FLP.or.id,- Salah satu program Divisi Litbang BPP FLP Periode 2017-2021 adalah penerbitan buku sejarah FLP. Pada milad FLP ke-22 (2019), buku tersebut telah diluncurkan yang dirangkaikan dengan seminar nasional, musikalisasi puisi, video FLP yang digelar di Gedung Balai Pustaka, Jakarta (24/02/2019).
Setelah diluncurkan, buku sejarah tersebut terus direvisi sebaik-baiknya setelah mendapatkan masukan dari berbagai pihak, termasuk FLP wilayah se-Indonesia dan luar negeri. Revisi tersebut merupakan bagian dari upaya untuk menghadirkan jejak FLP dalam literasi Indonesia yang terus hadir dalam berbagai kegiatan.
Apa itu Buku Sejarah FLP?
Buku sejarah FLP adalah buku yang ditulis dengan semangat untuk menjelaskan kiprah Forum Lingkar Pena sejak berdiri tahun 1996. Kiprah FLP tidak hanya berfokus pada kaderisasi penulis, tapi juga merambah pada berbagai bidang seperti wadah kepemimpinan, tempat berbagi, tempat belajar, dan gerakan literasi dalam arti seluas-luasnya.
Dalam buku yang berjudul “Berbakti, Berkarya, Berarti: Jejak Forum Lingkar Pena dalam Gerakan Literasi Indonesia” (versi 2019 dan 2020), sejarah tersebut ditulis dalam beberapa bab, yaitu: mengenal FLP, kaderisasi penulis, perangkat organisasi, program pembinaan, jaringan penulis, advokasi penulis dan kemanusiaan, kerjasama, dan arti FLP bagi Indonesia.
Bagian pertama, “mengenal FLP”, dijelaskan tentang pendirian FLP dari Masjid UI yang kemudian tersebar di berbagai wilayah di Indonesia dan luar negeri dan penghargaan yang diperoleh oleh FLP seperti Danamon Award. Sejarah awal ini juga disertai dengan apa saja buku yang terbitkan oleh FLP yang bermitra dengan berbagai penerbit Indonesia. Buku-buku tersebut kini telah klasik, jarang diperoleh di pasaran, akan tetapi masih menarik. Bahkan beberapa buku tersebut bahkan menjadi bahan untuk riset untuk jenjang sarjana dan pascasarjana.
Bagian kedua, “kaderisasi penulis” membahas tentang bagaimana FLP menjadikan kaderisasi sebagai bagian penting dari eksistensinya. Artinya, FLP tidak akan ada jika tidak ada kaderisasi. Dalam kegiatannya, FLP berfokus pada bagaimana mencetak penulis baru, dan bagaimana meningkatkan kualitas penulis di semua jenjang: muda, madya, dan andal. Bagian ini juga membahas bagaimana alih wahana karya tulis FLP ke dalam bentuk naskah film layar lebar, musikalisasi puisi, dan lain sebagai. Tagline “literasi berkeadaban” juga dibahas dalam bagian ini sebagai spirit penting dalam berkegiatan.
Pada bagian ketiga, “perangkat organisasi”, dijelaskan tentang musyawarah nasional, dewan penasihat, dewan pertimbangan, ketua umum, badan pengurus pusat, pengurus wilayah, cabang, dan ranting. Bagian ini bercerita tentang “bagaimana struktur bekerja” dalam organisasi FLP. Profil para mantan ketua umum juga dibahas, masing-masing: Helvy Tiana Rosa, Irfan Hidayatullah, Setiawati Intan Savitri, Sinta Yudisia, dan Afifah Afra. Juga, nama-nama pengurus BPP ditulis sebagai bagian dari upaya untuk mengenal pengurus pusat.
Selanjutnya, pada bagian “program pembinaan”, dibahas bagaimana visi dakwah bilqalam yang menjadi spirit organisasi ini sejak awal berdiri sampai sekarang dengan artikulasi yang sangat variatif. Beberapa program FLP juga dibahas di sini seperti perekrutan anggota, pelatihan menulis, penerbitan buku, kritik sastra, kelas online, dan rumah cahaya.
