Selasa, November 26Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

[Seri Dua Minggu di Australia (bag.4)] MIE GORENG, BALCOMBE, DAN GREEDY KANGAROO

Briefing sebelum siswa olahraga di Balcombe
Briefing sebelum siswa olahraga di Balcombe

Mie Goreng dan Sepasang Kekasih

Jam menunjukkan pukul 06.30. Ahmad Saifulloh mengambil dua bungkus mie goreng. Dimasukkan ke dalam panci kecil dengan dua butir telur yang telah disiapkan Ibu Chris di lemari pendingin. Aromanya sudah mulai terasa saat saya keluar dari kamar. “Mas, sarapan dulu. Ada indomie di panci,” kata Mas Ahmad. Merasa cukup lapar pagi ini, saya bergegas mengambil piring, dan mencoba masakan lelaki berhati lembut asal Ponorogo itu.

“Indomie-nya enak Mas. Saya tambah lagi, gak apa-apa, ya?”

“Monggo, Mas. Itu buat antum, kok, semuanya.”

Tiba-tiba saya teringat masa-masa ketika jadi santri. Kadang kalau makanan di math’am habis (kata teman-temanku, dalam hal makanan jangan pakai istilah sabar, karena man shabara, intaha—siapa ‘bersabar’, kehabisanlah dia) dan keuangan lagi menipis (tidak bisa belanja banyak di maqshaf—canteen) saya harus beli indomie. Pergi ke dapur cari air panas yang terkadang volume airnya sisa setinggi satu atau dua ruas jari yang bercampur dengan beberapa butir nasi. Makannya juga sering langsung dari bungkusan ke mulut. Makan indomie buatan Mas Ahmad ini saya merasa bersyukur. Tambahan rasa bersyukur lagi: air keran di Australia bisa langsung diminum. Jadi, kebiasaan waktu jadi santri di Darunnajah dulu yang suka minum air keran di lantai 1 Gedung Nusantara tetap terpelihara sampai di Melbourne.

Pagi ini hari Rabu, 18 Maret 2015. Jam 07.45 kami sudah harus berjalan kaki ke Flinders Street Station—stasiun kereta jalan Flinders. Mengenakan kemeja lengan panjang dan semi jas, saya turun ke lantai dasar apartment. Tak ketinggalan pakai syal sebagai simbol grup kami. Pagi ini kami dijadwalkan ke sekolah swasta Kristen bernama Balcombe Grammar School (‘e’ dalam Balcombe tidak dibaca) yang berada di daerah pinggiran (suburbs) selatan kota Melbourne. Perjalanan naik kereta memakan waktu sekitar 1 jam. Beberapa stasiun yang kami lewati dari Flinders Street adalah: South Yarra, Hawksburn, Toorak, Armadale, Malvern, Caulfield, Glenhuntly, Ormond, McKinnon, Bentleigh, Patterson, Moorabbin, Highett, Cheltenham, Mentone, Parkdale, Mordialloc, Aspandale, Edithvale, Chelsea, Bonbeach, Carrum, Seaford, Kananook, dan Frankston.

Di kereta masing-masing kita sibuk dengan aktivitasnya. Siti Rohmanatin menelepon anaknya di Jayapura, dan sesekali pakai memperlihatkan wajahnya. Hindun Anisah juga tak ketinggalan menelepon kangmas dan buah hatinya. Ahmad Saifulloh memanfaatkan waktu untuk ngobrol dengan Ibu Chris, guide kami hari ini, dan Lenni Lestari sibuk membuka-buka kameranya sambil sesekali terdiam—mungkin merenung, atau teringat kampung halamannya di Aceh—dan mengambil foto. Sedangkan saya duduk membelakangi masinis.

Ketika tiba di salah satu stasiun, sepasang kekasih ‘tertangkap’ oleh mata saya. Sang wanita berambut pirang mengenakan kaos, dan lelaki ber-sweeter hitam duduk berhadap-hadapan. Sebelum duduk, sang lelaki berumur kira-kira jelang 20 tahun itu meletakkan sepedanya. Sambil ngobrol lepas, sejurus kemudian keduanya mendekatkan wajah satu sama lain. Sementara itu, seorang wanita berkaos merah di belakang mereka hanya tertunduk—entah sedang serius membuka Facebook, atau lagi ‘khusyu’ berkelana di alam mimpi. Satu halte kemudian, sang lelaki ber-sweeter turun dengan sepedanya. Kini duduk sendirian: Tangan kiri memegang handphone, tangan kanan sang wanita menopang dagu. Ah, mungkin sedih. Atau, mungkin tiba-tiba ia merasa ada sesuatu yang hilang, padahal baru saja ia bertemu lelaki itu. Di belakang dia, wanita pirang berkaos merah tetap konsisten dengan kepala tertunduk.

Bahagia dan derita ibarat detak detik pada jarum jam, cepat sekali berlalu.

