John Calvin Maxwell (lahir 1947), penulis Amerika yang spesialis membahas soal kepemimpinan memiliki sebuah kutipan menarik berbunyi, “A Leader is one who knows the way, goes the way, and shows the way.” Pemimpin, tulis dia, adalah orang yang mengetahui jalan, berjalan di jalannya, dan menunjukkan jalan.
Sebagai ketua umum FLP yang terpilih secara demokratis pada Munas IV FLP (4/11), dalam konteks kepemimpinan diharapkan telah mengetahui jalan-jalan kepemimpinan, berjalan di jalanan yang telah tersedia, dan menunjukkan jalan kepada kader FLP untuk memberikan yang terbaik untuk lembaga ini.
Seorang pemimpin perlu mengetahui secara persis jalanan yang hendak dilaluinya. Jalanan yang akan ditempuh oleh FLP tidak semuanya sama: ada yang mulus, berliku, bahkan terjal. Mereka yang beraktivitas di pusat-pusat kota biasanya mendapatkan berbagai akses yang mudah baik dari fasilitas maupun SDM, akan tetapi mereka yang beraktivitas di daerah teramat sering tidak memiliki keduanya.
Langkah pertama yang perlu dilakukan pasca terpilih sebagai ketua umum adalah mengevaluasi kepemimpinan sebelumnya secara serius: apa plus dan minusnya. Demi kepentingan lembaga, ia perlu bertanya ke banyak orang, “apa yang kurang dari kepemimpinan yang lalu?” Keberanian untuk introspeksi diri adalah sesuatu yang sangat penting untuk mengenal kelebihan dan kekurangan agar dapat melangkah lebih progresif, efektif, dan penuh tenaga.
Kemudian, berdasarkan renungan dan evaluasi tersebut, melakukan berbagai komunikasi dengan berbagai orang dalam menentukan program kerja dan struktur yang efektif untuk perjalanan lembaga ini selama empat tahun ke depan. Komunikasi efektif perlu dilakukan agar roda organisasi berjalan lebih maksimal dan tetap sasaran.
Harus diakui bahwa di FLP kita kurang melakukan evaluasi dalam beberapa hal: program kerja dan struktur. Program kerja yang telah dicanangkan adakalanya hanya diingat paling tidak pada tahun pertama atau kedua kepengurusan. Setelah itu, pengurus berjalan sendiri-sendiri alias tidak berpatokan lagi pada program kerja yang telah disepakati sejak awal.
Kemudian, soal struktur juga patut diperhatikan. Pada Munas lalu, sebagai evaluasi untuk melangkah lebih baik, paling tidak ada dua petinggi FLP Pusat yang mengatakan bahwa mereka hendak mengundurkan diri (dua kali), akan tetapi tidak disetujui oleh ketua. Keduanya mengakui bahwa mereka tidak bisa memberikan energi terbaiknya untuk FLP. Dalam hal ini, ada baiknya seorang ketua tidak menahan pengurus yang tidak bisa aktif, dan mengganti dengan mereka yang bisa aktif.
Artinya, sejak awal ketua FLP perlu membuat komitmen bersama dengan pengurus pusat bahwa, struktur yang ada ini adalah amanah dan kita harus menjadi pribadi-pribadi yang amanah sekaligus produktif dalam amal-amal jama’i di pusat. Untuk itu, maka diperlukan evaluasi pengurus per enam bulan atau satu tahun. Jika ada yang tidak efektif, tidak bisa maksimal, atau meminta mundur, sebaiknya tidak ditahan-tahan, dan dicarilah kader lain yang dapat mengisi posisi tersebut. FLP tidak kekurangan kader terbaiknya.
Setelah mengetahui jalanan yang hendak dilalui, seorang ketua FLP perlu berjalan di jalannya. Maksudnya, jika program kerja telah dicanangkan (secara detail), maka perjalanan kepengurusan haruslah berpatokan pada proker tersebut. Distribusi wewenang juga dapat dilakukan efektif dalam kepengurusan ini adalah roda organisasi berjalan lebih maksimal, dan tidak menjadi “raksasa tidur”, sebagaimana kritik dari salah seorang pendiri FLP, Helvy Tiana Rosa.
Kritikan Helvy tersebut juga sempat saya dengarkan dari seorang kawan yang lama bergelut sebagai jurnalis dan kini aktif di salah satu media internasional yang mengatakan bahwa selama ini gerak FLP tidak kelihatan. Saya coba menebak, yang dimaksud dengan “tidak kelihatan” itu bisa jadi karena FLP Pusat tidak hadir dalam dalam momen-momen penting di ibukota.
Tolak ukur aktivitas di ibukota cukup penting sebagai branding lembaga. Artinya, dalam momen-momen penting di negeri ini, FLP sebaiknya hadir tidak sebagai organisasi yang diundang akan tetapi yang mengundang, atau tidak sekedar mengikuti arus akan tetapi membuat arus utama dalam dunia literasi di tanah air.
Hal lain yang cukup penting sebagai masukan dalam kepemimpinan FLP Pusat di bawah Afifah Afra adalah sebagai pemimpin yang menunjukkan jalan. Problematika yang dialami oleh FLP Wilayah atau Cabang (yang berlarut-larut) harus segera dituntaskan dengan pendekatan yang win-win solution. Langkah cepat, strategis dan taktis perlu dilakukan agar masalah-masalah yang ada dapat diselesaikan dengan segera karena banyak hal yang harus dilakukan untuk perkembangan literasi di tanah air.
Sebagai kader FLP yang memiliki rekam jejak spektakuler baik dari segi loyalitas pada lembaga dan karya, Afifah Afra adalah idaman bagi banyak orang. Akan tetapi, ia jangan terlena dengan berbagai atribut sebagai kader-kader awal FLP, CEO sebuah penerbitan selama sepuluh tahun, atau deretan prestasi yang begitu mengagumkan dalam berbagai perlombaan.
Sebaliknya, ia tetap harus banyak silaturahmi (online dan offline), pro-aktif, jemput bola, mengajak banyak orang untuk bersama-sama mengembangkan FLP, berkolaborasi dengan berbagai institusi (pemerintah maupun swasta) dalam ikhtiar untuk sama-sama berjuang bagi literasi di Indonesia. Rajin-rajin menyapa ketua wilayah juga cukup penting sebagai pendekatan, dan kedekatan antara ketua FLP Pusat dengan wilayah, juga dengan tetap merawat kemitraan yang telah ada.
Besar harapan kita FLP di bawah kepemimpinan Afifah Afra semakin solid, lebih progresif, dan berdaya jangkau luas dalam peningkatan kapasitas kader dan pengaruh bagi literasi di tanah air.
*Yanuardi Syukur. Kandidat Doktor di Universitas Indonesia. Staf Divisi Karya BPP FLP. Dosen Antropologi di Universitas Khairun, Ternate.