Saya mulai rasa pentingnya “diplomasi buku” sejak pulang dari pertukaran tokoh muda muslim Australia-Indonesia tahun 2015. Waktu itu saya berangkat dengan rekomendasi dari beberapa lembaga salah satunya dari FLP yang saat itu diketuai oleh psikolog Sinta Yudisia.
Sepulang dari Australia, saya membuat buku kumpulan tulisan. Prosesnya dua tahun sejak ide itu digulirkan sampai terbit. Penulisnya 77 orang dari kedua negara. Selain dari saya, kata pengantarnya ditulis oleh Dubes Australia saat itu, H.E. Paul Grigson. Rowan Gould dan istrinya, Brynna Rafferty-Brown turut menjadi editor terutama untuk teks berbahasa Inggris dan apapun terkait Australia.
Buku berjudul “Hidup Damai di Negeri Multikultur” itu pada akhirnya diterbitkan Gramedia, tahun 2017. Peluncurannya diadakan di Executive Residence, Kedubes Australia. Setelah itu, saya juga buat bedah buku tersebut di dua kampus, Universitas Paramadina dan UIN Alauddin, Makassar.
Buku yang dikerjakan selama 2 tahun ini adalah bentuk buku diplomasi untuk kedua negara. Dari sisi Australia, buku yang berisi pengalaman muslim Indonesia berkunjung ke tiga kota Australia (Sydney, Melbourne, Canberra–ada juga yang dapat kota lainnya) punya arti lebih: bahwa pertemuan dan dialog sangat penting untuk diplomasi antarmasyarakat.
Memang, program Australia-Indonesia Muslim Exchange Program (AIMEP) itu dibiayai oleh Pemerintah Australia, akan tetapi hal ini juga menjadi diplomasi tokoh muda muslim Indonesia kepada bangsa luar, bahwa Islam di Indonesia tidaklah terwakili lewat bom yang dilakukan oleh sekelompok kecil orang Indonesia.
Adapun buku “Hidup Damai” itu akhirnya betul-betul menjadi buku diplomasi. Kita jadi tahu bagaimana pemikiran orang Australia dan Indonesia setelah melakukan pertemuan, kunjungan ke negara tetangga. Pertemuan punya posisi yang sangat penting untuk melenturkan ketegangan baik itu antarnegara, antarkomunitas, atau mungkin antarindividu.
Walhasil, buku itu pun mengantarkan saya untuk bertemu dengan banyak orang. Bukan untuk gagah-gagahan, tapi untuk menyebarkan pesan bahwa menciptakan hidup yang damai itu harus kita lakukan. Dan itu tugas kita semua sebagai anak bangsa dari bangsa apapun itu.
Awalnya, saya termasuk orang yang tidak percaya diri dengan bahasa Inggris. Saya merasa tidak bisa. Tapi saya mencoba buka hati. Saya ke kampung Inggris, di Pare. Dua minggu belajar. Memang singat, tapi saya dapat “makna”-nya, dapat percaya dirinya.
Suatu ketika, di depan Global English, kursusan saya, saya dan teman-teman diminta untuk speaking 5 menit tanpa henti. Apa aja terserah. Saya coba bicara semuanya. Nggak nyambung pastinya, tapi kita jadi belajar. Bahwa ternyata, bisa juga keluar. Bunyi juga.
Dengan TOEFL prediction yang mulai 390 (rendah banget, kan?) saya test lagi, dapat 410, dan seterusnya paling tinggi 470. Itu masih prediksi. Belum yang beneran. TOEFL yang prediksi itulah saya pakai untuk pemberkasan AIMEP, dan alhamdulillah lulus.
Pelajaran pentingnya dalam hal bahasa adalah: jangan rendahkan diri sendiri. Kadang namanya pemberkasan itu untung-untungan. Orang yang TOEFL-nya 500 atau mungkin 600 bisa jadi gagal dalam seleksi, karena pertimbangan tertentu. Saya ingat, waktu seleksi LPDP, ada yang cerita. Katanya, ada kandidat LPDP yang gagal, padahal dia sudah dapat “surat penerimaan” dari salah satu kampus di Eropa.
Berarti, ada banyak hal tidak terduga dalam seleksi. Maka, jangan rendahkan diri sendiri. Jangan merasa minder. Jangan jatuh mental. Kalaupun gagal, itu biasa. Semua orang pernah gagal, bukan? Saya teringat seorang kolega saya, pengajar di UI. Tiap tahun dia keluar negeri.
Saya tanya, “Mas, tiap tahun bisa keluar negeri, gimana caranya?”
Jawab dia, “Ada banyak hal yang orang nggak tahu. Saya itu tiap tahun kirim berkas sekitar 30 kali, dan dari 30 itu ada beberapa yang lolos, dan lebih banyak yang gagal.”
Oh, gitu. Saya pun dapat hikmah. Bahwa, kalau kita lihat orang sering keluar negeri itu pasti ada kerja keras di baliknya. Daftar berkali-kali pasti ada yang gagal, tapi selalu saja ada kesempatan untuk berhasil. Nah, kita ini berburu satu titik yang namanya kesempatan.
