Selasa, November 26Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

Oleh-oleh dari Sumenep: Bacalah Fiksi dengan Hati

SUMENEP, FLP.or.id – Kamis, 28 Desember 2017 bertempat di Hotel Sumekar Sumenep, merupakan hari puncak penganugrahan kejuaraan dan bedah buku 10 nominator terbaik lomba cerpen se-Nusantara dalam rangka memperingati hari jadi Kabupaten Sumenep ke-748. Acara ini difasilitasi oleh pemerintah Kabupaten Sumenep bekerjasama dengan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Sumenep.

Lomba menulis cerpen ini diikuti oleh 536 peserta dari berbagai daerah di Indonesia. Dari 536 karya yang masuk, 140 didiskualifikasi karena tidak memenuhi syarat. Jadi, ada 396 karya yang dinilai juri kemudian dipilih 10 karya terbaik. Nama-nama juara berbakat sesuai urutan yaitu : 1. Rofiki Asral, ‎2. Zainul Muttaqin, ‎3. Wi Noya, 4. ‎Wahyudi Kaha, 5. ‎Sengat Ibrahim, 6. ‎Nur Inayah Syar, 7. ‎Fandrik Ahmad, 8. ‎Monik Arrayyan, 9. ‎Ken Hanggara, 10. ‎Denedi Poer

Nama dari beberapa nominator mungkin tidak asing, barangkali kita sering membaca nama mereka terpampang di berbagai media cetak/daring. Bahkan salah satu nominatornya seorang editor di salah satu penerbit mayor, Diva Press. Dan yang menarik, dua diantara sepuluh nominator tersebut merupakan anggota Forum Lingkar Pena (FLP), ialah Wi Noya (dulu aktif di FLP Jakarta) dan Monik Arrayyan (aktif di FLP cabang Pamekasan).

Ada tiga juri dalam lomba cerpen tersebut, mereka ialah Joni Ariadinata (Redaktur cerpen di basabasi.co), Vita Agustina (Novelis), dan Ibnu Hajar (Sastrawan asal Sumenep). Karya terpilih kemudian dibukukan dalam antologi 10 cerpen terbaik lomba cerpen se-Nusantara dengan judul, ‘Kamis Pagi, Pukul Sepuluh’.

Mas Joni selaku juri lomba yang hadir dalam bedah buku kemarin menyampaikan, sebagai penulis, kita harus mampu menuliskan sesuatu yang berbeda dari cara pandang orang kebanyakan. Saat peserta bedah buku mengkritisi salah satu karya dalam buku ‘Kamis Pagi, Pukul Sepuluh’, Mas Joni menanggapi, bacalah fiksi dengan hati. Dalam karya sastra cerpen atau novel, ketidaktepatan satu kata dalam satu kalimat tidak akan meruntuhkan isi cerita, berbeda dengan puisi. Kalau puisi, satu saja salah penempatan katanya, maka itu akan berakibat fatal. Bacalah cerpen dengan hati, agar esensinya tidak terciderai oleh logika.

Penulis: Maftuhatin Nikmah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This