FLP.or.id,– Pada sebuah siang, tak jauh dari kampus Universitas Indonesia, saya memandangi laptop sambil membaca ulang dua file yang ada di folder, yaitu Development Policy Review tahun 2019 dari World Bank dan Roadmap of SDG’s Indonesia: A Highlight dari Bappenas. Dokumen pertama membahas bagaimana Indonesia bisa menjadi “bangsa yang kuat dengan masyarakat yang sejahtera” (rich nation, prosperous people) pada tahun 2030, sedangkan dokumen kedua membahas tentang 17 sektor pembangunan berkelanjutan yang sementara diimplementasikan oleh pemerintah.
Sambil melihat dokumen itu, saya kemudian tertarik untuk membawa pada konteks bagaimana mengembangkan Forum Lingkar Pena (FLP) menjadi makin berdaya tidak hanya dalam kapasitas anggota tapi juga dalam interaksi nasional dan global.
Potensi dan Masalah Kita
Sebagai forum penulis Indonesia, sejak berdiri pada 1997 FLP telah memainkan banyak peranan penting di tanah air, seperti dalam kampanye baca-tulis, kaderisasi penulis muda, solidaritas kemanusiaan, serta dalam berbagai turunan aktivitas literasi. Dalam posisi ini, FLP telah memainkan peranan signifikan dalam memperkaya bacaan, karakter, dan tentu saja internalisasi warna Islam dalam kehidupan kontemporer Indonesia.
Namun, potensi ini sepertinya “berjalan di tempat”, dalam arti bahwa aktivitas organisasi hanya bergelut pada hal-hal yang terlihat biasa, seperti kaderisasi penulis, penerbitan buku, solidaritas kemanusiaan, dan sekedar sharing online di media sosial. Terlihat biasa karena apa yang dilakukan sesungguhnya telah dilakukan juga oleh kepengurusan FLP di masa-masa yang lalu.
Boleh dikata, FLP beberapa tahun terakhir minim terobosan yang hal itu bisa disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, stagnasi militansi pengurus dalam beraktivitas. Militansi dalam berorganisasi merupakan sesuatu yang sangat penting sebagai daya dorong yang kuat agar organisasi terus maju, dan progresif. Jika militansi berjalan di tempat (atau stagnan), maka roda organisasi juga akan berjalan di tempat pula.
Stagnasi ini antara satu wilayah dan wilayah lainnya. Ada wilayah yang terlihat militan sementara wilayah lainnya militansinya telah tercerabut oleh banyak hal, salah satunya adalah tidak adanya kader pengganti ketika pengurus harus berpindah ke profesi baru atau wilayah baru. Di suatu wilayah di luar Jawa misalnya, pada masanya sangat banyak kader militan, bahkan dalam event nasional FLP, banyak kader mereka yang terlihat, akan tetapi ketika masanya tiba, militansi berorganisasi mereka jatuh sejatuh-jatuhnya, bahkan organisasinya juga tidak jalan, kalau tidak disebut telah collaps. Itu tentu saja sangat disayangkan.
Dalam bentuk lainnya, militansi personal kader FLP juga beberapa telah tercerabut. Ketika telah menjadi “mantan pengurus”, seseorang pun berlepas diri dari organisasi. Bisa jadi karena berpikir, “periode saya sudah selesai”, padahal jika militansi itu ada, menjadi pengurus atau tidak tetap posisinya sama: harus berkontribusi terhadap organisasi. Militansi semacam ini memang tidak semuanya punya, namun cukup penting bagi kader FLP, entah yang masih sebagai pengurus atau “mantan pengurus” untuk berkontribusi signifikan bagi organisasi.
Kedua, minimnya terobosan dalam organisasi. Tidak semua organisasi atau personal mau melakukan terobosan. Bisa jadi, karena takut mendapatkan kritikan, khawatir disalahpahami sebagai “perusak tatanan organisasi”, atau tak ada visi yang jelas mau dibawa kemana organisasi ini. Minimnya terobosan ini merupakan tantangan, karena umumnya kader kita di FLP senang “bermain aman”, dan kurang senang untuk mencoba hal-hal baru, apalagi yang baru itu bisa mengundang kesalahpahaman.
Poin pentingnya di sini, FLP butuh terobosan. FLP tidak bisa hanya dikelola dengan apa adanya, apalagi jika sekedar “menghitung hari” kapan kepengurusan akan berpindah. Sebagai organisasi besar, FLP harus dikelola tidak hanya dengan militansi tapi juga dengan berbagai terobosan.
Ketiga, stagnasi karena kurangnya sentuhan personal dari pemimpin kepada anggotanya. Semua pemimpin harus memiliki sentuhan personal kepada koleganya, apalagi ini organisasi nirlaba yang anggotanya tidak mendapatkan keuntungan material dari aktivitas tersebut. Maka, sentuhan personal sangat penting agar mendekatkan hati satu dengan lainnya demi tercapainya tujuan organisasi. Sentuhan personal ini bisa berbentuk menanyakan kabar, sharing pengetahuan/informasi, apresiasi secara tertutup atau terbuka, atau dalam berbagai bentuk lainnya.
