Oleh: Mashdar Zainal
Kami menggambarkan kondisi ibu seperti ini: ruh yang sudah terlanjur pamit pada jasad, namun tak bisa benar-benar pergi dari jasad yang sudah dipamitinya lantaran ada satu persyaratan yang urung ia tunaikan. Dan kami semua mengira bahwa satu
persyaratan itu adalah selafas kata maaf dari nenek yang telah pergi mendahuluinya. Ini memang sedikit rumit. Coba katakan, bagaimana cara mendapat maaf dari seseorang yang telah lama dikubur. Tak ada satu hal pun yang bisa kami upayakan, kecuali doa yang mungkin sia-sia.
Ibu telah terbaring di kasurnya selama sepuluh tahun. Ibu sudah sangat tua—sangat tua. Tak ada satu pun dari kawan sebaya ibu yang masih menghirup napas di muka bumi. Dan jika kami memaparkan kembali bagaimana kondisi ibu, hal itu hanya akan membuat kami miris dan menangis. Rambut ibu sudah seperti serabut kemoceng yang masai karena terlalu sering dipakai, dan warnanya putih keperak-perakkan. Sedangkan tubuh ibu, ia hanya tulang rapuh yang terbalut kulit yang juga rapuh. Ibu nyaris tidak bergerak ataupun berkata-kata. Hanya sepasang matanya yang masih saja mengerjap-ngerjap—sesekali mendelik.
Dan tubuhnya—semua bagian tubuhnya, seperti bau kotoran yang tak bisa dibersihkan. Ketika kami mencoba menyekanya dengan air, kulit ibu malah lecet-lecet. Ibu kelihatan sangat menderita—sangat menderita. Dan kami seolah memang dititahkan untuk membaca sesuatu dari apa-apa yang dialami ibu.
Sebelum sakit ibu benar-benar parah, ibu pernah berpesan pada kami, semacam wasiat, seolah-olah ia tahu bahwa hal buruk akan menimpanya kelak. Sambari melumerkan air mata, ibu berujar demikian, “Ibu selalu berdoa, supaya Tuhan mengambil ibu sebelum ibu menyusahkan kalian, tapi jika keadaan berkata lain, dan ibu benar-benar pikun tak bisa mengenal siapapun atau tak bisa merasakan apapun, ibu telah siap dan telah memaafkan kalian jika kelak kalian memperlakukan ibu tidak sepatutnya. Ibu benar-benar tak bermaksud menyusahkan kalian.”
Ibu sepertinya sudah tahu bahwa dalam waktu dekat ia akan menanggung sesuatu yang berat. Dan rupanya kata-kata ibu terbayar tunai. Bebilang tahun setelah ibu mengatakan itu, kami benar-benar memperlakukan ibu dengan tidak sepatutnya. Karna kondisi ibu yang sedemikian
parah, kami hanya meletakkan tubuh ibu di atas kasur tepos dan bau, di dalam kamar tanpa pintu yang bersandingan lansung dengan kamar mandi. Kami tidak mengenakan baju pada tubuh ibu, karena itu akan membuat kami kesulitan untuk membersihkan kotorannya. Jadi kami hanya membungkus tubuh ibu dengan sehelai sarung sebelum menyelimutinya. Jika malam tiba, kami akan tidur di kamar masing-masing dan baru akan menengok ibu keesokan paginya, ketika tubuh ibu telah belepotan kotorannya sendiri.
Kami acap menangis, dan bahkan kami tak tahu apakah kami menangis karena jiwa dan raga kami yang begitu lelah ataukah kami menangisi keadaan ibu, semunya bercampur baur, tak bisa kami kenali. Ketika kami merasa sangat bersalah pada ibu, kami akan kembali mengingat pesan ibu, bahwa ibu sendiri yang meminta diperlakukan demikian. Ia sendiri yang mengatakan akan memaafkan kami kalaupun kami meperlakukannya kurang patut.
Kami tak tahu, apakah karma memang benar-benar ada. Namun, seingat kami, sewaktu kami kecil, ibu juga melakukan hal yang tidak sepatutnya pada nenek. Kami lupa-lupa ingat. Dari cerita yang bergulir dari mulut ke mulut, dari saksi hidup ke saksi hidup, sewaktu ibu masih muda, ibu telah melakukan sebuah kesalahan yang fatal, satu hal yang tak termaafkan, bahkan mungkin oleh Tuhan.
