Selasa, November 26Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

[Seri Dua Minggu di Australia (bag.3)] ABC, Abdullah Saeed, dan Yahudi Muda

Dua Minggu di Australia: Catatan Peserta MEP Grup 1 2015

mep31

Langkah Panjang hingga Konflik Peradaban

Hari masih pagi. Seorang wanita paruh baya berjalan di depan Ganache Chocolate. Mengenakan kaos lengan panjang berwarna cokelat muda dan menenteng sebuah tas, ia berjalan agak cepat. Orang sini langkahnya panjang-panjang, saya bergumam di dalam hati. Sudah lebih dari dua puluh jam saya melihat langkah-langkah panjang itu di negeri asli para Kangguru dan Koala ini. Tak jauh dari situ, beberapa orang—dengan langkahnya yang panjang juga—menyeberang Collins Street, sebuah jalanan ‘tua’ yang jika kita berjalan terus ke arah timur akan tiba di gedung Parliament House-nya negara bagian Victoria, tak jauh dari St. Patrick’s Cathedral.

“Orang di sini langkahnya panjang-panjang ya?” tanya saya pada seorang teman.

“Iya, Mas. Itu karena fisik mereka tinggi-tinggi. Kakinya yang panjang membuat langkah mereka juga panjang-panjang.”

Senin 17 Maret 2015. Ini hari kedua kami menghirup udara sejuk—yang pergantian suhunya –menurut saya agak ekstrim- tiba-tiba dingin, tiba-tiba panas, dan mulai bergugurannya daun-daun—di Melbourne. Pukul 9 local time, di kota yang dibelah oleh Sungai Yarra ini, kami berkumpul di lantai dasar Darling Towers, apartment yang terletak di 233 Collins Street (kadang disingkat: Collins St). Berjalan menyusuri Collins Street, lewati Swanston Street, singgah foto di Princes Bridge dengan latar Sandridge Bridge—tempat orang-orang mengaitkan dua kunci di pinggir jembatan. Konon, orang tertentu percaya bahwa dengan mengaitkan dua gembok, mereka akan hidup bersama selamanya.

Kami juga melewati Flinders Street Station, dan National Gallery of Victoria. Di dinding luar gedung galeri itu terdapat sebuah spanduk besar bertuliskan a Golden Age of China: Qianlong Emperor 1736-1795 dengan lukisan seorang panglima perang China duduk di atas kuda dengan beberapa anak panah di bagian belakang. Saya sempat heran, kok ada gambar orang China di galeri Australia? Ternyata, ini salah satu pameran yang digelar pada 27 Maret sampai 21 Juni tahun ini. Bisa jadi, pada waktu-waktu tertentu juga ada pameran budaya Indonesia di sini, mengingat Melbourne adalah kota multi-budaya.

Kami juga melewati St Kilda Road. Dari situ terlihat Alexandra Gardens dan Queen Victoria Gardens—dua taman indah dengan bunga-bunga yang cantik dan berwarna-warni. Sangat indah, menurut saya, dan bagi yang suka selfie, sepertinya sayang banget jika dilewatkan. Kami berfoto di depan sebuah jam dengan lingkaran bunga-bunga berwarna kuning, putih, hijau, dan biru. Tepat di belakang jam bunga itu, ada patung seorang kesatria berkuda yang di bawahnya tertulis namanya: Edward VII. Kami terus ke gedung ABC International. Di sini kami bertemu dengan Erwin Surahman, lelaki bujang asal Bandung yang sudah enam tahun bekerja di Australia. Bersama Erwin, kami naik lift ke ruang meeting dan berdiskusi dengan beberapa staf ABC seperti Margaret Coffey, Clement Paligaru, L. Sastra Wijaya, dan Dian Islamiati Fatwa yang sudah 16 tahun tinggal di Australia.

Saat diskusi, awalnya dipimpin oleh Clement Paligaru, kemudian dilanjutkan oleh Erwin dan langsung oleh Margaret Coffey. Sebelumnya, masing-masing kita memperkenalkan diri; asal, aktivitas, dan apa yang menjadi titik menarik untuk dikaji dari Australia. Awalnya diskusi membahas tentang peranan pesantren di Indonesia, peranan wanita muslim, dan dilanjutkan dengan diskusi tentang peradaban Islam dan Barat.

“Saya tidak sepakat dengan teori Clash of Civilizations-nya Samuel Huntington,” kata Ahmad Saifulloh. Menurut Ahmad, saat ini yang paling penting bukan terjebak dalam benturan antar peradaban, tapi mengupayakan dialog antar peradaban dengan niat tulus untuk menciptakan kehidupan yang baik. Perang peradaban, menurut Saifulloh tidaklah relevan lagi.

