Senin, November 25Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

Sastra yang Menggerakkan; Proses Kreatif: Dimensi Penulisan | Helvy Tiana Rosa

JAKARTA, FLP.or.id — Proses kreatif saya dalam menulis karya sastra bukanlah kisah hebat, namun barangkali dapat menjadi inspirasi bagaimana sastra bisa membawa kita pada suatu perubahan, berawal dari diri dan kemudian masyarakat.

[ Baca juga bagian sebelumnya: Sastra yang Menggerakkan; Pendahuluan dan Sastra yang Menggerakkan; Dimensi Pembaca ]

Saya jatuh cinta pada cerpen sejak saya bisa membaca. Bukan hanya cerpen sebenarnya, tapi pada semua jenis tulisan, terutama fiksi. Saya takjub bahwa seorang pengarang bisa menciptakan realitas lain dari imajinasi, perasaan dan wawasannya. Maka sejak duduk di sekolah lanjutan, saya putuskan: itulah dunia saya. Setiap hari saya berkunjung ke perpustakaan sekadar meminjam buku karya sastrawan terkemuka Indonesia dan dunia. Saya tercengang membaca O. Henry, Danarto, Kafka, Solzhenitsyin, Edgar Allan Poe, Putu Wijaya, Taufiq al Hakim, Chekov, Guy de Maupassant, dan lain-lain.

Tak puas membaca, saya mulai menulis puisi serta cerpen dan mengirimkannya ke beberapa media. Saya harus menanti cukup lama untuk melihat karya saya tersebut dimuat. Meski harus meminjam mesin tik tetangga yang sudah bulukan, saya tak berheti menulis. Nun jauh di sana, saya bayangkan para redaktur majalah merasakan “teror” yang saya lancarkan. Biarlah karya saya tak juga mereka muat. Paling tidak, ambil sisi positifnya: saya terus berkarya dan mereka menjadi hafal dengan nama saya —yang karyanya tak mereka muat-muat itu.

Saat tulisan saya “Ketika Mas Gagah Pergi” (KMGP) dimuat di majalah Annida, tahun 1993, saya tak pernah membayangkan reaksi yang muncul setelahnya. Saya menerima puluhan pucuk surat perhari yang khusus berkomentar mengenai KMGP. Beberapa orang mengatakan sangat tersentuh membaca cerpen tersebut. Puluhan dari mereka menyatakan bahwa KMGP mengubah hidup, bahkan keluarga mereka. Sebenarnya saya sukar percaya, namun ratusan pucuk surat mengenai KMGP sampai di meja saya setiap minggu dan baru berkurang lima tahun kemudian[6].

Tahun 1997, KMGP diterbitkan dalam bentuk buku dan habis 5,000 eksemplar dalam dua minggu pertama penerbitannya. Setahun kemudian, Motinggo Busye berkata tentang KMGP: “Tulisanmu tak selesai di otak atau hati pembaca. Tulisanmu, bukumu itu menggerakkan. Kamu tidak percaya, tetapi lima orang tetangga saya pakai jilbab karena membaca tulisanmu. Kamu harus terus menulis!”

Saya tidak begitu yakin dengan perkataan tersebut sampai saya bertemu banyak kalangan pembaca yang meminta saya terus berkarya.

“Saya terinspirasi!”

“Saya tercerahkan!”

“Saya mendapat hidayah dari buku-buku Mbak!”

“Buku mbak membuat saya berubah!

“Cerpen-cerpen mbak menggerakkan saya!”[7]

Saya pun terus menulis. Saya kerap mengangkat berbagai problema sosial budaya dalam masyarakat, bukan saja di tempat saya berpijak sekarang, Indonesia, hingga dunia.

Bagi saya, menulis cerpen itu adalah refleksi dari misi ammar ma’ruf nahi mungkar. Dalam hal ini saya berusaha mengajak pembaca merenungi kembali hakikat diri sebagai hamba Illahi. Selain itu saya juga ingin menginformasikan sekaligus menggugah kepedulian pembaca tentang berbagai persoalan sosial juga pelanggaran hak-hak asasi manusia di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya.

Mengapa ada kata menginformasikan? Bukankah informasi adalah bagian dari berita dan berarti menjadi tugas para jurnalis?

Terus terang, saya sering kecewa dengan berita di berbagai media (dunia) yang sering terdistorsi, terutama bila menyangkut dunia ke tiga dan kaum muslimin..

