya momen istimewa di hati. Mungkin, Ramadan bersama pasangan, padahal sebelumnya LDR (Long Distance Relation), atau malah masih BDR (Berharap Dalam Rahasia). Khatam tilawah lebih banyak daripada Ramadan sebelumnya. THR yang jumlahnya jauh lebih banyak meski habisnya jauh lebih cepat daripada kecepatan cahaya. Momen-momen apapun itu, semua boleh saja terlupakan, tapi jangan sampai Ramadan pergi tanpa jejak. Bukannya kembali fitri, malah kembali nol. Tilawah ngadat, sajadah terlipat, bebas maksiat. Yang dibelenggu di awal Ramadan adalah iblis, jangan sampai taat-taat kita yang lepas ikatan di akhir Ramadan.
Ujian pertama selepas Ramadan adalah pertanyaan-pertanyaan yang bukan hanya 5W+1H tapi juga plus ‘tau nggak sih?’. Ditanya kapan nikah, berapa gajimu, apa kerjaan istrimu, di mana kantormu, siapa dia yang selalu like statusmu, mengapa kamu bisa bertahan dengan gaji segitu? Semua itu pertanyaan mudah karena bisa disiapkan jawabannya dari awal, atau malah mungkin sudah jadi pertanyaan tahunan setiap mudik. Pertanyaan terberat yang sebenarnya adalah pertanyaan yang diawali dengan, tau nggak sih?
Tau nggak sih, ternyata suami teman angkatan kita waktu SMP, diciduk polisi pas selesai salat Ied. Tau nggak sih, ternyata anak pertama tetangga sebelah nggak mudik bukan karena nggak ada uang, tapi karena nggak akur sama saudaranya. Tau nggak sih, orang-orang kota yang mudik dan bermobil pergi salat Ied, banyakan pakai mobil rental. Makanya mudik paling dua hari, biar nggak berat di ongkos rental.
Respon atas pertanyaan ‘tau nggak sih’ ini, emang serba salah. Didiamkan, seolah memberi kesempatan pada penanya untuk menjelaskan setajam silet. Dijawab ‘Oooh gitu ya’ seolah menyulut api di tumpukan jerami kering. Sok bijak menasihati dengan dalil dilarang ghibah, juga bukan jalan dakwah yang mudah. Jika diberi pilihan, tentulah lebih memilih berdakwah di atas mimbar daripada di depan teman yang bermulut ember dan merasa paling tau segalanya karena bisa mengumbar semua kekurangan orang lain. Jika di garis tanganmu punya teman seperti ini, lalu ditakdirkan pula bertemu di momen Idulfitri, ingatkanlah bahwa silaturahmi asyik itu sambil makan rendang, bukan memakan daging saudara sendiri.
Ramadan sudah berlalu. Mari saling mengulur tangan untuk bermaafan tanpa harus merasa bahwa dialah yang harus meminta maaf, bukan aku. Dalam urusan THR, mari kita menghindarkan diri dari kesan meminta-minta, tapi dalam soal maaf semoga kita tak malu menjadi peminta-minta.
Ramadan sudah berlalu. Takbir mengalun, yang berapa pun desibel kerasnya keluar dari corong-corong masjid, ia akan sampai ke hati dengan sayup-sayup. Membawa damai yang sejuk ke relung-relung hati yang telah kuyup air mata tobat. Ramadan sudah berlalu, ketaatan kita semoga tetap terpaku rapat. Bukan taat sesaat, lalu sesat.
Allahumma musharrifal quluub shorrif quluubanaa ‘ala thoatik. Ya, Allah, Zat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan beribadah kepada-Mu. ***
*Penulis adalah Ketua Umum BPP FLP masa bakti 2021-2025