Wanita Karir, Benarkah Menjadi Fitnah Masa Kini?
Saya pernah mendapat cerita dari Orang tua saya tentang pemuda yang hendak menikah dan dia bermusyawarah dengan seorang Guru Spiritualnya perihal gadis yang akan dinikahinya. Oleh Sang Guru, pemuda tadi disarankan untuk shalat istikharah, apakah gadis idamannya itu baik untuknya atau tidak. Beberapa saat setelah istikharah, si pemuda mendapat isyarat dengan bermimpi melihat seekor monyet!
Tentu saja pemuda tadi sedih dan masygul, mendapat mimpinya tentang sang gadis idaman seperti itu. Si pemuda menceritakan apa adanya kepada Sang Guru tentang mimpinya, yang dia yakin akan ditafsiri buruk oleh Sang Guru sebab melihat monyet. Tetapi jawaban Sang Guru ternyata berbeda dengan prasangka si pemuda; dengan penuh sumringah Sang Guru bilang, bahwa pemuda tadi beruntung mendapat isyarat seekor monyet. Maknanya bakal istrinya itu nanti bisa membantunya untuk bekerja dan mencari nafkah dalam mengarungi rumah tangga mereka kelak. Akhirnya menikahlah pemuda tadi dengan gadis idamannya dan hidup mereka bahagia.
Bisa dibilang, sebuah rumah tangga akan cukup harmonis dan produktif jika ada kekompakan dan saling memahami antar suami istri. Di antara bentuk kekompakan itu adalah suami dan istri mengerti tugas dan posisinya masing-masing. Hal ini pun bisa diterjemahkan dengan kemampuan istri membantu suaminya dalam mencari nafkah. Pada dasarnya, tugas utama suami adalah sebagai pencari nafkah dan penopang ekonomi rumah tangga. Namun, tidak ada larangan dalam syariah bagi istri untuk bekerja membantu suaminya dalam menopang ekonomi keluarga.
Lebih jelas lagi, tidak ada satupun teks dalam syariah yang melarang kaum wanita untuk bekerja. Bagaimanapun wanita adalah bagian dari sebuah masyarakat dan unsur penting terhadap kedinamisan dan keproduktifan masyarakat tersebut. Tetapi tentu saja di sana syariah memberikan aturan umum bagaimana wanita yang bekerja, demi menjaga kestabilan jalannya kehidupan dan perputaran hukum alam. Setidaknya ada empat hal yang harus dipenuhi bagi seorang wanita jika ia bekerja.
Pertama, mendapat izin dari suaminya (atau keluarganya) untuk bekerja. Kedua, tidak keluar dan tidak melanggar koridor adab-adab Islami serta moral yang berlaku. Misalnya, dengan tetap menutup auratnya, saat bekerja tidak ikhtilat (bercampur baur secara bebas dengan lain jenis) apalagi kholwah (berduaan dengan lain jenis), serta yang terpenting tidak mengganggu ibadahnya.
Ketiga, profesi yang ditekuninya tidak melewati kodrat penciptaan dan gendernya sebagai wanita. (Dalam pandangan pribadi penulis, segala profesi yang berhubungan dengan pendidikan, pekerjaan kantor dan kesehatan sangat baik dan cocok bagi wanita, seperti guru, sekretaris, akuntan, perawat, bidan, dokter, dan sebagainya). Tentu saja kurang elok jika pekerjaan spesifik pria dikerjakan oleh wanita (semacam jadi supir truk gandeng antar pulau atau tukang aspal jalanan), meski juga tidak ada larangan, kecuali jika memang di sana tidak ada pekerjaan lain dan dia terpaksa menekuninya sebab desakan darurat untuk hidup.
Keempat, dan yang terpenting, terutama jika wanita itu statusnya adalah ibu. Maka jika memang dia memilih bekerja adalah dengan tidak melupakan kewajiban aslinya sebagai ibu rumah tangga yang berkewajiban mengasuh dan mendidik secara langsung anak-anaknya serta menjaga rumah suaminya.