Jika kita perhatikan bagaimana geliat Islam di berbagai negara Barat, memang diakui bahwa saat ini agak sulit kita memposisikan secara dialektis dan oposisi biner antara Barat dan Islam. Apa yang disebut Barat jika merujuk pada geografi, tentu tidaklah sewarna. Orang yang tinggal di Amerika misalnya, tidak semuanya berpikiran barat. Di sana ada banyak komunitas dengan pemikirannya yang khas—sama seperti di Australia. Jadi tidak ada yang benar-benar bisa disebut sebagai Barat dalam arti sesungguhnya. Artinya, saat ini masyarakat manusia berkembang, dan Islam juga berkembang pesat di dunia Barat—setidaknya mengikut pada geografi.

Setelah berdiskusi, kami diajak berkunjung ke studio ABC. Tentu saja tidak lupa teman-teman mengambil gambar di situ. Berita yang dirilis oleh Australia Plus tentang kedatangan kami ke Melbourne dan diteruskan oleh beberapa koran seperti Republika dan laman Facebook Kedutaan Australia, gambarnya diambil saat kami berkunjung ke ABC International. Berkunjung ke media seperti ABC memang penting untuk mengenal bagaimana media bekerja, bagaimana sebuah berita begitu cepat diteruskan ke jejaring media seluruh dunia. Boleh dikata, saat ini pikiran kita banyak ditentukan oleh media. Apa yang kita rasa penting dan kita diskusikan tidak lepas dari tayangan media. Saking pentingnya sampai ada sebuah ungkapan terkenal, “Siapa menguasai media, dia menguasai dunia.”

mep3 

Bertemu Professor Abdullah Saeed

Gerimis mengiringi langkah kami saat itu. Beruntung ibu Chris yang baik sudah membelikan kami payung kecil beberapa jam sebelumnya. Sambil berbaris kami menunggu datangnya trem—jenis angkutan kota yang bus-nya mirip Transjakarta—menuju kampus The University of Melbourne (kadang juga disebut Melbourne University, Melbourne Uni, atau Unimelb). Tiap naik trem, kami meletakkan kartu Myki berwarna hijau muda sebagai ‘tiket’. Pada beberapa bagian jalan ada juga trem yang gratis, jadi tidak perlu diletakkan kartu Myki. Di kampus Melbourne, kami bertemu Professor Abdullah Saeed. Kesan pertama, Abdullah Saeed adalah pribadi yang tenang, pemikir, dan ramah. Saat berdiskusi, kesan pertama itu juga terlihat sampai ketika kami pamitan.

Kami berdiskusi tentang Islam di Australia. Saeed menceritakan bahwa Australia adalah masyarakat majemuk. Muslim Australia taat pada hukum yang berlaku, namun tetap menjalankan Islam. “Di kampus memang tidak terlihat aktivitas keagamaan, tapi ketika mereka pulang, di asrama-asrama mereka ada kegiatan keagamaan,” katanya. Australia bisa disebut sebagai negara sekuler—memisahkan antara agama dengan negara. Agama dianggap sebagai urusan personal masing-masing warga. Tiap orang berhak untuk menganut agama dan menjalankan kepercayaannya, namun tetap dalam kerangka saling hormat satu sama lain (respect each other), dan taat pada aturan hukum.

Kami juga berdiskusi tentang masyarakat Islam, dan syariat Islam. Sebagai seorang Australia, Saeed setuju dengan hukum yang berlaku, karena kebebasan beragama dilindungi oleh undang-undang Australia. Namun sikap anarkis antara satu sama lain tidaklah dibenarkan dalam agama apapun. Dengan latar belakang penguasaan kitab-kitab berbahasa Arab ketika belajar di Saudi, Saeed menggabungkan kitab-kitab klasik dengan modern. Dinding-dinding ruangannya yang tidak seberapa besar dipenuhi dengan kitab-kitab berbahasa Arab dan Inggris. Lulus dari Saudi, Saeed melanjutkan pendidikan Islamic Studies-nya di Melbourne. “Beliau adalah pakar Islam terkenal dan otoritatif di Australia,” kata Professor Pookong Kee sehari sebelumnya. Saeed juga memiliki program untuk para imam di Melbourne untuk mem-protect umat dari berbagai pengaruh pemikiran radikal dan teror.

