Selasa, November 26Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

Hukum Menulis Fiksi dan Ilustrasi

Oleh: Awy’ A. Qolawun

(Staf BPP FLP Divisi Rumah Cahaya)

Sumber: i1.tribune.com.pk
Sumber: i1.tribune.com.pk

Sebagai penulis dan aktivis FLP saya pernah mendapat pertanyaan bagaimana hukum menulis fiksi. Begitu pula beberapa pertanyaan lain yang berhubungan dengan media salah satunya perihal detail hukum ilustrasi dalam Islam. Suatu pertanyaan yang wajar sebab memang sebagian besar karya para penulis anggota FLP adalah sastra dan lebih banyak di fiksi semisal cerpen dan novel.

Mungkin bisa jadi bahwa latar belakang pertanyannya (tashowwurul mas’alah) adalah sebab fiksi itu kan bukan kisah nyata, apa tidak membohongi? Dan lagi pula apa tidak membuang waktu? Belum juga fiksi bergenre epik yang menggabungkan antara fakta sejarah dan kisah fiktif (rekaan) hasil imajinasi penulis. Tentu saja suatu pertanyaan yang menarik.

Sebelum saya jawab beberapa pertanyaan di atas, sedikit saya ingin berbagi informasi, bahwa sejauh saya mempelajari ilmu agama, salah satu ilmu yang sangat kami perlukan dan kami pelajari secara mendalam adalah ilmu Adab atau sastra Arab. Tentu saja kami mempelajari jenis apapun kategori ilmu yang ada dalam Adab khususnya Balaghoh dan Arudh yang berhubung dengan puisi-puisi Arab mulai dari era pra Islam (semisal Mu’allaqot Asyr yang tersohor itu) sampai puisi-puisi era modern saat ini semacam syair gubahan Ahmad Syauqi atau Kahlil Gibran.

Untuk kategori sastra non puisi (natsr) sendiri, naskah-naskah kuno yg cukup populer di kalangan kami adalah semisal Alf Lail wa Lailah (kisah 1001 malam) atau Kalilah wa Dimnah, fabel lintas masa yang cukup terkenal dan banyak jadi inspirasi bagi cerpenis kaliber dunia.

Dalam Alf Lail wa Lailah kita bisa menemukan dongen terkenal Aladin juga Sindbad Sang Pelaut. Tentu saja semua kisah yang ada di situ seluruhnya adalah rekaan, dan kita mengambil pelajaran sangat penting dari tata bahasanya yang memang cukup bagus. Sebagai modal untuk memahami tata bahasa Al-Quran dan Sunnah yang memang rumit serta tak semudah yang dibayangkan.

Makanya saya pribadi sempat terperanjat ketika ada yang secara serampangan bilang bahwa menulis fiksi itu haram karena katanya membohongi dan membuang waktu. Secepat itu bilang fiksi haram? Padahal semestinya secara prosedur fiqh jika mengharamkan maka harus menghadirkan dalil pengharaman itu.

Selama saya mempelajari fiqh, tak satupun Fuqoha’ mulai era pembentukan madzhab sampai saat ini yang membahas fiksi secara khusus dan mengharamkannya. Karena ranah fiksi memang di Adab (sastra) yang dalam Bahasa Arab justru dikembangkan karena sangat membantu penguasaan bahasa. Yang pada akhirnya jika diterapkan dalam memahami dalil-dalil Qur’an dan Sunnah justru sangat membantu. Di antaranya kita dengan mudah tahu apa mafhum mukholafah atau mafhum muwafaqoh-nya, konteks dari suatu teks.

Oke, kita kembali kepada bahasan awal, bagaimana hukum menulis fiksi? Haramkah? Bolehkah? Apa bagaimana? Pernah beberapa waktu silam saya menanyakan hal ini kepada beberapa ahli fiqh, sebab saya tidak menemukan jawaban pada literatur-literatur dalam khazanah naskah-naskah fiqh Islami.