Bagian “jaringan penulis” merupakan bagian yang paling panjang karena bercerita tentang jaringan FLP di dalam dan luar negeri, serta Blogger FLP. Menulis sejarah wilayah tiap FLP memang tidak mudah, karena tidak semua wilayah menuliskan sejarahnya yang dipublikasikan di internet. Selain itu, juga pada beberapa wilayah, cabang, dan ranting terjadi “keterputusan kaderisasi” yang membuat FLP di wilayah tersebut tidak aktif, dan berdampak buruk: sejarah jadi hilang. Pengurus baru yang hendak mengaktifkan FLP di wilayah tersebut pada akhirnya harus bersusah payah membuat sejarah baru, padahal seharusnya melanjutkan apa yang telah ada. Bagian ini sangat membutuhkan berbagai masukan dari wilayah, cabang, dan ranting agar terus di-update tiap tahun. Jadi, versi buku sejarah ini bisa terus aktual.
Bagian “advokasi penulis dan kemanusiaan” menjelaskan tentang bagaimana kepedulian FLP tidak hanya pada mencetak penulis tapi juga peduli kepada sesama penulis. FLP telah berkontribusi dalam memberikan bantuan kepada para sastrawan, anggota FLP, dan juga menggelar bantuan kemanusiaan untuk berbagai musibah di dalam dan luar negeri. Ini menjadi bukti bahwa kaderisasi penulis tetaplah harus peduli pada nasib umat manusia di manapun berada.
Bagian “kerjasama” bercerita tentang apa saja kemitraan yang telah dibangun FLP. Sudah banyak lembaga yang bekerjasama, baik itu lembaga pemerintah maupun swasta; lembaga dalam maupun asing seperti kedutaan besar. Kemitraan itu merupakan aset yang sangat berharga sekaligus menjelaskan bahwa FLP merupakan organisasi yang terbuka pada semua kalangan yang sama-sama berjuang untuk gerakan literasi dan pencerdasan masyarakat secara umum.
Sedangkan “arti FLP bagi Indonesia” merupakan refleksi singkat tentang arti lembaga ini bagi Indonesia. Sebagai tanah tempat FLP berpijak, Indonesia merupakan “ladang kontribusi” paling besar bagi kader FLP. Kendati para kader juga berkontribusi di luar negeri, akan tetapi mereka tetap berfokus pada tanah Indonesia, karena jiwa mereka sepenuhnya Indonesia dan berjuang untuk kemaslahatan sebanyak-banyaknya bagi masyarakat Indonesia.
Mengapa Ditulis?
Kata “sejarah” berasal dari bahasa Arab, syajarah yang berarti “pohon.” Artinya, sejarah dapat diibaratkan sebagai pohon yang punya akar, batang, dan ranting. Pun demikian dengan sejarah, seperti sejarah manusia yang punya masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Sejauh ini, belum ada buku sejarah resmi yang dikeluarkan oleh FLP. Beberapa tulisan aktivis FLP berserakan di berbagai buku pribadi, antologi, atau juga di koran, laman-laman internet, termasuk di laman multiply yang dulu sempat menjadi laman favorit bagi aktivis FLP untuk berbagi. Namun, ketika laman-laman itu hilang (karena banyak faktor), data pun jadi hilang. Padahal, begitu banyak hal penting dari perjalanan organisasi ini yang telah tertulis, dan menarik untuk diwariskan.
Apa yang dilakukan oleh pujanngga Majapahit abad ke-14, Mpu Tantular lewat Kakawin Sutasoma, bisa jadi terlihat biasa pada zamannya, akan tetapi menjadi penting 6 abad kemudian ketika Indonesia merdeka. Kalimat “bhinneka tunggal ika” yang berarti “berbeda-beda akan tetapi satu” diambil dari buku tersebut. Jika ditarik lebih jauh, tulisan dia beberapa goa bahkan saat ini menjadi bukti arkeologis terkait sejarah manusia. Dalam sejarah Islam, pengumpulan dan penulisan Al-Qur’an menjadi inspirasi bahwa sabda suci perlu dikumpulkan agar dapat diwariskan nilai-nilai yang ada di dalamnya.
