Senin, November 25Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

Menulis Selera Dunia Rasa Akhirat

Sebentar lagi FLP akan mengadakan Munas yang keempat. Ini munas perdana bagi saya. Di tengah ingar bingar calon ketua FLP yang baik mencalonkan diri, diam-diam dicalonkan, atau mau nyalon tapi malu, dan ada niat nyalon tapi tidak untuk sekarang.

Apapun itu yang melatarbelakangi, saya berharap semua berangkat dari niat yang suci nan tulus. Bukan sebagai jalan melancarkan misi pribadi, efeknya akan terlihat pencitraan yang dibuat-buat. Dan akan sangat merugikan, walau secara biografi sangat potensial.

FLP sekarang ini, tidak hanya memerlukan leader yang bisa menjadi contoh dalam karya-karyanya. Jauh lebih dari itu yang bisa membawa angota-anggotanya sebagai insan-insan literasi yang membumi dengan akhlak baik sebagai penyeru kebaikan atau da’i bertinta emas.

Di sebuah cabang, pelosok sekali yang saya pimpin saat ini. Beberapa teman termasuk saya, yang tengah berjuang menjadi penulis andal (penulis nasional) dengan segala keterbatasannya. Dengan latar belakang ekonomi serba minim. Ada yang mencari nafkah sebagai penjual pecel, pengepul barang bekas, pedagang ikan hias, penjaja es keliling. Bukan sebuah profesi yang dianggap mumpuni oleh kebanyakan orang. Mungkin sedikit berbeda seperti teman-teman lain di tengah kota yang sebagai dosen, guru, PNS atau bahkan dokter.

Dari latar belakang yang tak sebanding itu, kami yang sangat innocent kata orang. Maka kami hadir bukan sebagai pesaing, bukan juga sebagai cabang yang diharapkan apalagi diandalkan. Jauh sekali rasanya, karya pun masih malu-malu-in. Kami sadar, sudah terbiasa berjuang di tengah keterbatasan. Kehidupan kami saja merupakan perjuangan panjang yang mungkin tak berujung.

Tapi, saya punya tim yang solid walau minim fasilitas. Tempat kelas menulis kami nomaden, numpang sana sini. Alhamdulillah, masih banyak pihak yang memberi tumpangan (kasihan mungkin). Namun semangat untuk terus belajar seputar dunia kepenulisan tak pernah berhenti.

Program kerja pun terus berjalan. Untuk mengadakan event seperti seminar kepenulisan, jangan ditanya uangnya dari mana. Proposal, nyaris tak berlaku di tempat kami, tepatnya kurang didukunglah. Jadi? Merogoh kocek masing-masing, untuk membuat spanduk pakai uang si A, untuk snack uang si B. Dan ketika terselenggara dengan lancar, puas bathin kami.

Saya merasa, di tengah “kemiskinan” organisasi, justru Allah memberi saya orang-orang kaya dengan jiwa dan mimpi besar. Rasanya ini pondasi yang bagus untuk bergerak lebih baik. Terkadang fasilitas lengkap, anggota dengan jabatan bergengsi, dana bertaburan, belum tentu mau bergerak, mau berbuat banyak untuk forum. Umumnya hanya menunggu undangan, lalu duduk di kursi paling depan saat acara.

Memang untuk saat ini, masih minim kontribusi karya kami untuk dunia literasi dan FLP. Karena memang jenjang keanggotaan saja masih muda semua. Saya masih mengakomodir semua anggota. Karena tidak semua dari mereka doyan menulis, ada yang suka ikut keorganisasiannya, ada yang suka keislamannya.

Berangkat dari niat anggota yang heterogen itu, saya pilah sesuai kebutuhan mereka. Bagi yang tertarik sekali di bidang kepenulisan, saya beri tugas mengirim tulisan, mengikuti lomba, membuat antologi dan lain sebagainya. Bagi yang sukanya keorganisasian, saya libatkan mereka untuk buat event-event seperti taman baca keliling, lorong puisi, dongeng anak ceria dan lainnya. Bagi yang suka keislaman, bila ada kajian umum, dia yang saya utus, lalu ditugasi buat rangkuman yang nanti akan disampaikan saat pertemuan kelas mingguan.

Mau tak mau, suka tak suka, sebuah organisasi memerlukan SDM. Harus pintar-pintar menempatkan mereka, membangun kebersamaan sehingga mereka bisa diberdayakan untuk jalan dakwah ini. Makanya saya kurang setuju, bila kedepan jenjang muda, madya dan andal ini akan diperingkat atau dinilai secara lebih spesifik. Saya khwatir, bagi teman-teman saya yang minim hasrat menulisnya, perlahan tersingkir atau mulai berbalik mundur. Karena FLP tidak melulu soal kepenulisan, toh ada dua pondasi penting lainnya.

Saya hanya mengajak mengingat bersama, FLP sudah masuk di usia 20 tahun. Sebuah organisasi besar menurut saya, berisi orang-orang hebat dan berkelas dibidangnya. Tapi besar saja tidak cukup. Bagi saya, nama Besar bukanlah sesuatu hal yang istimewa, bila ia tidak dibawa menuju jalan Allah, menuju mencari ridhoNya. Bahkan semuanya bisa dianggap amal (perbuatan) tertolak.

Mengutip kalimat penuh muhasabah dari penulis M. Fauzil Adhim “Sungguh-sungguh berdakwah ataukah membesarkan nama sendiri dengan alasan dakwah. Hati kita perlu diingatkan agar tak mudah dikelabui oleh dunia maupun amal yang tampaknya shalih, padahal salah.”

Talenta-talenta luar biasa yang kita miliki, akan menjadi pengaruh luar biasa pula bagi peradaban literasi Indonesia bahkan dunia. Sesuai visi kita yang khas menyajikan karya tulis yang mencerahkan. Dengan kembali pada dakwah, maka Allah akan memperteguhkan kedudukan kita tak hanya di mata manusia bahkan malaikat-malaikatNya.

Mari sajikan karya-karya bergengsi di dunia dengan rasa akhirat.

Salam,
Fajar Kustiawan
Ketua FLP Cabang Prabumulih
NRA.001/D/004/008

Sampai jumpa di Bandung.
Dengan kami yang menabung setahun silam untuk berangkat Munas.
Bersama tukang pecel, pengepul sampah, tukang es dan pedagang ikan hias.

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This