Dan, tibalah kita di stasiun terakhir: Frankston. Udara sejuk masih terasa di sini. Di salah satu sudut stasiun di bawah papan bertuliskan “Frankston: Change here for Stony Point Service”, saya lihat seorang wanita muda berkulit gelap berjaket hitam celana jeans sedang duduk termenung. “Ada apa gerangan, di hari sepagi ini kok termenung?” Saya ingin menyapa, tapi kita dikejar waktu. Ibu Chris dan teman-teman sudah berlalu agak jauh di depan. Oh, rupanya saya belum tertinggal jauh. Di depan saya masih ada Hindun Anisah yang membeli air mineral di sebuah warung kecil yang juga menjual coffee, cigarettes, newspapers, dan hot food. Untuk masalah rokok, para ‘ahli hisap’ remaja di bawah 18 tahun dipastikan kecewa: tidak bisa beli di sini. Ada tulisannya: We don’t sell tobacco to u/18s.

Kami tiba di Avis, tempat rental mobil. Menggunakan truk mini-bus berplat “1 DK 6 DA: VIC-Stay Alert Stay Alive”, Ibu Chris langsung tancap gas melaju ke Balcombe Grammar School.

Balcombe Grammar

Kesan pertama memasuki sekolah yang beralamat di 389 Nepean Hwy, Mounth Martha ini adalah: bersih, teratur, damai, dan profesional. Dibangun di pinggiran kota, dan tak seberapa jauh dari pantai membuat sekolah ini punya view yang bagus. Walau sekolah Kristen, tapi simbol ke-Kristen-an tidak banyak terlihat di sini, kecuali pada logo sekolah. Kami berdialog dengan Kepala Sekolah Mr. Matthew Dodd tentang kurikulum, metode pembelajaran, dan berbagai aktivitas sekolah setelah melihat-lihat suasana belajar-mengajar. Sebelumnya, ketika masuk di kelas SD, kami melihat mereka sangat antusias bertanya.

“Ini kali pertama kunjungan komunitas Islam ke sini,” kata Jennifer Tod, Wakil Kepala Sekolah.

Para siswa ada yang bertanya, kenapa kami percaya pada Tuhan? Apa binatang kesayangan kami di rumah? Apakah ada makanan yang kami tidak makan? Bagaimana cara ibadah dalam Islam? dan seterusnya.

Kepada teman-teman kami yang berkerudung, anak-anak SD bertanya, “Why do you wear veil? Is it to protect your hair from sunlight?” Anak-anak Kristen Australia memang tidak kenal dengan jilbab atau hijab (dan tidak ada di antara mereka yang hijabers, tentu saja) akan tetapi mereka tertarik untuk bertanya sesuatu yang tidak mereka dapatkan di rumah atau di sekolahnya. Teman-teman kami menjawab bahwa jilbab merupakan ajaran Islam untuk melindungi wanita muslimah. Teman kami yang lain menjelaskan bahwa Islam sangat menghormati kaum wanita, dan Islam adalah peaceful religion, bukan teroris sebagaimana citra negatif yang kerap disematkan media massa tertentu.

Pertanyaan khas anak-anak di sekolah yang bermoto “visi (vision/visium), keragaman (diversity/varietas), dan usaha (endeavour/contendo)” ini cukup menarik untuk dijawab. Para siswa sangat antusias untuk bertanya. Pada pertanyaan tentang hewan peliharaan, di meja kecil dengan anak 4 orang, saya jawab, saya waktu kecil pelihara duck. Kadang saya mandikan dia, beri makan, peluk, dan cium kepalanya. Saya heran kenapa anak-anak itu hanya diam, kayak terheran-heran. Rupanya saya salah sebut. Harusnya saya sebut ayam dengan chicken, tapi saya malah sebutnya duck (bebek). Oalahh. Pantas mereka keheranan dan kepalanya rada berkerut. Mungkin dalam pikiran mereka, “Aneh juga orang ini, masa bebek dipeluk dan dicium-cium.”

Ketika seorang anak berbuat kesalahan, gurunya tidak langsung beri hukuman. Kata Jennifer Tod, jika ada anak bersalah mereka mencoba mendekati dengan pendekatan personal. Mereka tidak serta-merta menyalahkan anak tersebut, walaupun anak tersebut memang salah. Kepada anak yang berbuat salah, mereka berkata, “You are a good student, but what you did in the past is wrong.”  Jadi, kata-kata pertama yang keluar adalah pujian bahwa “kamu adalah siswa yang baik”, dengan begitu ia akan merasa dihargai. Selanjutnya, baru dilanjutkan dengan nasihat bahwa “apa yang kamu lakukan kemaren-kemaren itu salah.” Dengan begitu, sang anak akan berpikir bahwa ia adalah murid yang baik tapi ia berbuat salah. Dengan pendekatan personal ini membantu anak-anak untuk tetap terjaga emosi positifnya, dan menyadari kesalahannya yang selanjutnya akan membuatnya menjadi lebih baik.