Pewarisan nilai-nilai itu hanya bisa dilakukan dengan pengumpulan berbagai bahan. Al-Qur’an saat ini sangat mudah kita baca karena telah dikumpulkan sejak zaman khalifah rasyidah. Pun dengan hadis Nabi Muhammad yang terkumpul dan mengalami verifikasi berjenjang untuk memisahkan antara “yang fakta” dan “yang fiksi” dengan tingkatan mulai dari hadis sahih hingga palsu yang harus ditinggalkan.
Pengumpulan sejarah aktivitas FLP dalam literasi Indonesia juga terus dilakukan pengumpulan dan diverifikasi bersama-sama oleh mereka yang tahu sejarah tersebut, seperti para ketua umum, pengurus pusat, wilayah, cabang, atau siapa saja yang tahu sejarahnya secara benar. Data-data yang ada diverifikasi, dipisahkan mana yang benar dan mana yang salah, agar dapat diterbitkan versi mutakhir yang paling sahih.
Selain dari itu, penulisan sejarah ini juga berguna untuk bahan kaderisasi FLP di semua jenjang. Bahkan, tiap anggota baru FLP dapat diwajibkan untuk memiliki buku tersebut, karena merupakan buku resmi tentang FLP. Tujuannya agar mereka yang gabung di FLP tahu betul sejarah, kiprah, dan nilai-nilai dasar dari organisasi ini. Dengan demikian, anggota FLP dapat berkontribusi secara maksimal bagi organisasi dan juga bagi masyarakat secara umum.
Bagaimana Penulisannya?
Buku ini ditulis dengan metode penelitian kualitatif. Memang, tidak persis sama dan ketat seperti riset akademik, akan tetapi beberapa aktivitas seperti wawancara dan observasi-partisipasi telah dilakukan. Menjadi lebih mudah karena para penulis telah terlibat dalam organisasi ini. Jadi, tahu dan merasakan suka-dukanya. Data dikumpulkan dari buku, laman internet, dan media sosial. Semuanya diverifikasi oleh tim, dan setelah diyakini kebenarannya barulah dimasukkan dalam naskah.
Tentu saja buku ini tidak terjebak dalam pencitraan yang hanya menulis sisi mentereng FLP seperti karya-karya FLP yang terkenal dan melupakan karya-karya anggota baru yang mungkin tidak dikenal. Maka, berbagai publikasi anggota yang tidak terkenal, atau mungkin diterbitkan secara indie publishing, juga dimasukkan sebagai tanda bahwa FLP merupakan organisasi kader. Ya, namanya juga kader: pasti ada yang sudah hebat, ada juga yang masih merangkak.
Itulah fakta kaderisasi. Sebagai organisasi kaderisasi, FLP merupakan taman luas yang dapat dimanfaatkan oleh anggota yang baru belajar sampai yang sudah mahir, dari muda, madya, hingga andal. FLP meyakini bahwa semua karya sempurna di bawah matahari pastinya berasal dari awal yang tidak sempurna. Di situlah ada proses yang mendewasakan karya anggota dari hari ke hari.
Akhirul kalam, buku sejarah FLP ditulis oleh tim di tengah berbagai aktivitas mereka yang padat. Ada kekurangan tentu sangat manusiawi. Namun, semangat untuk menulis praktik baik dari aktivitas FLP di berbagai wilayah harus terus hadir diikuti dengan revisi dalam dari edisi ke edisi. Dalam versi paling mutakhir, diharapkan buku sejarah FLP dapat terus aktual, dan jadi referensi bagi mereka yang tertarik untuk mendalami organisasi ini lebih dalam. *
Yanuardi Syukur, Koordinator Divisi Litbang BPP FLP