Berapakah waktu yang kita alokasikan untuk menonton TV? Bekerja? Tidur? Ataupun aktivitas lainnya? Namun, adakah alokasi waktu untuk Dia?
Manusia hidup di dunia diberikan jatah waktu yang sama yakni 24 jam selama sehari semalam tidak kurang dan tidak pula lebih waktu yang dilimpahkan kepada kita. Waktu 24 jam itu apakah akan kita habiskan seluruhnya untuk aktivitas dunia?
Kita ketahui bersama bahwa kehidupan di dunia hanyalah kehidupan yang bersifat sementara. Ibarat pepatah yang mengatakan laksana orang yang mampir sejenak. Sebab, lewat dunia inilah manusia akan menyiapkan bekal yang akan dibawa ke suatu tempat yang kekal dan abadi kelak di hari akhir.
Sadarkah kita sekarang? Berapakah waktu yang kita khususkan untuk DIa? Bukankah kita sama-sama sepakat untuk bisa bahagia di dunia dan juga di akhirat? Tetapi, apakah kita akan mendapatkan dua kebahagiaan itu jikalau kita hanya mengalokasikan waktu hanya untuk satu kebahagiaan yakni kebahagiaan di dunia saja.
Bagaimanakah kita bisa memperoleh kebahagiaan akhirat jika bekal yang kita bawa kesana pun hanya sedikit dan kita hanya menyisihkan waktu untuk Dia disela-sela waktu utama kita. Disela-sela waktu utama yakni waktu sisa yang kita miliki. Sebagai contoh, ketika kita ingin melaksanakan sholat. Waktu yang kita gunakan untuk sholat yakni waktu dari sisa dari berbagai aktivitas yang kita laksanakan. Terbukti, pada saat kita melaksanakan sholat. Apakah kita yang menunggu waktu sholat ataukah waktu sholat yang menunggu kita?
Jika waktu sholat yang menunggu kita maka kita termasuk dari orang-orang yang hanya memberikan waktu sisa kita untuk sholat ditengah-tengah kesibukan yang telah kita kerjakan. Namun, sebaliknya, apabila kita yang menunggu waktu sholat berarti kita meletakan sholat pada waktu utama yang kita miliki. Pilihan yang manakah yang akan kita pilih?
Realita sederhana tentang kita menunggu waktu sholat atau waktu sholat yang menunggu kita tergambarkan pada saat sholat akan berlangsung. Apakah kita menunggu adzan terlebih dahulu kemudian kita bergegas menuju tempat wudhu? Ataukah kita mempersiapkan diri terlebih dahulu dengan berwudhu sebelum adzan berkumandang?
Begitu banyakkah waktu untuk Dia sehingga kita tak mampu mengaturnya menjadikan waktu utama dalam keseharian kita? Apakah berjam-jam waktu yang kita perlukan? Padahal hanya sedikit waktu yang kita gunakan dalam keseharian untuk kita persembahkan kepada-Nya.
Jikalau sholat wajib tiap didirikan kita memerlukan waktu sepuluh menit untuk satu sholat wajib. Maka, hanya 50 menit waktu yang kita berikan untuk-Nya dalam sehari semalam. Padahal kita mempunyai waktu 24 jam. Misalnya, kita bulatkan pun waktu 50 menit itu menjadi satu jam masih tersisa waktu 23 jam yang kita pakai untuk kehidupan dunia. Pantaskah kita meminta kebahagiaan akhirat jika hanya 1 jam waktu yang kita serahkan untuk Dia?
Tak sadarkah kita hingga sekarang kita terlena dan terbuai dengan kehidupan dunia? Ketika kita berada di depan TV selama berjam-jam kita tak merasa bosan ataupun gelisah untuk beranjak meninggalkannya. Tapi, ketika kita sedang mendirikan sholat wajib, mengapa kita hendak bergegas-gegas untuk cepat salam dan meninggalkan sholat? Padahal sholat hanya didirikan dalam durasi menit berbeda dengan acara TV yang kita tonton dengan durasi jam.
Disinilah hikmahnya berbagai sunnah yang telah ditinggalkan oleh Sang Idola kita, Baginda Muhammad Sholallahu Alaihi Wassalam. Kita diperintahkan tidak hanya mengerjakan ibadah yang wajib tetapi kita juga diperintahkan untuk melaksanakan ibadah-ibadah sunnah untuk memperlama durasi waktu yang kita persembahkan untuk-Nya.
Lebih betah di depan komputerkah kita berinterakasi dengan dunia maya melalui sosial media ataupun yang lainnya? Ataukah kita lebih betah berinteraksi di depan Quran yang sudah jelas menjadi pedoman hidup umat Islam?
Dari interaksi itulah yang menunjukkan sebesar apakah usaha dan pengorbanan kita mempersiapkan bekal yang akan kita bawa kelak untuk hari akhir. Interaksi yang berikatan dengan dunia kebanyakan membuat kita melupakan interaksi untuk akhirat dan kita lebih menyukai interaksi dunia daripada interaksi akhirat. Terbukti, dengan contah sederhana di atas. Kita akan lebih betah berlama-lama berinteraksi dengan hal-hal yang beraromakan dunia sebaliknya kita belum bisa bertahan lama untuk interaksi yang beraromakan akhirat.
Itulah yang namanya nafsu yang kita turuti hanya menginginkan melakukan hal-hal yang berikatan dengan dunia. Jika kita melakukan hal-hal yang berikatan dengan akhirat,nafsu akan memberontak, dia akan menyuruh kita berlekas-lekas menyelesaikan hal-hal yang beraromakan akhirat.
Diri kita sendirilah yang akan mengarahkannya. Apakah kita akan tetap menuruti apa perkataan nafsu ataukah kita akan menuruti perkataan iman? Perkataan nafsu akan menyuruh kita bergegas mengakhiri aktivitas akhirat sedangkan perkataan iman akan menyuruh kita sabar dalam melaksanakannya.
Kita bisa merasakan sendiri satu jam untuk interaksi dunia tak akan terasa tapi satu jam untuk interaksi akhirat begitu terasa lamanya. Padahal durasi waktu yang digunakan sama yakni satu jam.
Dengan meningkatkan ibadah wajib dan ibadah sunnah inilah salah satu cara kita menambah waktu untuk Dia sebab sungguh malu diri kita meminta kebahagian di akhirat tetapi waktu untuk mempersiapkannya hanya sedikit yang kita berikan dari waktu yang berlimpah yang telah diberikan kepada kita.
Masihkah kita memberikan waktu yang sedikit dan waktu sisa untuk-Nya? Ataukah kita akan merubahnya sebab kita sadar bahwa terlalu banyak waktu yang terbuang percuma tidak ada manfaatnya. 24 jam waktu yang dikasihkan kepada kita. Berapa jamkah waktu yang akan kita kasihkan kepada-Nya sebagai bekal kita menuju kehidupan yang abadi kelak yang akan hanya ada dua pilihan yang akan kita terima. Jika berbuah kebahagiaan maka surgalah balasannya. Tapi, jika berbuah keburukan maka nerakalah balasannya. [ar]