Sebelum berpamitan, saya menghadiahkan sebuah buku karya saya untuk Professor Abdullah Saeed. Kadang, saya merasa tidak enak dengan diri sendiri karena menghadiahkan buku berbahasa Indonesia (dalam hati saya berharap: kelak bisa menulis dalam bahasa Inggris dan dihadiahkan kepada para penutur berbahasa Inggris). Beliau juga menghadiahkan kami beberapa buku karyanya seperti The Qur’an: An Introduction (2008). Saya termasuk yang dapat satu buku berjudul Islam in Australia (2013), terbitan Allen & Unwin Australia (231 halaman). Buku ini terdiri dari 14 topik, dimulai dari Who are Australia’s Muslims? Hingga Commitment to fundamental Australia values. Pencarian identitas tentang ‘siapa kita’—karena muslim Australia sangat majemuk dari latar-budaya, dan bagaimana mereka bisa eksis dengan nilai-nilai masyarakatnya. Sebagai negara yang berkembang karena datangnya imigran, Australia adalah negara yang terbuka, dan identitas suku-bangsa dihargai oleh negara.

Berdialog dengan Professor Abdullah Saeed membuka wawasan kita—setidaknya saya pribadi. Darinya saya belajar untuk berpikiran terbuka, tidak mudah menyalahkan keadaan, dan berorientasi pada bagaimana praktik-praktik keislaman tetap mewujud walaupun berada di masyarakat yang mayoritas non-Islam. Abdullah Saeed adalah pembimbing disertasi Lutfi Assyaukanie, PhD berjudul Muslim Models of Polity: Islamic Arguments for Political Change in Indonesia, 1945-2005 dan disertasi Muhammad Syafii Antonio, Ph.D berjudul Islamic Banking in Indonesia: A Study of Riba and the Development of the Islamic Banking Industry and Its Role in the Advancement of Small and Micro Financing. Setelah berdialog dengan Prof Saeed, kami tour di lingkunganThe University of Melbourne, salah satunya ke perpustakaan.

“Looking for a Meeting Room or a PC? BOOK IT HERE.”

“Siapa yang ingin gunakan meeting room atau butuh komputer, bisa pesan dulu di sebuah komputer khusus.” Begitu isi sebuah tulisan. Bersama Rowan Gould, ‘tuan rumah’ kampus Melbourne, kami juga lihat-lihat beberapa gedung tua khas Eropa. Tak lupa, saat tour itu, teman-teman juga mengambil foto.

“Mau dong difoto di sini, Mas. Ini kayak di luar negeri,” kata salah seorang kawan saya sambil tersenyum.

mep33

Dialog dengan Yahudi Muda

Agenda makan malam (dinner) kami hari ini bersama komunitas Yahudi Ortodhox. Pastinya ini pengalaman pertama saya makan malam bersama seorang Yahudi. Perjalanan dari apartment ke lokasi pertemuan pakai taksi. Kami bersama Rowan Gould ke sebuah perkampungan Yahudi dan turun dari taksi di sebuah restoran. “Restoran ini makanan halal-nya Yahudi, Mas,” kata Hindun Anisah, lulusan master bidang Antropologi dari Amsterdam. “Orang Yahudi itu tidak makan babi, mereka agak pemilih dalam makanan,” lanjut temanku lagi.

Dari restoran itu, kami menyeberang ke restoran lainnya. Tepatnya di 792 Glen Huntly Road, Caulfield South. Tiba di lokasi, kami duduk duluan. Tak berapa lama muncul Raphael Dascalu, seorang Yahudi muda yang sedang menyelesaikan PhD di The University of Chicago. Di atas kepalanya ada sebuah ‘peci’ bulat khas Yahudi. Ia duduk di samping saya. Selanjutnya datang kawan-kawan Raphael lainnya, dan masing-masing kita berdiskusi dengan kawan sebelah kursi.

Saya tertarik mengajak diskusi tentang zionisme dengan Raphael. Dengan penguasaan bahasa Inggris yang masih pas-pasan, saya coba mengerti apa yang diucapkan Raphael. Sekaligus mencoba men-translate ide-ide saya di kepala dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Beberapa garis besar diskusi dengan Raphael, saya dapatkan. Ia menjelaskan bahwa Zionisme terbagi dua, yang kultural dan politik. Gerakan politik tidak mendasarkan diri pada Talmud, sedangkan yang kultural berpedoman pada Talmud. Ia tidak setuju dengan kekerasan yang dilakukan oleh Zionisme politik kepada warga Palestina.