Sebab tugas terbesar dan termulia bagi seorang wanita (bahkan seluruh makhluk hidup dengan jenis betina) adalah bertugas sebagai ibu yang berkewajiban menjaga, mengasuh, membesarkan, dan mendidik anak-anaknya sejak mereka berada dalam janin sampai pada usia saat anak-anaknya bisa dilepas untuk melanjutkan kehidupannya sendiri. Singkatnya, tugas utama ibu adalah mempersiapkan sebuah generasi baru dan memelihara kelangsungan jalannya roda kehidupan.
Sebab secara fitrah penciptaan, sebenarnya wanita memang disiapkan untuk tugas sebagai seorang ibu, tugas sebagai induk. Melihat hal ini, sebenarnya -jika direnungi dengan sangat mendalam dan penuh ketenangan- posisi terbaik seorang wanita, adalah di dalam rumahnya.
Trend “Wanita Karir” sekilas sepertinya bagus. Wanita tampak mandiri, bisa menghidupi dirinya sendiri, bahkan keluarganya. Namun dalam kenyataannya, trend ini banyak membuat wanita ingin melepaskan diri dari kewajiban aslinya dengan alasan untuk menyambung hidup. Bahkan ada yang secara terus terang menyatakan tidak mau ribet dengan anak yang kerap berisik, merepotkan, suka buang air seenaknya, egois dan bau.
Akhirnya, sebagian besar mereka jika masih single, lebih memilih untuk menunda menikah. Yang benteng agamanya rapuh, memilih hidup serumah dengan pasangannya meski tidak nikah, dengan kata lain kumpul kebo.
Yang sudah jadi istri, enggan melahirkan. Menjadi masalah baru saat suami ingin punya anak, akhirnya terjadilah kekurangharmonisan sebab perbedaan arah pandang. Yang sudah jadi Ibu dan punya anak, tidak all out mengasuh anaknya. Dibiarkan diasuh pembantu, atau dititipkan seharian di Play Group, dan disusui bukan dengan ASI.
Selanjutnya tanpa disadari sang ibu sebenarnya dia sedang menyiapkan generasi yang tak memiliki kepribadian dan pada masa tuanya berbalik mendurhakainya sebab gara-gara merasa tidak diperhatikan dan kehilangan kasih sayangnya.
Pendek kata, trend “Wanita Karir”, jika tidak disikapi dengan bijak, sebenarnya adalah fitnah tersendiri bagi kemanusiaan secara umum, dan bagi kaum muslimin secara khusus.
Nampak berlebihan memang analisa ini, namun seperti itulah kenyataannya. Tak bisa dibayangkan bagaimana efek negatif sebuah generasi masa depan saat kaum wanitanya satu per satu berlarian dari tugas aslinya, yaitu sebagai unsur penting dari berlangsungnya sebuah sistem kehidupan.
Ini belum lagi dari bahaya lain yang ditimbulkan sebab cinta dunia yang berlebihan (orientasi matrealistik). Terlebih watak wanita pada umumnya memang suka hal-hal sekunder, bahkan tersier.
Pakar ilmu sosiologi asal Amerika, Dr. Eida Allen menyatakan bahwa, “Pengalaman panjang dan ujicoba serta penelitian membuktikan akan pentingnya keberadaan seorang ibu dalam rumahnya, serta pengawasan langsung darinya terhadap pendidikan anak-anaknya. Sebab perbedaan besar yang terjadi dalam moralitas generasi sekarang yang semakin hari mengalami degradasi dibandingkan dengan generasi sebelumnya, titik permasalahan awalnya adalah sebab seorang ibu meninggalkan rumahnya, membiarkan anak-anaknya, dan menyerahkan mereka kepada orang yang tidak pandai mendidik mereka.”
Hal yang sama juga diperingatkan oleh Anthony Nimilov, ilmuwan senior asal Russia, sesaat sebelum keruntuhan sistem Sosialis Komunis yang menandai bubarnya Federasi Uni Soviet. Dia memperingatkan perihal wanita karir, terutama kebobrokan moral sebab kehidupan dunia kerja yang bercampur baur laki-laki perempuan secara bebas tanpa sekat dan batas sehingga melahirkan budaya freesex.
