Sastra di Belantara Digital Milik Siapa?
Oleh M. Irfan Hidayatullah*
Pada setiap pergantian era tampak selalu ada keterancaman, dalam bidang apa pun (Yang dirasakan sehari-hari biasanya dalam ranah politik, bahkan untuk hal yang satu ini tampak seperti adanya huru-hara yang memakan korban) walaupun secara logika perpindahan ini memiliki proses yang panjang. Terdapat dialektika di dalamnya. Lebih dari itu, bahkan sebenarnya istilah pergantian itu pun perlu dipertanyakan karena yang sebenarnya ada hanyalah sebuah momen perubahan yang dirayakan.
Berkenaan dengan hal ini saya melihat adanya sebuah paradoks. Saya contohkan (tentu saja kebetulan) melalui dua kata yang memiliki arti yang diametral secara leksikal dalam salah satu konstruksi morfemis tidak memilliki perbedaan sama sekali. Dua kata tersebut adalah evolusi dan revolusi. Dan imbuhan yang meleburkannya adalah awalan ber dan ter.
Berevolusi adalah bentukan kata untuk dua kata dasar yang berbeda. Ini tentu saja kasuistis akibat adanya kelebihan huruf r pada kata revolusi. Bila ber- revolusi dituliskan berrevolusi, dalam kaidah bahasa Indonesia menjadi berlebihan (reduntant). Namun, kedua kata tersebut akan mengalami perbedaan cara penulisan bila digabungkan dengan imbuhan lain seperti me-. Dua-duanya menjadi kembali berbeda makna, mengevolusi dan merevolusi.
Berevolusi kembali akan bermakna pada tataran sintaksis (kalimat). Bila belum ditautkan, kata tersebut akan bermasalah karena memiliki dua makna yang secara diametral berbeda. Kasus ini saya angkat untuk mengukuhkan bahwa dalam setiap perbedaan mendasar ada sisi-sisi paradoks di dalamnya. Di sanalah ada faktor r dan faktor ber/ ter. Dalam kasus ini r adalah simbol dari peleburan makna sebuah fenomena. Masalahnya bukan teknis semata bila dihubungkan dengan kenyataan bahwa tidak ada pergantian atau perubahan yang tidak memiliki alasan atau sebab-sebab tertentu.
Sekarang, mari kita lihat apa arti kata paradoks dalam KBBI: pernyataan yang seolah-olah bertentangan (berlawanan) dengan pendapat umum atau kebenaran, tetapi kenyataannya mengandung kebenaran; bersifat paradoks (2008, hlm.1019).
Sastra adalah mukjijat yang diturunkan pada Muhammad SAW dan Muhammad SAW adalah nabi dan rasul terakhir. Sastra adalah alat bukti pamungkas bagi keberadaan Sang Pencipta. Keberadaan Al-Quran sebagai Mahasastra mengukuhkan wacana bahwa ada sebuah bukti laten yang perlu dikukuhkan kepada makhluk oleh Sang Khalik tentang keberadaan dan kekuasaan-Nya. Bukankah Adam AS diberi kelebihan oleh Allah dibandingkan dengan makhluk lainnya berupa kemampuan penguasaan diksi? Dan diksi adalah bahan mentah sastra. Karena itu, keberadaan Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul telah diwacanakan secara laten sejak Adam AS dipilih. Dan Muhammad adalah sang Pemuncak.
Kelatenan adalah sifat Tuhan. Dia Mahagaib dan menjadi struktur terdalam dari segala percaturan makna di dunia ini. Begitu pula sastra adalah entitas laten dari berbagai fenomena metafisik dan fisikal di dunia ini. Kalatenan ini ada karena bahan kehidupan adalah peristiwa. Peristiwa inilah yang kemudian menjadi bahan cerita, bahkan cerita kemudian disebut sebagai realitas sekunder kehidupan. Arti dari realitas sekunder adalah bahwa hidup dan kehidupan takkan terdengar dan terbaca tanpa diceritakan. Sastra adalah representasi dari kehidupan itu sendiri. Karena itu, setiap kitab suci diaktualisasikan melalui naratif tertentu. Selain itu, bahkan di dalamnya terdapat berbagai genre (sejak puisi sampai kisahan). Kitab suci adalah semacam peleburan artikulasi kesastraan.