Jawaban dari para ahli fiqh itu sendiri cukup beragam namunĀ  fenomenal, intinya adalah bahwa hukum penulisan fiksi dikembalikan pada kaidah “lil wasa-il hukmul maqosid“. Hukumnya tergantung tujuan atau niatnya. Artinya (berdasar kaidah tadi) bahwa menulis fiksi bisa mempunyai lima hukum sebab posisinya hanya sebagai alat saja (wasa-il). Maka menulis fiksi bisa wajib, bisa sunnah, bisa mubah, bisa makruh, dan bisa haram. Melihat apa niat, tujuan serta isi tulisannya.

Tentu saja jika fiksi itu isinya bernilai ruh-ruh Islami yg menyisipkan pesan-pesan dakwah, maka ada pahala dalam penulisannya. Atau semisal seseorang yang dikarunia kemampuan menulis fiksi dengan baik bisa kewajiban baginya untuk memerangi berbagai macam ideologi menyimpang melalui kekuatan fiksinya itu.

Sebaliknya juga jika fiksi itu kontennya berisi hal-hal yg mengundang syahwat, fitnah,maka berlaku hukum ketidakbolehannya atasnya Tanpa melihat dan berbicara soal kreativitas yang memang sangat didukung oleh syariat Islam.

Lho, kok bisa enak gitu hukumnya? kenapa tidak haram begitu saja? Dalam kaidah fiqh disebutkan bahwa asal sesuatu itu boleh sampai ada dalil mengharamkannya. Nah, jika boleh mengkuatkan kebolehan menulis fiksi dg dalil, di Shahih Muslim ada cerita fiksi terkenal yg masyhur dg istilah Hadits Ummu Zare’.

Hadits Ummu Zare’ adalah cerita fiksi 10 wanita yang membanggakan suaminya masing-masing, sebagai suatu perumpamaan. Bahasa sastra dan perumpamaan dalam Hadits Ummu Zare’ ini sangat tinggi sekali dan tentu saja indah. Nah, bangsa Arab (juga bangsa-bangsa yang lain) sejak dahulu kala terbiasa menggunakan cerita untuk menanamkan nilai2 moral pada generasi mudanya.

Cara ini pun juga ditempuh dan digunakan oleh Al-Qur’an bahkan menjadi uslub (tata cara) yang khas dengan kisah-kisah para Nabi atau bangsa-bangsa terdahulu. Tentu saja yang berada dalam al-Quran seluruhnya adalah kisah nyata.

So, bagi yang mengatakan menulis fiksi haram sebaiknya mempelajari dengan baik kaidah fiqh (qowaid fiqhiyyah) dan bagaimana pendapat fuqoha’ soal ini. Jangan langsung main mengharamkan begitu saja, membuat syariat baru itu namanya dan tentu lebih kurang ajar lagi pada Allah dan Nabi

HUKUM ILUSTRASI

Lantas bagaimana sekarang dengan hukum ilustrasi (menggambar)? Nah kalau ini baru dibahas khusus dalam fiqh, ada babnya. Secara singkat, terjadi perbedaan pendapat di antara para Ahli Fiqh sepanjang masa sebab perbedaan dlm memahami dalil. Dan secara garis besar terjadi tafshil (pembagian) soal hukum “menggambar”.

Jika hasil gambar itu berupa 2D atau animasi 3D sebagian besar menyatakan tidak apa-apa, dan ada sebagian yg mengharamkan. Adapun gambar berupa patung, jika patung makhluk hidup utuh, atau tidak utuh tapi ada kemungkinan hidup meski berbentuk tidak sempurna (semisal tak ada kaki, tak ada tangan), para ulama mutlak mengharamkan.

Namun jika ada kmungkinan andai diberi nyawa tak hidup, semisal tanpa kepala. Atau kepala sebatas dada saja, ada sebagian yg membolehkan. Sedangkan patung selain makhluk hidup semua ulama’ membolehkan. Begitupula fotografi, mayoritas ulama membolehkan dan ada sebagian kecil garis keras yg mengharamkan (namun pendapat ini tidak laku).

Perihal analisa dalil atas pengharaman atau pembolehan ini silakan kembali ke referensi-referensi fiqh semisal Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh. kolom ini kurang efektif buat melakukan bedah dalil atas pendapat-pendapat tadi. Akhirnya, semoga mencerahkan dan menambah ilmu. Selamat berkarya dan selamat menikmati hari-hari dengan bacaan-bacaan fiksi bermutu. Wallahu A’lam.

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This