Oleh Yanuardi Syukur*
Semua pelaku terorisme pasti memiliki tujuan akhir (ultimate goal). Lantas, pelaku teror di dua masjid Selandia Baru itu, jika kelak mati, dia akan kemana? Sebelumnya, kita perlu tahu bahwa tujuan duniawi Tarrant adalah agar bangsa kulit putih menjadi bangsa yang paling unggul dari bangsa-bangsa lainnya atau yang disebut sebagai white-supremacy/white power.
Dia menulis, “Saya tidak bisa menggaransi kesuksesan saya. Hidup atau mati, saya telah melakukan tindakan itu (teror) untuk kamu: teman-temanku, keluargaku, masyarakatku, kebudayaanku, dan ras-ku.”
Pada bagian terakhir, Tarrant menulis, “Goodbye, god bless you all and i will see you in Valhalla.”
Apa itu Valhalla? Merujuk pada mitologi bangsa Nordik (Norse Mithology), Valhalla adalah “aula megah yang sangat besar yang terletak di Asgard.” Konon, tempat ini dipercaya sebagai tempat bagi prajurit yang mati dalam pertarungan, dan lokasinya itu bernama Asgard di Islandia. Penguasa Valhalla adalah: Odin. Odin adalah ayah dari Thor. Thor adalah dewa petir yang dalam karakter film Hollywood digambarkan berbadan besar dan pakai palu Mjolnir dengan kekuatan super.
Dalam film Thor yang disutradari Kenneth Branagh, misalnya, diceritakan bahwa Thor yang merupakan putra mahkota Asgard dibuang ke bumi dan mendarat di New Mexico. Saudaranya bernama Loki, kemudian bersiasat untuk merebut tahta dari Thor. Terjadi konflik antara keduanya.
Langit-langit Valhalla itu kabarnya menurut mitologi, dipenuhi dengan perasai emas. Ada banyak makhluk hidup di sekitarnya seperti rusa dan kambing. Di depan Valhalla berdiri pohon emas. Pada abad ke-13, ada sebuah puisi yang dikenal dengan nama “Puisi Edda”. Valhalla juga telah menjadi ilham bagi lahirnya berbagai karya seni, publikasi, budaya populer, aula bela diri, dan aula orang yang terpilih.
Dalam folklor Swedia, mereka memiliki pandangan adanya gunung yang secara tradisional disebut sebagai “tempat tinggal orang mati” bernama Valhall. Dalam perspektif ini, diyakini bahwa dunia orang mati itu berada di bawah, bukan di aula. Akan tetapi, entah kenapa terjadi perubahan makna awal dari “dunia bawah” menjadi “aula” (biasanya aula itu di bagian atas).
Merujuk pada “Puisi Edda”, digambarkan bahwa Valhalla itu memiliki 540 pintu yang jika ada 800 orang di situ, mereka dapat keluar dari pintu itu secara bersamaan. Di sana juga ada aula Thor. Ada juga 540 kamar dan kamar terbesarnya, kata dewa Odin adalah kamar putranya: Thor.
Di zaman modern ini, imajinasi Valhalla terus dikembangkan dalam versi mutakhir. Di dekat Jerman misalnya (tepatnya di Regensburg), telah berdiri kuil Valhalla yang dibangun oleh Leo Von Klenze untuk Ludwig I dari Bavaria antara 1830–1847. Masih di Eropa, tepatnya di Kepulauan Scilly, Inggris, juga berdiri Museum Biara Tresco Gardens Valhalla yang dibangun oleh August Smith sekitar tahun 1830 untuk menampung boneka-boneka kapal dari kapal-kapal yang sudah jadi bangkai alias rusak. Adaptasi konsep Valhalla dalam budaya populer juga terlihat dalam karya sastra, seni, dan bentuk media lainnya. Richard Wagner juga membuat Valhalla dalam siklus operanya Der Ring des Nibelungen (1848–1874).
Lantas, apa agamanya Brenton Tarrant? Sangat mungkin dia adalah seorang penganut agama kuno paganisme. Bangsa Nordik di Eropa Utara sebelum masuknya Kristen memang percaya dengan paganisme (berhala-berhala/mitologi). Tarrant adalah lelaki kelahiran Australia yang berasal dari keluarga Irlandia dan Scotlandia, dua negara di kawasan Utara Eropa. Tarrant bukan penganut Kristen. Hal ini terkonfirmasi dalam manifesto dia yang dia tulis: “Were/are you a christian?” That is complicated. When i know, I will tell you.” Ini berarti bahwa, Tarrant bukanlah seorang religious practioner Kristen, karena dia sendiri merasa bingung dan rumit dengan label keyakinannya.
Maka, tindakan dia melakukan teror kepada umat Islam di masjid Selandia Baru sesungguhnya dapat kita lihat sebagai terorisme yang berbasis pada supremasi kulit putih yang merasa terancam dengan kehadiran bangsa kulit berwarna di tanah Eropa. Dalam hal ini, karena Islam merupakan agama yang pertumbuhannya sangat pesat–dan ini terkonfirmasi dalam riset Pew Research Center–maka Tarrant merasa terancam dengan fakta itu. Apalagi, kata dia orang-orang Eropa “every day we become fewer in number, we grow older, we grow weaker.” Makin hari orang Eropa kulit putih makin sedikit, makin tua, makin lemah.
Fakta “keturunan yang masih menyusut” ini menurut Tarrant tidak hanya terjadi di Eropa tapi juga di Amerika, Australia, dan Selandia Baru yang memperlihatkan fakta orang kulit putih “gagal bereproduksi, gagal membuat keluarga, dan gagal memiliki anak.” (Apa mungkin karena meningkatnya LGBT?)
Yah, saat ini Tarrant sedang diadili di Selandia Baru. Beberapa waktu lalu, muncul mereka yang mendukung Tarrant di internet. Aneh memang. Kenapa tindakan teror sesadis itu masih ada pendukungnya? Beberapa hari lalu, dalam Indonesia-Australia Interfaith Dialogue (13-14 Maret 2019) di Bandung ada salah seorang pembicara yang menjelaskan soal meningkatnya kalangan yang tidak bergama (no religion) di Australia dan ini berimplikasi pada pentingnya relasi antara kalangan yang beragama dengan tidak beragama. Jadi, tidak lagi semata-mata soal relasi antar-pemeluk agama.
Apakah teror ini ada hubungannya dengan semakin meningkatnya kelompok yang tidak beragama yang kemudian kembali pada kepercayaan kuno–paganisme–yang menurut mereka lebih relevan dan menjanjikan kedamaian dan keselamatan serta garansi untuk masuk ke surga Valhalla bertemu Odin yang selama ini cuma mereka lihat di film Marvel sebagai the King of Asgard?
Depok, 17 Maret 2019
* Pengajar Antropologi Universitas Khairun, Ternate, dan mahasiswa Program Doktor Antropologi FISIP UI.
Koordinator Divisi Litbang BPP FLP periode 2017-2021