Isu kemandirian finansial sudah lama didengungkan oleh seluruh anggota FLP. Meski bekal idealisme berjejal-jejal memenuhi batin dan logika ribuan pegiat organisasi literasi terbesar di Indonesia (bahkan kata Bunda Naning Pranoto, se Asia Tenggara) ini, toh problematika finansial selalu saja mengguyur FLP. Kadang guyuran itu ibarat air hujan yang sekadar membuat batuk pilek, namun tak jarang sempoyongan, demam dan terpaksa bed rest. Nyatanya, memang ada sebagian anggota FLP yang akhirnya berguguran, cabang-cabang lesu dan mati suri.
Apiknya, sebuah organisasi berusia 20 tahun, mestinya memang telah mandiri secara finansial. Bahkan, untuk organisasi dengan ribuan anggota, mestinya kemandirian itu bukan lagi berkisar pada melewati garis batas kemiskinan, tetapi malah berkecukupan, atau berkelimpahan. Namun, berangan-angan, bercita-cita, berkata-kata, memang selalu lebih gampang dibanding pelaksanaan.
Empat tahun silam, di dalam sebuah ruangan yang penuh gelora semangat, pleno Munas 2013 menyetujui rekomendasi-rekomendasi yang digodok di komisi C. Salah satu rekomendasinya berkutat pada soal kemandirian finansial, yaitu pembentukan koperasi dan perseroan terbatas, yang merupakan badan usaha milik FLP.
Kami teringat pada amal usaha Muhammadiyah yang mencengangkan, saking besarnya aset yang mereka miliki. Sebagaimana dikutip dari muhammadiyah.or.id (retrieved 31/10/2017), salah satu Ormas terbesar di Indonesia tersebut telah memiliki 8.525 sekolah, pondok pesantren dan perguruan tinggi; 2.119 Rumah Sakit, Rumah Bersalin, BKIA, BP, dll; 525 Panti Asuhan, Panti jompo, Rehabilitasi Cacat, SLB; 6.118 masjid; 5.080 mushola; dan tanah seluas 20.945.504 M.²
FLP tentu tak akan bisa sebesar Muhammadiyah, terlebih FLP merupakan organisasi dengan tipe keanggotaan yang spesifik. Namun, meskipun hanya seperseratus, seperseribu, atau seperbilangan yang tak seberapa, setidaknya FLP bisa meniru bagaimana ORMAS tersebut mampu mengakumulasikan sebegitu besar aset yang bermanfaat bagi ratusan juta rakyat negeri ini. Oleh karena itu, ide pembentukan badan usaha itu mengemuka.
Pada saat itu, Munas 2013 merekomendasikan ketua dan pengurus baru untuk membentuk koperasi, dengan simpanan pokok sebesar Rp 100.000/anggota. Bayangkan, jika ada 1000 anggota yang bergabung, berarti ada dana Rp 100.000.000,- sebuah modal yang cukup besar untuk membentuk sebuah UKM.
Nantinya, jika koperasi sudah berjalan dengan baik, Munas 2013 juga merekomendasikan agar koperasi membentuk perseroan terbatas dengan menggandeng investor lain. Berdirinya PT diharapkan agar FLP juga memiliki badan usaha yang kuat dan kompetitif, khususnya menghadapi dunia bisnis di era global.
Bagaimana Realisasinya?
Nyatanya, sampai kepengurusan 2013-2017 berakhir, amanah Munas tersebut ternyata belum mampu direalisasikan. Koperasi, alih-alih PT, belum terejawantah. Namun, betulkah tak ada upaya BPP periode ini untuk meraih kemandirian finansial?
Menurut hemat saya, selama 4 tahun, BPP justru telah memulai membuka lahan-lahan bisnis yang cukup menjanjikan di masa depan. BPP, dengan dikomandani Ali Muakhir sebagai Ketua Harian Bidang Eksternal (salah satunya membawahi divisi Bisnis), dan terkhusus Koko Nata sebagai koordinator divisi Bisnis, serta para stafnya seperti Hikaru, Danang Kawantoro dkk, telah cukup apik melakukan upaya-upaya “pembenihan” sebuah model usaha yang cukup prospektif.