Contoh yang paling gampang adalah kasus Palestina. Para pejuang kemerdekaan Palestina, Hamas, yang ingin memerdekakan negeri mereka setelah puluhan tahun dijajah Israel dicitrakan sebagai teroris dan fundamentalis. Bukankah seharusnya mereka yang setiap hari menjajah, memenjarakan, membantai, membunuhi anak-anak, wanita dan penduduk sipil di Palestina itu yang pantas disebut teroris? Bagaimana mungkin pemuda-pemuda Palestina yang membela diri, bersenjatakan batu bisa disebut teroris, sementara tentara Israel yang menggempur dengan persenjataan berat dibiarkan begitu saja? Saya lalu menulis Hingga Batu Bicara setelah menyaksikan lagi tayangan televisi tentang tentara Israel yang berjaga-jaga dengan pongah di sekitar masjid Al Aqsha.

Kejengkelan saya pada orang-orang kaya dan para pejabat yang bolak balik ke Mekah dengan atau tanpa uang korupsi, membuat saya menulis cerpen “Juragan Haji” (1998). Untuk apa mereka berkali-kali ke sana sementara kelakukan tidak berubah? Sementara di sekitar mereka banyak orang miskin dan kelaparan? Bukankah lebih baik uang tersebut dipakai untuk menolong mereka, termasuk menghajikan? Tokoh Juragan Haji dalam cerpen saya memiliki seorang pembantu bernama Mak Siti yang merindukan berhaji pada usia 65 tahun. Ia telah menabung puluhan tahun namun belum cukup untuk sampai ke sana. Dalam kerinduan yang menggelora pada Ka’bah, Mak Siti teringat bahwa ia masih memeiliki seorang ibu di kampung yang berusia 85 tahun dan bermimpi suatu hari nanti bisa berhaji pula! Cerita ini kemudian menginspirasi adik saya Asma Nadia untuk menulis cerpen senada: “Emak Ingin Naik Haji” yang diangkat ke layar lebar,  mendapat 6 nominasi FFI 2009 dan 12 nominasi dalam Festival Film Bandung 2010.

Mungkin sama dengan pengarang lain, saya sering menangis kala menulis, terutama menulis cerita tentang kemiskinan dan ketidakpedulian yang semakin beranak pinak di negeri ini. Tentang tenaga kerja wanita yang mengalami hinaan, celaan dan kekerasan seksual demi menambah devisa negara, namun masih saja diperas saat sampai di bandara. Tentang persahabatan antar etnis yang sebenarnya merupakan harapan besar saya agar masyarakat negeri kita yang kaya akan keberagaman, selalu hidup berdampingan penuh cinta.

Ilham bisa datang kapan saja. Perbincangan saya pada suatu hari dengan seorang pemuda Jepang yang kuliah di Fakultas Sastra UI melahirkan Akira no Seisen. Beberapa jam setelah hasil jajak pendapat di Lorosae diumumkan, Ze rampung. Cerpen itu menampung kepedihan saya yang diwakili sosok Ze, bahwa Timor Timur harus lepas dari Indonesia. Saya menawarkan sudut pandang lain dalam cerpen tersebut. Tokoh Ze mengikuti jalur perjalanan Khaffi Anan untuk bisa sekadar menyampaikan pendapatnya sebagai anak Lorosae yang cinta pada perdamaian.[8]

Waktu “Kibere” cerpen tentang Timor-Timur juga, saya tulis, saya pun menerima surat kaleng yang dialamatkan lagi-lagi ke kantor. Isinya: Tahu rasa nanti jika menulis cerita politik! Bisa mampus! Padahal cerpen itu sangat menyentuh dan hanya bercerita tentang persahabatan antara anak Jawa, Bugis, Batak serta Timor Timur. Mereka anak-anak SD dan teman bermain di Dili yang bermimpi menjadi tim sepakbola Indonesia yang hebat suatu saat nanti. Namun mereka terpaksa berpisah saat terjadi kerusuhan menjelang referendum di sana.

Jaring-jaring Merah saya tulis ketika saya membaca berita tentang perkampungan para janda di Aceh dan kuburan massal yang ditemukan di beberapa tempat di daerah tersebut akibat Operasi Jaring Merah yang dilakukan bertahun-tahun di sana. Saat karya tersebut diterbitkan tahun 1998 di Majalah Annida dan kemudian diminta Horison untuk diterbitkan di majalah tersebut tahun 2000[9], saya mendapat beberapa ancaman melalui telepon dan surat kaleng. Jangan sembarangan menulis cerpen kalau tak mau mati!

Awalnya saya pikir orang iseng. Tapi ternyata saya menerima surat tanpa alamat jelas pengirim itu beberapa kali di kantor saya waktu itu: Majalah Annida. Jangan menulis seperti “Jaring-Jaring Merah” lagi kalau tak ingin mampus!

Ketika mendapat ancaman tersebut saya tak bisa apa-apa selain tawakal. Saya merenung kembali. Apa sebenarnya yang saya tulis? Saya kira tak ada yang buruk dan tak patut, karena hanya menulis sesuatu yang mendesak-desak kepala dan batin saya, dan mungkin juga masyarakat. Saya hanya mencoba menulis sesuatu sebagai setitik obat dari nurani saya yang terluka akibat ketidakadilan yang tercabik-cabik di negeri ini.