Adapun media, alat, ruang, dan ranah adalah semacam tempat singgah semata dari makna yang sejak manusia diciptakan telah disiapkan. Makna tidak pernah berubah yang berubah adalah bahasa, media, dan cara membahasakan. Karena itu, antara kelisanan, keberaksaraan, dan kemultimediaan adalah fenomena luaran semata. Tidak ada revolusi apa-apa karena semuanya telah disiapkan sejak Adam alaihissalam diciptakan.
Aspek kemanusiaanlah yang membuat banyak hal menggegarkan dan menggegerkan. Keberadaan ruang baru bagi sastra yang sudah hampir gaib keberadaanya menjadi bahan pembicaraan, padahal keberadaan gawai yang digenggam hampir setiap manusia dewasa berteknologi adalah perkembangan yang sangat logis sejak manusia mencari percikan api dari gesekan batu di sebuah gua.
Kegegaran ini pun acapkali membuat manusia menjadi jumawa. Penemuan kertas, mesin cetak, komputer, dan perangkat digital yang pada suatu saat akan semakin canggih kemudian dirayakan sebagai prestasi luar biasa. Padahal, sekali lagi, di balik itu semua ada makna laten yang telah tercipta. Bisa jadi, bahkan, perayaan ini sangat politis berhubungan dengan penguasaan manusia satu atas manusia lain. Ini masalah pergantian penguasaan peradaban semata.
Sastra tidak akan pernah berubah maknanya, hanya penamaan dan medianya saja yang berubah. Namun, ini kemudian dibahas berkaitan dengan betapa seseorang bisa menangkap gejala kontemporer dalam sebuah fenomena seperti yang diungkapkan Millis tersebut. Ia mengakui bahwa sastra bersifat laten, tetapi ia kemudian “bersilat lidah” dengan mengatakan bahwa era sastra akan punah. Sebuah retorika.
Selain Millis ada juga Bell yang berusaha membedakan antara buku dengan media digital. Pada pendapatnya, hampir sama dengan Millis, ia berputar-putar dan gegar, padahal ia ingin mengatakan bahwa dua-duanya mengandung isi yang sama, yaitu teks. Adapun kemampuan dunia digital sebagai sesuatu yang disebutnya memiliki kemampuan hyperlinks adalah nama lain dari kemampuan wacana menggerakkan imajinasi dan pemikiran. Bukankah selama ini setiap wacana yang disebarkan oleh seseorang yang berpengaruh selalu ditakuti akan menggerakkan. Muhammad SAW dan para sahabatnya tidak diberi kesempatan untuk berwacana karena faktor hyperlinks atau kelatenan yang menyebar takterbendung. Begitu juga dengan para pembaharu baik dari kalangan ulama Islam maupun cendekiawan Barat kemudian diberangus karena kemampuan interkoneksi gagasan oleh para penguasa pada masa masing-masing. Keberadaan internet dan kemampuan supernya adalah semacam simulasi semata.
Demikianlah, kemudian Bell menyimpulkan bahwa dunia syber adalah penampakan baru dari konten yang lama:
Think of it this way, which I borrow from Christine Hine (2000): cyberspace as culture and as cultural artefact. Let’s work that formulation through. First, what is cyberspace? It’s slippery term, to be sure; hard to define, multiplicitous. I think of it as combining three things, as the next two chapters of this book show: it has material, symbolic, and experiental dimensions. It is machines, wires, electricity, programs, screens, connections, and it is modes of information and communication: email, websites, chat rooms, MUDs. But it also images and ideas: cyberspace exist on film, in fiction, in our imaginations as much as on our dekstops or in the space between our screens…. (2)
Ada satu hal lagi yang sifatnya laten, yaitu kreativitas. Hal ini justru yang perlu dibahas panjang lebar dan berulang. Karena, apa pun yang ada di depan mata, apa pun medianya, akan menjadi ancaman tanpa dibarengi kreativitas. Ia adalah ruh yang menjadikan ancaman menjadi peluang. Media digital bagi sastra menantang para pelakunya untuk berkreasi. Sekali lagi tidak perlu revolusi. Bagi yang hidup pada zamannya akan dengan sendirinya menyesuaikan diri. Ketakutan demi ketakutan akan media tidak akan berarti banyak karena yang sebenarnya harus dihadapi adalah memahami media agar seseorang dapat menaklukkannya. Yang jauh lebih ditakuti oleh banyak pihak justru adalah isi dari media tersebut.
