KIMRI | Cerpen Topik Mulyana
JIKA Tuan seorang ahli sejarah, Tuan pasti tahu nama Desa Cibintinu. Itulah desa kami dulu. Di sinilah pelajar Soekarno bertemu dengan salah seorang leluhur kami, petani Marhaen. Ketika pelajar Soekarno menjadi kian ternama, nama leluhur kami itu acapkali disebut-sebut dalam pidato-pidatonya. Sudah pasti, kami merasa sangat bangga.
Berpuluh tahun lamanya kami hidup dalam kebanggaan semacam itu. Kemudian, peristiwa pada pertengahan tahun 60-an mengubah segalanya. Deru puluhan mobil jip dan gemuruh ratusan pasang sepatu lars yang sepanjang malam tak henti-henti itu seketika menghancurluluhkan kemegahan nama Marhaen dalam benak kami. Sejak itu, kami dibayang-bayangi rasa ngeri, terkucil, dan dicemooh orang-orang sekitar bahwa kami keturunan orang-orang pengkhianat dan biadab. Kami ditiadakan....