“Lelaki Kabut dan Boneka” adalah cerpen saya mengenai isu dan kasus pengeboman di negeri ini. Tokoh utamanya adalah ia yang saya sebut “lelaki kabut”. Ia ada tapi seolah selalu diselubungi kabut. Ia memiliki banyak “boneka” yang bisa ia gerakkan sesuai kemauannya, termasuk untuk membuat tanah airnya porak poranda.

Tak saya duga bahwa saya menerima ancaman dari “Lelaki Kabut”, di antaranya dengan redaksional sebagai berikut: “Saya akan meledakkan bom berikutnya di Jakarta minggu depan! Salam, Lelaki Kabut.”

Syukurlah apa yang disampaikannya tak benar.

Sementara itu, cerpen “Lelaki Semesta” mengisahkan seorang ustadz yang dituduh sebagai pelaku pemboman, padahal ia tak pernah melakukannya. Malaikat yang selalu menemaninya pun bersaksi tentang hal tersebut. Cerpen LS memang merespon kecurigaan berlebihan terhadap para ulama di dalam maupun luar negeri yang sering menjadi bulan-bulanan fitnah tanpa bukti. Memang banyak kyai dan ustadz yang brengsek di mana-mana, tetapi tak semua harus dicurigai karena mereka bersorban dan berjenggot bukan?

Cerpen memang bukan fakta, tetapi cerpen-cerpen saya selalu berangkat dari realita yang ada. Saya bereaksi, menanggapi peristiwa demi peristiwa dengan cerpen. Tak peduli peristiwa tentang apa di negeri mana, ketika itu menyentuh nurani saya, maka lahirlah sebuah karya[10]. Kadang saya merasa harus berjuang dengan cerpen. Kalau bukan untuk masyarakat, paling tidak untuk rasa kemanusiaan dalam diri saya.

Salah satu perubahan besar yang terjadi dalam diri saya adalah bagaimana cerpen-cerpen yang kita tulis dengan niat tulus itu, bisa mengubah kita menjadi orang yang dikenal masyarakat. Cerpen-cerpen tersebut bisa membuat kita didengar orang ketika berbicara, dan diperhatikan saat menulis. Kita bisa diundang hingga begitu jauh dari negeri ini hanya untuk berbicara mengenai karya-karya kita yang mungkin tidak bagus-bagus amat itu, serta membacakannya di hadapan para petinggi, akademisi atau para pencinta sastra. Tiba-tiba kita diminta mengisi berbagai seminar, termasuk mengenai bidang lain di luar sastra (pertahanan keamanan negara? Keuangan? Kriminalitas yang meningkat? Transportasi kota? KB? Soal kehutanan dan kelautan?). Rupanya sastrawan dianggap sebagai orang pintar dan banyak pengetahuan tentang ini dan itu.

Begitulah efek yang saya rasakan dari menulis cerpen. Cerpen-cerpen itu telah menerbangkan saya sampai ke Hong Kong, Jepang, Mesir, Amerika Serikat dan beberapa negeri lainnya. Ya, cerpen-cerpen itu bukan hanya telah memanusiakan diri saya namun juga membuat saya menjelma “selebriti” kecil-kecilan. Hal ini membuat perubahan besar lain dalam hidup saya selanjutnya.

Meski demikian tentu saja kepuasan batin yang amat sangat adalah saat cerpen-cerpen saya dianggap menjadi pemicu  perubahan ke arah yang lebih baik bagi para pembaca saya. Hal-hal tersebut kerap mereka tulis melalui surat, lewat email, facebook,twitter atau di blog saya http://helvytr.multiply.com dan di http://klubhelvy.multiply.com. Hal tersebut pula yang membuat saya merasa berdosa bila lama tidak menulis, padahal banyak hal yang mungkin bila kita tulis dengan hati, bisa membawa pada perenungan atau menggugah orang lain/ masyarakat yang membacanya.

Benarlah Paulo Freire ketika ia mengatakan bahwa masyarakat seharusnya jangan hanya dijadikan sebagai objek karya sastra, tetapi harus dijadikan sebagai subjek. Persoalan-persoalan yang melanda masyarakat kecil dan tertindas perlu diungkap dalam karya sastra. Meski sastra tidak dapat secara langsung mengentaskan problem sosial budaya yang menghimpit masyarakat, paling tidak bisa menggugah mereka  untuk senantiasa mengasah nurani dan mungkin menginspirasi mereka melakukan sesuatu setelah membacanya.

bersambung

Sumber: sastrahelvy.com. Pertama kali disampaikan pada Seminar Nasional Sastra dan Perubahan Sosial yang diadakan   Fakutas Sastra dan Seni Rupa,  Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 17 April 2010.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This