Meski belum berbentuk badan usaha dengan badan hukum resmi, divisi Bisnis telah memiliki FLP Publishing dengan beberapa proyek penerbitan buku yang mendulang keuntungan lumayan. Buku Spirit 212 misalnya, merupakan salah satu proyek eksklusif dengan nilai mencapai ratusan juta rupiah. Demikian juga, FLP telah merangkai beberapa kerja sama menarik dengan berbagai lembaga bisnis, mulai dari penerbit yang menjadi klien klasik FLP (Indiva Media Kreasi, Noura Books, dan sebagainya), juga berbagai brand yang cukup kuat seperti UC News (Ali Baba Group), Beetalk, dan Kaskus. FLP juga pernah bekerjasama dengan Moco (Aksaramaya, pelaksana proyek iJak, iPusnas dll), Smartfren dan sebagainya.
Apa yang dilakukan oleh BPP periode ini, telah menciptakan peta bisnis yang jelas, alias tidak ‘grambyang’. Uniknya, hal tersebut dilakukan tanpa dengan adanya modal yang terkumpul sebagaimana amanah munas 2013. Dari sejumlah pengalaman bisnis tersebut, setidaknya FLP sudah mampu menangkap peluang bisnis sebagai berikut:
- Penerbitan buku cetak dan digital
- Media cetak atau daring
- Jasa publisis (influencer)
- Sekolah menulis
- Manajemen penulis
- Agen pernaskahan (literacy agent)
Tentu bukan sekadar peluang, sebab, dari berbagai pengalaman dan informasi bisnis yang terkumpul, FLP bahkan sudah mampu membuat grand design sebuah usaha mulai dari desain produksi, produksi, distribusi, promosi, serta marketing.
Hal tersebut di atas merupakan kekayaan intangible yang sangat berharga untuk dilanjutkan di kepengurusan masa datang. Kemandirian finansial merupakan tuntutan organisasi agar bisa membiayai kegiatan-kegiatannya. Maka, selain kemampuan literasi yang baik, pengalaman berorganisasi yang matang, akhlak keislaman yang kuat, ketua terpilih di Munas 2017, seyogyanya juga memiliki wawasan bisnis yang luas dan mampu menjadikan FLP ini sebagai sebuah organisasi yang mandiri.
*Afifah Afra adalah nama pena dari Yeni Mulati Ahmad. Sekjen BPP FLP periode 2013 – 2017. CEO PT Indiva Media Kreasi. Pengasuh rubrik Harmonika Keluarga Pra dan Pasca Nikah di Radio 92,1 MH FM. Pengurus IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) wilayah Jawa Tengah masa bakti 2016-2022 sebagai koordinator Divisi Buku Digital dan Pengembangan Minat Baca.
Mantap Mba Afra, tinggal terus meningkatkan sense of belongs para anggota terhadap FLP. Misal, saling membeli karya anggota. Tak hanya membeli, ikut mendukung dan memasarkannya insyaallah juga baik. Seperti yang sudah kita praktikkan di film KMGP. KIta yang danai, kita yang bikin, kita yang nonton, selebihnya adalah bonus dari Allah. Sukses selalu FLP.
Semoga perusahaan di bawah bendera FLP segera berdiri, ya…
aamiinn …
Benar, potensi itu sudah ada dan sudah dilakukan cuma mungkin belum dimanage dalam satu badan hukum/usaha … menunggu executor yang tepat?
Nomor satu FLP seyogyanya sudah menjadi sebuah badan Penerbit berbadan hukum resmi, terutama sekali untuk menerbitkan dan membesarkan karya-karya anggotanya …
Sukses Selalu buat FLP-ers dimanapun berada.
#Salam kangen buat rekan2 FLP. Saya (pernah) gabung dgn anggota FLP Ogan Ilir, SUMSEL, tetapi berhubung pindah ke Batam sejak 2008 sudah tidak ada lagi komunikasi aktif dengan rekan-rekan FLP, saya harap di FLP tidak ada mantan anggota 🙂