Semalam (12 Februari 2014), saya menyaksikan Mata Najwa yang menampilkan sosok Bu Risma. Selama ini saya sudah cukup sering mendengar kiprah beliau. Kebetulan, ada beberapa rekan yang tinggal di Surabaya dan dari mereka, saya mendengar prestasi-prestasi luar biasa dari Bu Risma. Namun tetap saja, semalam saat menyaksikan Mata Najwa, saya terkesima dengan sosok seorang Tri Rismaharini. Saya pun membuat status di facebook, dan banyak teman yang sependapat dengan status saya. Kabarnya, di jagad twitter pun banyak yang mengkicaukan apresiasi pada beliau.
Pagi ini, saya menemukan dua artikel menarik. Artikel-artikel ini menggambarkan betapa sosok seorang Risma yang berhasil mengubah Surabaya tidak lahir dalam semalam. Ia pun tidak lahir dengan dukungan dan puja-puji elemen politik lain di Surabaya. Alih-alih membantu kerja Bu Risma, sebagian besar elemen politik di Surabaya justru berniat menjegalnya.
Artikel di Kompasiana ini menjelaskan secara detail bagaimana Bu Risma harus menghadapi upaya pemakzulan di seratus hari pertama. Bayangkan, baru seratus hari memimpin dan sudah digoyang mosi tidak percaya! Apa yang jadi parameter mosi tersebut!? Lebih sedih lagi, upaya pemakzulan ini didukung semua fraksi di DPRD Kota Surabaya, kecuali FPKS.
Artikel di Merdeka.com ini secara spesifik menyoroti benturan antara Bu Risma dengan partai pengusungnya, PDIP. Sosok Bu Risma yang bukan orang PDIP ternyata menimbulkan penolakan, bahkan sejak sebelum resmi dicalonkan sebagai Cawali. Kebijakan Bu Risma di kemudian hari juga berbenturan dengan partai ini. Misal, upaya menutup Gang Dolly dianggap “anti-wong cilik”.
Tentu tuduhan terhadap Bu Risma ini basa-basi politik semata. Salah seorang rekan saya, Mbak Sinta Yudisia, pernah melakukan penelitian tentang Gang Dolly (dan menulis Existere, novel luar biasa tentang kehidupan PSK di sana). Menurut Mbak Sinta, kehidupan di Gang Dolly sudah benar-benar didesain untuk menjerat para PSK untuk terus berada di sana selagi masih memiliki “kapasitas jual.” Kalau sudah melewati “masa jual,” mereka pun tercampak. Tidak ada seorang pun yang peduli. Ini sebuah eksploitasi besar-besaran terhadap wong cilik, dan Bu Risma berniat mengakhirinya.
Niat mulia ini agaknya sepi pendukung di dunia politik Surabaya. Tekanan terhadap Bu Risma pun menguat, sampai dia berpesan kepada keluarganya, agar mengikhlaskan jika Bu Risma meninggal akibat perjuangannya. Beberapa rekan saya yang tinggal di Surabaya pun menuturkan, kondisi kesehatan Bu Risma menurun akhir-akhir ini. Puncaknya, muncul wacana agar Bu Risma mengundurkan diri.
Sosok Risma mengundang apresiasi dan kekaguman dari kita semua. Namun saya ingin menggelitik kesadaran kita: apakah hanya akan kagum? Sibuk berdecak, bertepuk tangan di tepi arena, sementara sang pahlawan tengah bersimbah keringat dan air mata di medan laga? Apakah kita hanya akan mengapresiasi sejenak, kemudian ketika sosok semacam Risma ini terkubur di gelanggang politik Indonesia (yang makin pragmatis dan gila ini) menyayangkannya? Setelah itu diam menunggu sosok Risma berikutnya (sambil mengeluh berkepanjangan ketika sosok semacam Risma tak lagi muncul)?
Seperti itulah yang biasanya terjadi di Indonesia. Masyarakat sebagian menerima dengan pasrah, apapun yang penguasa lakukan pada mereka. Menyikapi kesenjangan antara rumah dan mobil mewah elit yang kian bertambah dengan jembatan nyaris roboh yang digunakan anak-anak SD untuk sekolah dengan penuh “kesabaran”. Masyarakat sebagian sibuk mengutuk, menyalahkan si ini dan si itu, menyebar berita jelek tentang si ini dan si itu, yang kadang kala itu tidak lebih dari sampah kebohongan belaka. Namun di saat yang sama, tidak berbuat apa-apa untuk perbaikan.