Saya tanya tentang solusi bagi konflik Israel-Palestina. Menurut Raphael, paling tidak solusinya ada empat. Pertama, Palestina memerangi orang Israel sampai habis. Kedua, Israel membunuh orang Palestina sampai habis juga. Ketiga, menciptakan dua negara. Dan keempat menciptakan sistem federalisme seperti di Amerika. Opsi pertama dan kedua ia tidak setuju karena itu akan memakan korban, dan hati kecilnya menolak. Yang mungkin adalah ketiga dan keempat. Solusi ketiga menurutnya ada pendukung dan penentangnya baik di internal Israel atau di luar. Ia memilih yang keempat, yaitu menciptakan sistem federalisme di sana. Jadi, tanah Israel dan Palestina dibuat negara-negara bagian yang otonom.

Namun, membicarakan solusi Israel kata Raphael memang rumit (complicated). Rumitnya karena jika ia mendukung solusi dua negara, bisa jadi ada yang menentang dirinya dan mungkin akan membunuh keluarganya. Juga solusi bagi satu negara. Raphael tidak mau keluarganya dibunuh oleh siapapun pembunuhnya, apakah orang Israel atau Palestina. Ia malah berpikir lebih baik sekarang kita bersama-sama kerja untuk menciptakan perdamaian. Adapun keputusan apa yang akan diambil oleh parlemen Israel atau Palestina, itu kembali pada mereka. Tugas kita akan bekerja menciptakan perdamaian. Kontak antar warga dunia diperlukan untuk itu.

Pertemuan dengan Raphael, Direktur Pendidikan Shira Hadasha, komunitas Yahudi Orthodox inklusif (an Inclusive Orthodox Jewish Community) di Melbourne, adalah kali pertama saya dapat kolega orang Yahudi. Kepadanya saya berikan buku saya tentang fakta-fakta ilmiah di balik hadis Nabi Muhammad saw yang kata Raphael akan disimpan di Sinagog (kuil, tempat ibadahnya). Teman-teman juga memberikan hadiahnya kepada Raphael sebagai perwakilan Shira Hadasha. Menurut Dr. Thariq As Suwaidan, Yahudi Orthodox adalah kaum Yahudi yang amat memegang teguh syariat Yahudi sebagai ajaran suci di mata Tuhan, yang diturunkan-Nya kepada Musa dan bersifat abadi, tidak mungkin berubah. Dalam buku Ensiklopedi Yahudi (2015: 223), As Suwaidan juga menjelaskan bahwa Yahudi Orthodox tidaklah dapat berbaur secara penuh dengan bangsa lain, bahkan beberapa kelompok menutup diri karena takut menghadapi modernitas yang dapat mengancam kelestarian kelompoknya. Namun, kelompok Shira karena kelompoknya inklusif, maka mereka berbaur dengan komunitas lain, termasuk berdialog dengan kami. Di laman mereka, shira.org.au, pada bagian ‘who we are’, dijelaskan bahwa mereka adalah komunitas Yahudi yang berkomitmen pada dua hal: hukum Yahudi (Jewish Law/Halakha), dan pelayanan sosial (Social Action/Tikkun Olam). Malam itu, hadir bersama Raphael lima orang Yahudi muda lainnya. Kami berdiskusi secara santai dan menyenangkan—bisa jadi karena sama-sama masih muda dan terbuka.

“Raphael, where is Donatello?” tanya saya.

Dia hanya tertawa. Kata dia, banyak orang yang bertanya seperti itu, karena namanya persis sama dengan personilnya Teenage Mutant Ninja Turtles, film Kura-Kura Ninja. Film ini dulu sering sekali saya tonton sepulang sekolah di SD Negeri I Tobelo di TV yang masih hitam putih.

Terkait dengan dialog antar agama, kepada Raphael saya menceritakan kiprah Imam Shamsi Ali di New York yang berhubungan dekat dengan Rabi Scheiner seorang Yahudi—setidaknya itu yang saya baca dari salah satu bukunya, Sons of Abraham. Hubungan kerjasama untuk menciptakan New York yang baik menurut keduanya adalah penting. Dan itu dilakukan jauh dari sikap saling curiga, tuduh menuduh, dan sebagainya. Sikap untuk mencari titik temu dalam hal-hal umum lebih penting ketimbang mempersoalkan akidah yang memang sudah berbeda. Dalam Islam juga soal akidah dijelaskan secara gampang dalam konsep lakum dinukum waliyadin. *

mep32

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This