Kakek telah meninggal bertahun-tahun sebelum nenek meninggal di tempat yang paling menyedihkan dan tidak pernah diharapkan oleh ibu manapun. Alkisah, ketika ibu mulai melahirkan anak pertamanya, ia mulai kuwalahan, ia tak sanggup merawat nenek yang sudah semakin tua, semakin pikun dan menyusahkan. Hingga akhirnya ibu dan bapak berembug untuk mengirim nenek ke panti jompo, dengan dalih supaya nenek mendapatkan banyak kawan sebaya yang nyambung ketika ngobrol. Mungkin itu akan lebih baik bagi nenek, ketimbang berdiam di rumah seperti arca.
Sebagai orang tua yang sudah terlanjur kecewa, tentu nenek merasa tak perlu membantah keputusan ibu—anak nenek satu-satunya. Ibu mengunjungi nenek setiap sebulan sekali sambil membawakan makanan kesukaan nenek, tapi nenek tak pernah menggubris. Celakanya, ibu bukanlah perempuan yang peka bahwa sesungguhnya ia telah dikutuk oleh ibunya sendiri dengan cara paling mengerikan yang harus ia tanggung ketika ia tua kelak.
Melihat sikap nenek yang begitu datar tak lantas membuat ibu meminta maaf pada nenek dan membawanya kembali ke rumah, alih-alih butik yang dikelola ibu semakin ramai, membuat ibu semakin jarang mengunjungi nenek di panti jompo. Sikap ayah pun setali tiga uang. Dan mungkin—seingat kami, ibu pernah mengatakan, bahwa sebaiknya nenek memang tidak usah diganggu dengan kedatangan kami, nenek telah menemukan dunia barunya. Jadi yang dilakukan ibu hanya menelpon ke panti jompo sesekali untuk menanyakan keadaan nenek. Terakhir ketika ibu menelpon nenek, nenek tidak mau bicara pada ibu, mungkin detik itu ibu baru sadar bahwa
sikap nenek selama ini adalah ungkapan kekecewaan yang tak terukur dalamnya. Dan sebelum ibu sempat mengunjungi nenek, ibu mendapat kabar mendadak dari panti jompo, bahwa nenek sudah pergi—pergi selama-lamanya.
Ibu menangis dan segera menjemput nenek—jasad nenek, dengan penyesalan yang menguntit ubun-ubunya, mungkin sampai kelak pada hari ketika ibu mati. Selepas kematian nenek barulah ibu insyaf tentang sesuatu yang harus diinsyafi oleh siapapun: jika seorang ibu sudah murka—sangat murka, maka itu adalah sebuah alamat bahwa hidupmu ke depan tak akan pernah bahagia sampai kemurkaan ibumu reda.
Sebagai wanita karir, ibu adalah wanita yang cukup berhasil, seharusnya ia hidup bahagia dengan beberapa putra yang ia sayangi dan menyanginya. Namun kami kerap melihat sesuatu yang janggal di mata ibu, kami mengibaratkan jika di dunia ini ada sepuluh pintu yang bisa membuat kebahagiaan seseorang sempurna, maka ibu telah mendapatkan kunci dan membuka semua pintu, kecuali satu pintu: restu dari nenek. Dan belakangan ibu tahu bahwa di antara sepuluh pintu, pintu yang kuncinya ia campakkan itu adalah salah satu pintu terpenting.
Kami acap membayangkan hari-hari nenek di panti jompo hanya terisi oleh kekecewaan yang telak pada ibu, kekecewaan yang diselingi sepatah kalimat yang sama yang ia tujukan pada ibu, “Ini tak akan berubah, bahkan sampai pada hari ketika kau mati.”
Mungkin kami pernah mendengar nenek mengatakan hal demikian, tapi mungkin ketika itu kami tak terlalu paham. Seingat kami nenek memang gemar sekali meracau, lebih-lebih semenjak ia dikirim ibu ke panti jompo.
Kami terlalu enggan untuk menyebut itu kutukan, kami juga tidak nyaman menyebutnya sebagai karma, tapi kami tak tahu istilah lain yang menjadikan kondisi ibu sedemikian miris, seperti jasad yang sudah waktunya dikubur akan tetapi masih terikat oleh ruh yang tersesat di dalamnya, selama sepuluh tahun. Dan kami, anak-anak ibu, benar-benar buntu, tak tahu apakah kami akan bisa bertahan merawat ibu sampai pada hari ketika ibu pergi kelak.***
Malang, 2015
*Mashdar Zainal, lahir di Madiun 5 Juni 1984, suka membaca dan menulis puisi serta prosa. Tulisannya terpercik di berbagai media. Buku terbarunya ‘Gelak Tawa di Rumah Duka’, 2020. Kini bermukim di Malang.