Keberhasilan pada akhirnya ada pertemuan antara kesempatan, usaha, dan takdir. Jika kita kirim berkas untuk program apapun itu, maka kita telah membuka kesempatan. Tapi, usahakan sebaik-baiknya: all out. Dan, biarkan takdir berbicara.
Seorang kawan saya gagal ikut program ke Jerman. Tapi, dia dapat program ke Australia. Belakangan dia mengabarkan ke saya, bahwa dia gagal ke Amerika. Waktu bertemu setelah sebuah diskusi dengan professor Amerika, saya ceritakan bagaimana cara apply program Amerika. Dia gagal, tapi dia dapat pelajaran dari situ.
Seorang kawan saya lainnya, beberapa waktu lalu ikut program Amerika di Bangkok. Saya rekomendasikan dari Depok. Di sana, dia bertemu banyak kawan dari berbagai negara. Beberapa kawan lainnya yang saya rekomendasikan, ada yang gagal, dan ada yang berhasil. Itu biasa. Gagal dan berhasil itu sesuatu yang harus kita jalani sebagai manusia.
Kembali lagi ke buku dan diplomasi. Beberapa waktu lalu saya ikut program ke Amerika. Bahasa Inggrisnya mas Yanuardi udah bagus sih, makanya dipilih. Apa? Udah bagus? Ah, bercanda. Pas-pasan gini dibilang bagus. Tapi, saya dapat program itu.
Bukan karena bahasa Inggrisnya bagus, tapi karena saya mengejar kesempatan, dengan usaha, dan membiarkan takdir berbicara. Ketika itu, seorang kawan dari Washington, D.C. mengabarkan adanya program ke Amerika. Saya japri, dan dia sangat senang. Tapi, kenal bukan berarti diterima. Saya berusaha. Berkas saya buat yang serius.
Pada suatu siang akhirnya saya ditelepon dari Kedubes Amerika. Diterima.
Programnya hanya 2 minggu, tapi lumayan untuk pembelajaran. Berkunjung ke ibukota Amerika, Washington, DC, dan dua kota penting lainnya: Pittsburgh dan New York. Saya cermati betul apa yang saya lihat. Saya foto, dan saya catat. Bagi saya, pengalaman yang jarang-jarang ini penting. Maka, saya harus menuliskannya.
Saya belajar bagaimana bertemu dengan pejabat negara. Bagaimana cara berbicara. Kapan harus berbicara. Bagaimana mengakhiri pembicaraan. Dan seterusnya. Saya belajar tentang itu.
Tapi, semua itu terkait dengan dunia tulis-menulis. Sekiranya saya tidak menulis, mungkin tidak ada yang tahu bahwa saya punya sesuatu. Ketika menulis, saya juga berusaha menjadi yang berbeda. Ketika orang-orang konsen di fiksi, saya pernah minder. Tapi, saya menemukan diri saya, bahwa saya lebih cocok di nonfiksi. Maka, saya kembangkan itu.
Jadi, teman-temanku; tentukan saja kita mau jadi ahli pada jenis tulisan apa. Kemudian, jadilah yang terbaik.
Setidaknya, walau saya belum banyak melakukan travelling ke luar negeri, saya belajar dari pengalaman gratis ke Australia; berdiskusi dan terhubungan dengan berbagai kolega dari swasta dan pemerintah. Bisa ke Bangkok, dan menulis beberapa syair di Sao Phraya river. Bisa ke Kuala Lumpur, jadi pembicara. Dan, bisa ke Amerika, melihat negara tersebut dari dekat.
Dengan menulis juga saya jadi punya pengalaman diundang radio dan televisi. Mulai dari radio di kampung hingga di kota. Mulai dari televisi di daerah hingga di Jakarta. Ditelepon jam 11 malam untuk tampil di televisi jam 7 pagi itu tidak mudah. Tapi, saya pelajari bagaimana cara belajar, cara menghadapi sesuatu, dan bagaimana menuntaskan masalah.
Tanpa bermaksud gagah-gagahan, tulisan ini adalah sharing sedikit pengalaman hidup. Bahwa, menjadi penulis itu sama dengan menjadi diplomat; kita bertemu dengan banyak orang, berbicara dengan banyak orang, dan berupaya memberikan pengaruh pada sesuatu.
Jangan hanya membayangkan menulis itu untuk dapat duit, agar bukunya dipajang di rak best-seller toko buku, atau agar mendapatkan likes yang banyak di media sosial. Jangan seperti itu. Cobalah untuk melangkah lebih jauh dengan orientasi bahwa buku ini harus beri dampak kepada bangsa dan negara, sekecil apapun itu. Ya, dampak. Pengaruh. Syukur-syukur jika bisa berkontribusi untuk terjadinya perubahan.
Yanuardi Syukur, Koordinator Divisi Litbang BPP FLP.