SENANDIKA, FLP.or.id – Post Traumatic Stress Disorder atau PTSD yang menimpa para korban trauma, dapat dioptimalkan dengan menciptakan Post Traumatic Growth.
Apa yang harus dilakukan pikolog, konselor, relawan dan masyarakat?
1. Personal strength – kekuatan personal. Temukan dalam setiap individu baik korban atau relawan kekuatan pribadi masing-masing. Baik fisik maupun psikis. Yang jago memerintah, dipersilakan jadi tactical leader untuk mengkoorodinir bantuan. Yang lembut hati, diminta untuk menjadi bahu bagi para korban , just like a shoulder to cry on. Yang kuat fisik, segera terjun ke dapur umum. Yang pintar cerita, segera minta untuk menghibur anak-anak. Yang luwes bekerja, segera tunjuk untuk melayani manula. Pendek kata, dalam situasi ekstrim , kekuatan individu biasanya justru muncul .
2. New Possibilities – korban dan relawan harus melihat reprioritization. Apa pritoritas utama? Sekolah dan bekerja? Atau apa? Prioritas utama adalah bertahan hidup dengan makanan seadanya. Tidak perlu berpikir dulu: kerjaku gimana? Gajiku gimana? Di daerah pengungsian ciptakan kemungkinan-kemungkinan baru : menyemai biji tomat atau cabe, merawat anak kucing, menggendong bayi menangis. Apapun pekerjaan yang selama ini tak pernah dilakukan, lakukan! Biasanya di titik ini, art therapy bermain. Writing therapy, drama therapy, atau art therapy lainnya. Mainkan. Bagikan kepada korban kertas untuk menulis, menggambar, origami. Bahkan bila tersedia media seperti kain atau kanvas, melukiskalah dengan alat apapun. Pensil, arang, minyak, tomat, kunyit. Lukisan atau tulisan. yang dihasilkan sejak hari pertama di pengungsian hingga hari terakhir, akan menjadi jejak healing yang luarbiasa. Termasuk di dalamnya membaca buku, baik buku umum atau buku agama.
3. Relating to others – bicaralah dan interaksi dengan orang di sekitar. Siapapun mereka, tak perlu mengenal lebih dahulu. Tanyakan nama, asal dan kondisi kesehatannya. Ucapkan syukur bahwa kita bersama masih hidup. Hidup masih menyajikan banyak harapan, impian, kebahagiaan. Kehidupan di pengungsian yang penuh keterbatasan, akan memunculkan rasa kasih dan kepedulian pada sesama.
4. Appreciation of Life – peristiwa traumatic yang menyisakan korban selamat biasanya justru menghadirkan survivor atau penyintas yang luarbiasa tangguh! Setelah ratapan dan raungan itu dapat dilepaskan; muncul kepribadian baru yang lebih tahan banting. Hargai nilai positif apapun dari hidup : kaki yang masih dapat berjalan, indera yang masih sempurna. Kesempatan untuk melihat matahari terbit. Kesempatan untuk masih mendengar Quran, adzan, nyanyian anak-anak. Syukuri bahwa di antara segala keterbatasan, masih berada di Indonesia yang dikelilingi saudara-saudara yang peduli. Walau bantuan terlambat datang, tetaplah berpikir positif. Bantuan tak henti mengalir bagi korban.
5. Spiritual Change – perubahan spiritual menjadi lebih meningkat. Mengapa ini terjadi padaku? Mengapa aku mengalami semua ini? Kenapa aku harus menderita? Harusnya aku tidak berada di tempat itu. Dan seterusnya. Letupan perasaan itu pasti timbul. Sebagai manusia, hal wajar bila kepedihan dan kesedihan menyebabkan kelumpuhan motivasi. Dengan kekuatan spiritual untuk menemukan jawaban : ternyata Tuhan memilihku untuk hidup demi sebuah alasan mulia dan tanggung jawab yang besar, hidup akan kembali merekah dan berbunga. Mereka yang meninggal telah tuntas tugasnya. Tetapi yang masih dibiarkanNya hidup, berarti bersiap mengemban amanah mulia.