Sekolah Balcombe ini memang Kristen, akan tetapi ada juga orang muslim yang jadi siswa. Tahun sebelumnya ada siswa muslim yang dapat juara di sekolah ini, namun tahun ini tidak ada. Memang, animo Muslim Australia untuk memasukkan anaknya di sini termasuk rendah. Selain karena muslim di Australia tidaklah banyak, juga karena mungkin biayanya yang cukup lumayan. Di sekolah ini juga pengunjung tidak bebas untuk foto-foto siswa, karena ada orangtua yang tidak mau anaknya difoto karena khawatir foto tersebut disalahgunakan. Jika mendapatkan izin dari sekolah baru seorang pengunjung bisa foto-foto siswa. Sedangkan untuk foto gedung, relatif bebas.

Pengalaman berkunjung ke Balcombe ini membuat Ahmad Saifulloh menulis artikel berjudul “Laporan dari Australia: Melihat Gontor dari Balcombe Grammar” pada 21 Maret di laman gontor.ac.id. Dari lantai 7 Darling Towers, Saifulloh menulis, “Salah satu kelebihan dari Balcombe Grammar School adalah metode pendidikannya yang modern dan ditambah dengan berbagai aktivitas menarik untuk membantu murid mengenali potensi yang dimiliki dan untuk mengembangkan semua yang dipunyai secara seimbang. Kegiatan akademik dan non akademik berpadu menjadi satu untuk membentuk kepribadian murid.”

Menurut Saifulloh, sistem ini persis sama dengan yang ada di Gontor dimana tolak ukur keberhasilan santri adalah track record-nya di bidang akademik, non-akademik, dan kepribadiannya. Bedanya, lanjut lelaki yang punya nama kunyah Abu Nuya itu, “Di Balcombe siswa-siswa tidak tinggal di asrama.” Berbeda dengan di Gontor—dan saya kira umumnya sistem pendidikan pesantren di Indonesia—yang mendidik santri 24 jam penuh. Di Balcombe, kata Saifulloh, ia melihat banyak hal yang sudah biasa ia jumpai di Gontor tapi dengan kacamata yang lain.

Ikan Salmon dan Greedy Kangaroo

Saya sering dengar nama ikan Salmon, tapi belum pernah makan. Jika orang Melbourne suka Salmon, saya kira ikan Bobara (Bawal) dan Goropa (Kerapu) di Ternate dan Tobelo juga tak kalah lezatnya. Selesai dari Balcombe, kami menuju ke Mornington Park, makan ikan Salmon plus kentang. Saya pikir ini salah satu makanan kegemaran saya. Pas lagi laper-lapernya, kita dapat kentang dan Salmon. Apalagi makannya juga di tempat terbuka di bawah pepohonan rindang dan panorama laut yang indah.

Dari situ kami menuju Mornington Peninsula, berfoto di pinggir jalan dengan latar gedung-gedung tinggi di Melbourne kota yang terlihat samar-samar. “Itu saya lihat Darling Towers dari sini,” kata Ahmad Saifulloh. Ibu Chris hanya tertawa. Darling Towers adalah apartment kami. Jika gedung-gedung paling tinggi saja tidak kelihatan jelas, apalagi Darling Towers! “Saifulloh ini humoris dan paling suka menggoda,” kata Ibu Chris lagi.

Dari sini kami lanjut melihat beberapa hewan asli Australia di Pearcedale Moonlit Sanctuary yang beralamat di 550 Tyabb-Tooradin Rd, Pearcedale. Di situ ada Kangguru, Koala, Emu, dan hewan-hewan asli Australia (Native Australian Animals) seperti Tawny Frogmouth (burung yang mulutnya seperti kodok), Wallaby (Kangguru Kecil), Sacred Kingfisher (burung), dan Dingo (seperti anjing). Di antara hewan-hewan ini, Kangguru-lah yang paling terkenal, sampai orang menyebut Australia Negeri Kangguru, Benua Kangguru. Mungkin karena hewan itu unik, ada kantong di depannya dan nyaris tidak ada samanya.

Saat bertemu Kangguru, masing-masing kita memberikan makanan buat dia. Saya kebagian Kangguru yang banyak sekali makannya. Mungkin dia lapar, kata saya. Tapi kata Ibu Chris, di sini memang ada Kangguru yang makannya sedikit, tapi ada juga yang banyak. Menunjuk Kangguru yang saya beri makanan, kata Ibu Chris, “Ini jenis Greedy Kangaroo.” Makannya banyak dibanding temannya.

Saat diberi makan, Kangguru ini tidak mau dipegang kepalanya. Ketika kita pegang kepalanya, ia langsung lari. Kayaknya hewan ini memang tidak sebegitu akrab seperti ayam, kucing, atau anjing, dengan manusia. Mereka nggak suka dipegang kepalanya. Atau mungkin juga karena kita belum kenal satu sama lain, akhirnya belum bisa dekat, belum cinta. Persis kata pepatah, tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta. *

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This