Mewujudkan Penulis Berkelas Dunia
Sekedar ikut-ikutan menjadi go international atau go global tentu saja bukan karakter kita, akan tetapi mempersiapkan para penulis agar menjadi penulis dengan kapasitas global/internasional sangat penting bagi FLP. Beberapa penulis FLP telah membuktikan bagaimana karyanya dapat diterima masyarakat global, atau bahkan aktivitasnya yang berdampak global. Jadi, jika tidak (atau belum) berkarya yang berdampak global, setidaknya penulis FLP dapat beraktivitas yang berdampak global.
Lantas, apa yang perlu dilakukan untuk itu? Pertama, perlu ada keteladanan dari penulis senior FLP untuk menunjukkan kepada kader-kader bahwa mereka dapat terus berkontribusi secara global, kendati mereka tidak lagi menjadi pengurus. Beberapa penulis telah membuktikan itu, akan tetapi perjuangannya lebih banyak bersifat “gerilya personal”, yaitu sebentuk usaha diri agar bisa bermobilitas vertikal dengan berbagai sumberdaya yang ada. Maksudnya, mereka naik kelas secara global lebih banyak karena pesona pribadinya ketimbang back up serius dari organisasi.
Beberapa penulis dapat eksis secara global lewat pesona pribadi, akan tetapi tidak semua penulis dapat naik di level itu. Banyak penulis muda yang bertalenta global akan tetapi mereka tidak mendapatkan back up serius agar bisa naik kelas. Akhirnya, sumberdaya mereka hanya berjalan di tempat, dan kita hanya bisa berkata, “..beliau sebenarnya sangat potensial akan tetapi hanya berjalan di tempat.” Banyak. Banyak orang yang potensial di FLP tapi hanya berjalan di tempat.
Organisasi FLP patut “bertanggungjawab” atas fenomena jalan ditempatnya para kader produktif. Mungkin dalam bahasa kaderisasi, mereka yang seharusnya bermobilitas vertikal dari jenjang muda, madya, dan andal harus diperhatikan secara serius. Kemudian, ketika telah jadi andal, apa yang harus mereka lakukan? Tentu saja selain harus terus meningkatkan kualitas karya, mereka juga harus tetap diback-up oleh organisasi. Memang berat. Tapi, back up organisasi sangat penting untuk mengangkat banyak kader potensial ke jenjang yang semestinya.
Kedua, perlu ada percepatan pembelajaran personal. Era media sosial ini menutut tiap orang untuk harus berpikir lebih cepat dan tentu saja harus belajar lebih cepat. Percepatan pembelajaran sangat penting bagi tiap kader agar dapat adaptif dengan zaman yang menawarkan banyak peluang secara cepat. Keterampilan dasar seperti menulis lebih cepat, berbicara di depan umum, seni diplomasi dengan orang/komunitas yang berbeda, memanfaatkan peluang, serta membangun kapasitas diri yang tangguh, sangat penting untuk dimiliki para kader.
Ya, walaupun organisasi telah memback-up serius tapi kalau kapasitas personalnya meragukan, itu percuma. Maka, tiap personal harus bisa memastikan bahwa dirinya telah cakap dalam bidang yang dia minati. Misalnya, jika berminat sebagai penulis fiksi, maka dia harus bisa memastikan dirinya untuk memiliki keterampilan menulis fiksi secara baik, punya jejaring para penulis fiksi, dan visi personal untuk meningkatkan kualitas diri dan karyanya dalam ranah fiksi tersebut. Gambaran sederhananya: jika dia awalnya menulis cerpen di koran kampus, maka selanjutnya harus naik kelas di media daerah, media nasional, dan media berbahasa asing.
Bahasa asing paling sering jadi rujukan saat ini adalah bahasa Inggris. Maka, sebaiknya karya penulis FLP juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, baik itu di blog-blog mereka, atau dikirim ke laman berbahasa Inggris di dalam dan luar negeri. Tentu, karena bahasa Inggris bukan bahasa utama kita maka kita tetap butuh pembaca ahli agar tulisannya lebih baik. Tapi, jangan karena tidak menemukan pembaca ahli, kita jadi patah semangat apalagi tidak percaya diri. Semua yang bisa pasti mulainya dari tidak bisa, bukan?
Ketiga, penguatan jejaring internal dan eksternal. Jejaring internal berkaitan dengan jejaring FLP dari pusat ke wilayah, cabang, dan ranting, sedangkan jejaring eksternal berkaitan dengan berbagai sumberdaya yang secara umum dapat dibagi ke dalam pemerintah dan non-pemerintah. Secara internal jejaring FLP harus diperkuat tidak hanya di dalam negeri tapi juga yang di luar negeri. Kemudian, jejaring eksternal juga harus terus digalang, baik itu dengan instansi pemerintah (dan jumlah serta kualitas kerjasamnya harus semakin bermakna), swasta, dan sesama aktivis literasi di dalam dan luar negeri. Saat ini, kita hidup di zaman jejaring. Internet telah membantu itu dengan baik. Maka, jejaring ini harus kita manfaatkan semaksimal mungkin.
Beberapa hal ini rasanya cukup menarik untuk didiskusikan terkait bagaimana mengembangkan kader FLP yang berkualitas dunia. Apa yang sedang diperjuangkan pemerintah kita lewat pembentukan world-class human capital di tahun 2030 sesungguhnya dapat dilakukan oleh FLP lewat membentuk world-class writers yang lahir lewat kaderisasi organisasi. Maka, teramat merugilah FLP jika tidak berhasil mengelola kadernya untuk naik kelas di tingkat yang sudah semestinya. *
Yanuardi Syukur, Koordinator Divisi Litbang BPP FLP