Senin, November 25Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

Perceraian di Musim Wabah

FLP.or.id,- Pada rintihan hujan siang ini, saya memulai tulisan ini dengan sebuah syair lama “I’tiraf” (pengakuan) dari Abu Nawas yang sampai sekarang masih sering disenandungkan orang:

ِإِلهِي لََسْتُ لِلْفِرْدَوْسِ أَهْلاَ# وَلاَ أَقوى عَلَى النّارِ الجَحِيم
فهَبْ لِي تَوْبَةً وَاغْفِرْ ذنوبِي # فَإنّكَ غَافِرُ الذنْبِ العَظِي

“Wahai Tuhanku. Aku bukanlah ahli surga, tapi aku tidak kuat dalam neraka Jahim. Maka berilah aku taubat (ampunan) dan ampunilah dosaku, sesungguhnya engkau Maha Pengampun dosa yang besar.”

Kabar dari Guangdong

Saat coronavirus sedang mewabah, Ms. Wu, seorang ibu rumah tangga berusia 30-an di Provinsi Guangdong Selatan, menghabiskan sekira 2 bulan dalam isolasi dengan suaminya yang tidak bekerja. Saban hari mereka berantem mulu. Gegaranya macam-macam, mulai dari rasa bosan, uang terlalu sedikit, suami yang terlalu sering di depan layar ponsel, hingga urusan rumah dan perawatan anak yang seakan-akan hanya tanggung jawabnya seorang.

Kesal dengan itu, Ms. Wu, bilang: “I don’t want to endure anymore. We’ve agreed to get a divorce…” Aku tidak mau bersabar lagi. Kami setuju untuk bercerai, kata dia, seperti dikutip dari artikel Sheridan Prasso di Bloomberg Businessweek (31/3/2020).

Berbagai laporan menulis, bahwa pada bulan Maret, bulan ketiga sejak coronavirus mewabah dari Wuhan yang membuat pasangan suami-istri harus lebih sering di rumah bersama-sama, angka perceraian naik tajam. Tren itu juga disusul dengan laporan meningkatnya insiden domestic violence, “kekerasan dalam rumah tangga.”

Mungkin ada betulnya ungkapan yang bilang: jauh di mata dekat di hati. Tapi, kalau dekat di mata, apakah bisa juga dekat di hati? Mungkin tergantung ya. Tapi, keseringan bersama–apalagi jika tidak dibarengi dengan saling pengertian, saling memahami, saling membantu, maka semua relasi yang lama dipertahankan bisa-bisa ambyar!

Di kota Xian (Cina Tengah), dan Dazhou (Provinsi Sichuan), mengutip Bloomberg, tingginya pengajuan cerai membuat hampir kewalahan. Bahkan, di Miluo (Provinsi Hunan), dikabarkan: “petugasnya bahkan tidak punya waktu untuk minum air.” Saking banyaknya pasangnya antre untuk bebas dari pasangannya.

Lagu di Youtube terulang lagi di bagian ini:

ذنوبِي مِثلُ أَعْدَادٍ الرّمَالِ # فَهَبْ لِي تَوْبَةً يَاذَاالجَلاَل
وَعُمْرِي نَاقِصٌ فِي كُلِّ يَوْمٍ # وَذنْبِي زَائِدٌ كَيفَ احْتِمَالِي

“Dosaku bagaikan bilangan pasir, maka berilah aku taubat wahai Tuhanku yang memiliki keagungan. Umurku ini setiap hari berkurang, sedang dosaku selalu bertambah, bagaimana aku menanggungnya.”

Kabar dari Tangerang

Gegara pandemi global coronavirus, pasangan suami istri gagah sidang cerai di Pengadilan Agama Tigaraksa. Ada 800 pasangan yang hendak sidang cerai, tapi karena corona ini maka sidang mereka pun ditunda. Proses pelayanan pun ditutup per 1 April 2020, kata Kepala PA Tigaraksa, Sodikin (Tangerang News, 2/4/2020).

Penutupan itu kata Sodikin sebagai bentuk dukungan Keputusan pemerintah tentang pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Tujuannya juga agar penyebaran coronavirus dapat ditekan semaksimal mungkin. Penundaan tersebut membuat status para pasutri tersebut “tergantung”, menunggu waktu yang tepat untuk sidang untuk mendapatkan status hubungannya.

Keputusan itu katanya bisa berubah. Artinya masih tentatif. Tapi, apakah sidang putusannya tidak bisa pakai online saja, misalnya pakai zoom yang lagi ngetrend? Mungkin tentang ini para ahli di bidang terkait dapat memberikan penjelasan.

Kabar dari Sragen

Pada hari ke-22 setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama coronavirus, dua orang warga Depok, di Istana Kepresidenan, seorang netizen, Antonius Dewagara Yudo Prihartono, membuat status Facebook: “Lebih takut bertahan dengan pasangan?” Dia menulis bahwa ada kabar dari temannya, persidangan di PA Sragen masih padat.

“Asal tahu saja bahwa PA (Pengadilan Agama) lebih banyak menyidangkan perkara perceraian. Ternyata saat waspada Covid-19 orang-orang tetap mau berjubel menunggu sidang, tidak takut tertular virus, dan tampaknya sudah benar-benar lebih takut bertahan dengan pasangan daripada takut pada virus Covid-19.” Demikian tulis Anton sambil mengunggah foto sekitar 15 orang yang duduk di empat baris kursi besi berwarna hitam.