Padahal, jika diteliti dengan baik, wanita karir yang memiliki anak diketahui mengalami dilema saat menjalani hidupnya. Dilema wanita karir –yang tidak disikapi dengan bijak- ini terjadi ketika mereka memiliki anak. Konsenstrasi yang biasanya terfokus pada karir terpecah dengan kehadiran anak. Mereka harus membagi diri untuk urusan rumah tangga, karir dan anak. Menjadi‘”wanita super” seperti ini pasti menimbulkan masalah dalam pribadi dan rumah tangganya.
Jajak pendapat ‘Mom Secrets’ yang dilakukan oleh Today dan Parenting.com pada 13 hingga 20 Juni 2011 diketahui bahwa, muncul dilema antara benci dan cinta saat ibu bekerja. Di satu sisi, mereka mengeluhkan waktu yang terkuras di tempat kerja. Di sisi lain, si ibu juga kerap menjadikan pekerjaan sebagai alasan untuk melarikan diri dari rutinitas rumah tangga dan mengurus anak.
Pekerjaan bisa dijadikan alasan untuk menghindar dari pertengkaran anak, mengganti popok, atau kerewelan balita mereka. Saat-saat seperti itu membuat sang ibu membayangkan suasana kerja sebagai dunia yang tenang.
Jajak pendapat dua lembaga ini menemukan bahwa, ibu yang bekerja mengalami emosi yang rumit perihal rumah tangga. Dari 26.000 ibu yang menjadi responden jajak pendapat, diketahui 74 % diantaranya mengatakan mereka bekerja di luar rumah.
Jajak pendapat ‘Mom Secrets’ ini juga merekam beberapa ungkapan benci dan cinta dari ibu yang bekerja. Salah seorang ibu, anonim, menuliskan: “Saya sedih karena harus bekerja seharian penuh di kantor. Tetapi saat pulang ke rumah dan menghabiskan waktu dengan anak, saya malah merasa stres, lelah dan bahkan kewalahan,” ujarnya.
Ibu pekerja lainnya mengakui bahwa memilih untuk menitipkan anaknya sebagai solusi terbaik karena ia benar-benar mencintai pekerjaannya. Di sisi lain, diam-diam berharap bisa mengurus anaknya. Sedangkan ibu lainnya mengaku dengan tulus namun ironis, “Saya merasa bersalah karena setiap hari harus pergi bekerja, jauh dari anak.”
“Banyak wanita yang senang bekerja sambil mengurus anak dan rumah. Sayangnya, mereka kerap memperlihatkan wajah sedih kepada semua orang dan kepada dunia,” terang dalam laporan jajak pendapat suatu lembaga.
Kesimpulannya, kesibukan kaum wanita dengan pekerjaan selain tugas aslinya sesuai penciptaannya (terlebih jika sengaja melupakannya) menyebabkan banyak kerugian dan bahaya terhadap kemanusiaan secara umum, baik moril maupun materiil.
Banyaknya problem dalam keluarga dan rumah tangga saat inipun disebabkan oleh ini. Bingung mencari jodoh saat menyadari karirnya akan habis, usianya makin tua, jungkir balik ke sana kemari. Yang berumah tangga sang anak kehilangan kasih sayang, suami kehilangan romantis dan senyuman saat dia pulang kelelahan dari kerja. Masalah bertambahnya lagi jika pasangannya selingkuh dan kawin lagi. Belum rumitnya urusan saat pra dan pasca perceraian yang selalu menimbulkan problema terpelik dalam hidup.
Maka kembali kepada tuntunan Syariah dalam segala hal adalah solusi yang terbaik sebab syariah telah menyediakan segalanya baik untuk wanita yang hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga, juga wanita yang memilih bekerja mencari nafkah di luar area rumahnya.
bersambung ke bag 3
tulisan bag 1