Berkaitan dengan kemunculan era digital ini menarik untuk membaca apa yang Jordan ungkapkan:
Many analogies between real and virtual societies have been offered to grasp the meaning of cyberspace—railroads, minds, highways—but few, if any, analyses allow overall patterns of politics, technology and culture in the virtual lands to be made out. Some say this is because the virtual live changes so fast that perpetual change is the only pattern we can find, and this is the pattern that tells us little expect that any insight we have found is useless because it-is bound to change (or already has changed). Many glorify virtuality’s ability to change and believe that shifts occur so quickly that discerning patterns is a fool’s game. But ‘Societies exist where normative order exists’ (Barnes, 1988: 44). The claim that there is perpetual change in cyberspace denies there can be a normative order, of any sort, in virtual communities and this is tantamount to saying virtual communities cannot exist, but they manifestly do. It is time to outline the normative orders of cyberspace. It is time to put aside the fear of appearing to be ‘out of date’ with virtual lives’ newest playthings. (hlm. 3)
Saya sepakat dengan rujukan Jordan kepada pendapat Barnes. Bahwa masyarakat ada di tempat tatanan normatif berada. Di sinilah titik berangkat kita. Masyarakat muslim akan menyikapi keberadaan cyberspace dengan kemusliman mereka. Secara natural akan muncul penyikapan normatif terhadap fenomena ruang baru tersebut bahkan secara individual bagi seorang muslim yang sudah tertanam tatanan syariat akan menyikapinya dengan baik. Yang Haram jelas seperti jelasnya yang Halal, tetapi akan ada ruang antara yang abu-abu yang harus disikapi secara fikhiyah. Namun, menurut saya hal ini tidak akan terlalu menggegarkan bila Islam telah menjadi habitus bagi seseorang. Akhlak Islam telah menjadi karakternya. Karena itu, yang menarik untuk didiskusikan adalah bagaimana pola pesan disampaikan.
Ruang digital sebagai media adalah semacam institusi yang harus dikelola oleh masyarakat, komunitas, atau individu tertentu dalam sebuah tindak komunikasi. Kehidupan sosial menyediakan ruang-ruang kontestasi ideologis yang secara alami akan dihadapi oleh siapa pun. Ada eksistensi identitas yang saling memengaruhi. Dan identitas Islam yang di dalamnya terkandung segala kebaikan yang diimani oleh pengusungnya harus tersebar. Saya merasa perlu mengutip skema berikut, tentang bagaimana ideologi diungkapkan kepada audiens melalui teks:
Audiens, pembaca, penonton, atau komunikan akan sangat terpengaruh oleh isi dari wacana. Karena itu, di sinilah pentingnya Forum Lingkar Pena menyiapkan konten-konten positif yang mampu membangun jiwa positif bagi masyarakat. Dan, perlu kembali diingatkan, bahwa media digital atau cyberspace adalah sekadar institusi yang mungkin kelak akan berubah dan berubah, bahkan sampai ke perubahan atavistis saat energi di dunia musnah.
Dengan ruh Islam sebenarnya tidak ada ketakutan sedikit pun bagi keberadaan media maya ini. Ketakutan akan adanya anomi dan alienasi atau istilah dari David Bell bahwa Cyberspace akan memperkenalkan dan mengeksplorasi narratives about strange new figures on our cultural landscapes: posthuman, cyborg, digital corpses and intelligent machines.. (3) sama sekali tidak akan terjadi. Wallahu’alam.
*Dosen Prodi Sastra Universitas Padjajaran, Ketua Dewan Pertimbangan FLP