Ketika muncul sosok yang luar biasa semacam Bu Risma, yang awalnya bersabar kini berharap. Yang awalnya mengutuk kini memuji. Namun apakah berhenti sampai di sana? Seharusnya tidak. Seharusnya, harapan dan pujian itu terejawantahkan dalam bentuk aksi nyata.
Pertama, anda dapat memilih menjadi orang seperti Risma, Ridwan Kamil, Aher dan lain-lain. Anda dapat memilih untuk mempersiapkan diri anda menjadi pemimpin yang amanah, berjuang untuk rakyat. Anda dapat memilih untuk terus mengasah kemampuan, baik keilmuan, kepemimpinan, pengembangan jaringan dan sebagainya sehingga jika saatnya tiba nanti, bahu dan punggung anda telah siap menanggung beban kepemimpinan.
Namun, tidak semua dari kita sanggup memilih jalan ini. Sesungguhnya, jalan kepemimpinan adalah jalan yang penuh dengan onak kelelahan dan duri perjuangan di satu sisi, dan kilau harta dan rayuan syahwat di sisi lain. Jalan kepemimpinan adalah jalan yang menuntut pelakunya untuk berpikir keras dan bekerja keras, sambil terus mengasah hati agar tidak ikut mengeras.
Pilihan kedua adalah dengan mendukung para pemimpin yang amanah ini. Memilih bukan pekerjaan mudah. Sebelum memilih, anda harus mencari, menelisik, meneliti rekam jejak seorang kandidat. Anda harus menimbang, berita mana yang akurat terkait dirinya. Anda harus mengambil kesimpulan, apakah kandidat ini benar-benar memperjuangkan apa yang anda harapkan, ataukah itu hanya gincu janji yang dioleskan saat kampanye saja.
Anda mengutuki banjir di Jakarta? Bagus! Siapkan diri anda menjadi pemimpin Jakarta di tahun 2050, yang mampu menanggulangi masalah banjir dan masalah lainnya yang saat ini membelit ibukota. Jika tidak mampu, siapkan diri anda memilih pemimpin yang memang berniat dan bekerja keras menangani masalah banjir. Bingung “siapa” dan “yang mana”? Cari! Tugas anda untuk menelisik dan mengetahui, siapa yang nyata bekerja keras membantu warga Jakarta.
Anda peduli dengan rusaknya hutan di Indonesia? Bagus! Siapkan diri anda menjadi bupati atau gubernur daerah dengan hutan yang luas di Indonesia. Atau, siapkan diri anda menjadi Menteri sehingga dapat mengontrol pemberian izin penggunaan hutan. Jika tidak mampu, siapkan diri anda untuk mencari dan memilih calon yang benar-benar peduli dengan kelestarian hutan.
Apresiasi dan pujian di dunia maya, senyaring apapun itu, jika tidak berujung pada dukungan nyata, pada akhirnya hanya akan menjadi gema hampa yang hilang seiring waktu. Karena politik di Indonesia dibangun di atas pondasi demokrasi, maka dukungan yang utama adalah dukungan di bilik suara. Selanjutnya, dukungan itu harus terwujudkan dalam pemantauan terhadap kinerja beliau: apresiasi jika berhasil, menegur jika kurang berhasil dan melindungi beliau dari aksi preman-preman politik yang seringkali mengatasnamakan kita, rakyat, untuk tindakan jalanan mereka.
Kembali, jangan kita hanya berharap turun seorang Ratu Adil yang mampu menyelesaikan semua masalah di Indonesia dengan sekali kibas. Jangan kita sibuk riuh di pinggiran, sementara para pejuang bertarung mati-matian di medan laga. Jangan kita teteskan air mata, meraung meratapi pahlawan yang sudah pergi (atau berakhir masa tugasnya) namun kita tidak pernah meneteskan keringat untuk mendukung mereka yang sedang berjuang sekarang.
Mari kita menjadi bagian dari generasi baru Indonesia: generasi yang berani mengambil pilihan untuk menjadi pemimpin, atau berani mencari dan mendukung mereka yang berjuang menjadi pemimpin tulus bagi Indonesia.
Kalau bukan dari kita, lalu siapa?
Wallahu’alam.