Rabu, Juli 2Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

Pendahuluan | Musyawarah Nasional IV FLP

Begitu rendahkah minat baca orang Indonesia?

Lagi dan lagi, survei tentang minat baca menempatkan Indonesia di peringkat (hampir) terakhir. Adalah “Most Littered Nation ln the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu, menyatakan Indonesia di peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61).

Survei dilakukan sejak 2003 hingga 2014. Menempatkan Finlandia di posisi teratas, disusul Norwegia, Islandia, Denmark, dan Swedia. Menunjukkan kedigdayaan negara-negara Nordic terhadap minat baca. Negara maju seperti Amerika Serikat harus puas berada di peringkat tujuh. Posisi hampir sama juga didapat Kanada, Prancis, dan Inggris.

“Beberapa faktor yang kami periksa adalah potret vital sebuah negara, dan seperti apa peringkat ini mempengaruhi keberhasilan individu dan bangsa dalam pemahaman ekonomi untuk menentukan masa depan global,” kata Presiden Central Connecticut State University Jhon W Miller seperti dilansir The Washington Post.

Peringkat itu ditentukan setelah melihat beberapa variabel yang berhubungan dengan hasil tes pemahaman literasi terhadap siswa untuk melihat perilaku literasi mereka. Selain itu, ada 15 variabel lain yang terbagi dalam lima kategori, di antaranya perpustakaan, koran, sistem pendidikan (inputs), sistem pendidikan (outputs), dan ketersediaan komputer sesuai dengan jumlah populasi.

Ini memang realita…

Bila minat baca saja masih begitu rendah, bagaimana dengan budaya literasi, yang jauh lebih luas dari sekadar kemampuan membaca dan menulis?

Budaya literasi akan mela hirkan kebiasaan berpikir yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan manusia. Budaya literasi menjadikan manusia-manusianya selalu berpikir luas. Budaya literasi menjadikan kita sebagai manusia yang berpikir dan bertindak holistik.

Ketika budaya literasi telah melekat dalam kehidupan berbangsa, maka inilah yang akan memperkuat identitas bangsa. Budaya akan terinternalisasi dalam nilai-nilai kebangsaan. Maka, sosok-sosok yang telah melek literasi, bukan hanya pelahap informasi (yang saat ini sudah seperti air bah). Namun, ia akan menjadi sumber informasi. la membaca, ia menulis, ia berkarya, ia mengejawantahkannya dalam kehidupan. la bukan orang yang latah dalam melahap informasi, ia cerdas dalam memilah informasi, dan yang lebih terpenting, ia mampu menjadi sumber informasi yang baik dan benar.

Forum Lingkar Pena telah dan akan terus berbuat

Dua puluh tahun usia Forum Lingkar Pena (FLP). 1997- 2017. Selama itu pula FLP telah berkontribusi dalam pengembangan budaya literasi di negeri ini. Ribuan karya telah ditulis oleh ribuan anggotanya. Jutaan mata telah membaca karya-karya tersebut. Puluhan rumah baca dari Barat hingga Timur Indonesia telah berdiri. Banyak pihak telah mengakui kerja-kerja FLP dalam pembangunan budaya literasi di Indonesia.

Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, Maimon Herawati, Habiburrahman El Shirazy, Setiawati Intan Savitri, Sinta Yudisia, Afifah Afra, M. Irfan Hidayatullah, Benny Arnas, Sakti Wibowo, Ali Muakhir, Gegge S Mappangewa, adalah sedikit dari nama-nama yang lahir dari rahim FLP. Ada ratusan sosok, yang berjibaku mengembangkan minat baca, membina ribuan orang untuk menjadi pembaca dan penulis, yang akan memperkuat budaya literasi di negeri ini. Ditambah sosok-sosok seperti Taufik Ismail, Pipiet Senja, Gola Gong, Fahri Asiza, Boim Lebon, Joni Ariadinata, dan masih banyak lagi yang membantu dan mendorong berkembangnya FLP.

Dan kerja-kerja itu terus dilakukan. Hingga kini. Kerja-kerja yang direncanakan dengan saksama. Salah satu hilir dari kerja-kerja tersebut adalah Musyawarah Nasional. Sejak 2002, sudah tiga kali Musyarawah Nasional FLP terselenggara. Tahun ini, Musyawarah Nasional tersebut akan memasuki penyelenggaraan keempat kalinya.

Pin It on Pinterest

Share This