Netizen lainnya berkomentar (dengan sedikit penyesuaian): “Gara-gara harus diam di rumah. Angka pencurian 0. Angka kecelakaan lalu lintas 0. Angka pertengkaran suami-istri meningkat tajam….gawat kan?”

Dua komentar netizen tentang “ketakutan pada pasangan” dan “angka pertengkaran meningkat tajam” tentu saja belum ada bukti yang terang, akan tetapi berpijak dari kasus di China, pada bulan ketiga pasca coronavirus, angka perceraian malah meningkat tajam.

Masalahnya Dimana?

Dari kasus China yang sudah jelas perceraiannya meningkat tajam dan Indonesia yang dari dua fakta berbeda itu memperlihatkan “ada gejala” (jika berita dan foto tersebut betul) ke arah sana, membuat kita bertanya, di mana masalahnya sehingga gara-gara coronavirus relasi suami-istri jadi ambyar?

Bisa jadi, problem pertama ada pada tidak adanya tabungan dalam keluarga. Tabungan menjadi sangat penting posisinya saat keluarga menghadapi masalah finansial ketika kepala keluarga tidak bisa bekerja. Jika punya tabungan yang cukup, maka pada beberapa bulan pertama “krisis corona”, rumah tangga masih bisa bertahan–jika problemnya soal keuangan seperti kata Ms. Wu di atas.

Komunikasi yang tidak sehat juga menjadi penguat dua orang yang pernah bersatu ingin berpisah. Bisa jadi karena salah satunya mulai berubah, tertutup, atau memiliki orientasi berbeda yang berdampak pada gaya komunikasi yang tidak lagi nyaman dan menyenangkan. Di masa ketemuan terus ini komunikasi efektif sangat penting dimiliki.

Manajemen rumah yang amburadul juga bisa jadi pemicu untuk itu. Ayah yang tak berdaya, dan ibu yang tidak pedulian, serta anak yang bawaannya suka berontak. Semua itu bisa terjadi dalam rumah tangga. Butuh manajemen, siapa yang bertugas mencari nafkah (walau di masa isolasi), jadwal cuci piring, cuci baju, memasak, membeli makanan, hingga jadwal belajar anak-anak. Kapan ponsel bisa dipakai, berapa lama, dan buka apa, itu juga butuh diatur. Tanpa itu, konflik rentan terjadi.

Hal lainnya, sangat mungkin konflik terjadi karena tidak adanya visi dan misi rumah tangga ini tujuannya ke mana dan tahapannya apa saja. “Saya mah ikut arus aja,” mungkin ada yang berpikir begitu. Tapi dia lupa, yang ikut arus itu biasanya ikan mati, ranting pohon, atau sampah di darat yang dibuang ke laut dan mengikuti saja kemana arus membawanya. Karena hidup saya kecilnya di atas laut, maka saya sering sekali melihat residu alias sisa-sisa/ampas yang tiap hari datang ke belakang rumah.

Visi Rumah Tangga

Maka, rumah tangga yang punya visi dan misi menjadi penting. Anak-anak mau disekolahkan di mana? Bagaimana menuju ke sana? Apa saja persiapannya? Dan, yang penting juga adalah karier suami dan istri yang harus terus naik. Jangan begitu-begitu saja alias ikut arus tadi. Sekali-kali lawan arus tidak mengapa untuk melihat seberapa tangguh bahtera hidup ini menghadapi tantangan.

Hal yang penting lagi adalah kedekatan suami dan istri kepada Tuhan. Memang, orang yang rajin beribadah atau ikut kata agama tidak menjamin rumah tangganya akan langgeng, tapi itu menjadi penguat, menjadi titik-temu bahwa keluarga kecil ini hadir sebagai sarana untuk mengabdi kepada Tuhan dengan sebaik-baiknya.

Di titik ini, penting bagi sebuah keluarga untuk berorientasi pada Tuhan. Kadang, harapan dan kenyataan tidak selalu sinkron. Di situ ada sabar. Tuhan tahu yang kita butuhkan yang mungkin kita tidak tahu. Istri yang taat pada suami itu baik sekali–selama suaminya juga taat pada Tuhan.

Jika itu terjadi, maka cinta sejati perlahan akan muncul. Jangan buru-buru. Maka mungkin betul kata seseorang: “Kasih sejati hanya dapat kita temukan di dalam Tuhan, juga di dalam suami yang takut pada Tuhan.”

Bait terakhir karya lelaki bernama asli Abu Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami, seorang pujangga Arab-Persia pada masa Kekhalifahan Abbasiyah, yang masa mudanya penuh hura-hura dan pesta pora itu pun terus mengalun–seakan-akan ingin masuk dalam cerita dari Guangdong, Tangerang dan Sragen:

َإلهي عَبْدُكَ العَاصِي أَتَاكَ # مُقِرًّا بِالذنوبِ وَقَدْ دَعَاك
َفَإِنْ تَغْفِرْ فَأنْتَ لِذاك أَهْلٌ # فَإنْ تَطْرُدْ فَمَنْ نَرْجُو سِوَاك

“Wahai, Tuhanku. Hamba-Mu yang berbuat dosa telah datang kepada-Mu dengan mengakui segala dosa, dan telah memohon kepada-Mu.

Maka jika engkau mengampuni, maka Engkaulah yang berhak mengampuni. Jika Engkau menolak, kepada siapakah lagi aku mengharap selain kepada Engkau?”

Depok, 6 April 2020

Yanuardi Syukur [Koordiv Divisi Litbang BPP]
*Founder Rumah Produktif Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This