Oleh Bambang Kariyawan Ys.
Divisi Karya BPP FLP
“Aku terkulai. Lemas. Dulu Semmang pasti seluka ini perasaannya. Bedanya, aku tak merasa Rindi adalah pencuri tulang rusukku. Aku masih bujang. Entah sampai kapan. Mungkin hingga umur emasku yang kelima puluh tahun. Aku bergidik.” (Bujang Emas, h. 131)
Ketika ada tantangan membuat antologi puisi bertema budaya Sulawesi Selatan, saya langsung mengingat rekan S. Gegge Mappangewa yang biasa menulis cerita tentang Bugis. Karya-karya Daeng yang sebelumnya pernah saya baca adalah Sajak Rindu, Sabda Luka, dan Hampir Malam di Yogya.
Saat membaca kumpulan cerpen “Hampir Malam di Yogya” dan membuka halaman 63, terbaca sebuah cerpen yang berjudul “Nenek Mallomo, Lelaki itu, dan Sepasang Kayu yang Bersandar”. Cerpen tersebut pada dua karya sebelumnya (Sajak Rindu dan Sabda Luka) juga disinggung ceritanya.
Saat membaca cerpen itu, ada simbol-simbol Bugis yang menarik dikemukakan berupa bangunan khas Bugis yaitu Saoraja. Setelah melalui penelusuran lebih dalam tentang Saoraja dan kisah disebaliknya, maka hadirlah digitalisasi puisi yang berjudul “Cerita Sunyi dari Saoraja”.
Karya yang baik adalah karya yang menginspirasi. Buku “Hampir Malam di Yogya” termasuk karya yang menginspirasi pembaca untuk berkarya kembali atau menemukan bertabur hikmah dari membaca 13 cerpen yang disajikan dengan bahasa yang berkelas.
Cerpen yang disajikan sebenar menampilkan wajah Bugis dalam bentuk yang lebih renyah dan nikmat diimajinasikan. Simbol dan unsur budaya direpresentasikan dalam wujud dan nilai.
Kita dapat melihat simbol personifikasi tokoh kharismatik melalui “Nenek Mallomo”, makna dan filosofi warna baju bodo dalam “Baju Bodo Ungu”, simbol pertahanan dalam “Bedak Hitam”, simbolis nilai sipakatau, sipakalebi, dan sipakainge’, serta simbol alat tradisi dalam “Lelaki Kecapi”.
Selain cerpen-cerpen yang memang berbincang khusus tentang Bugis, cerpen lainnya hadir dengan latar daerah Makasar seperti “Sekolah Kundang” dan “Bujang Emas”. Juga hadir cerpen yang penuh dengan gelitikan psikologis pembaca dan sarat dengan konflik batin dengan judul “Kotak Atid”, “Hampir Malam di Yogya”, “Sandiwara Ranu”, “Luka itu Merah”, dan “Suamiku Teroris”.
Dalam kajian sosiologi sastra, latar belakang penulis akan berpengaruh terhadap karya yang dihasilkan. Latar masa kecil dalam lingkungan Bugis dan latar pekerjaan sebagai seorang pendidik tergambar dalam karya-karya yang dihasilkan dan juga dalam 13 cerpen yang telah disebutkan di atas.
Dengan kekuatan latar belakang penulis, unsur lokalitas yang diangkat menjadi sumber inspirasi tak bertepi. Setiap daerah memiliki simbol, unsur, dan nilai budaya yang terus terpelihara dan hidup di masyarakat. Namun bila tidak dirawat dengan cara yang kreatif, maka kekuatan lokalitas itu akan menjadi pudar.
Lokalitas memiliki posisi tawar yang tinggi dalam mengenalkan suatu daerah ke permukaan. Membaca karya-karya Gegge dengan latar mengangkat daerah kelahirannya, Sidenreng, menjadikan imajinasi pembaca mengembara. Sejalan dengan gerakan sastra pariwisata, maka karya-karya Gegge yang kuat dengan simbol, unsur, dan nilai lokalitas Bugis akan menjadikan salah satu pembuka mengembangkan potensi daerah tersebut.
Menuangkan simbol, unsur, dan nilai lokalitas bila kita tidak cermat, maka akan menjadi sekedar tempelan semata. Coba cermati cerpen “Baju Bodo Ungu” halaman 85-95. Baju bodo warna ungu dan warna lainnya yang memiliki nilai simbolik tersendiri dikemas dengan daya imajinasi tinggi dalam cerita ini.
Simbol baju bodo dengan varian warnanya dijadikan ide utama dalam balutan kisah-kisah kehidupan universal yang terkadang biasa dan kita alami sehari-hari. Namun dengan polesan penulis yang telah “istiqomah” memilih satu pilihan dalam berkarya (lokalitas) maka kisah yang terkesan awalnya biasa menjadi sesuatu yang mengejutkan untuk dibaca dan diambil intisari hikmahnya.
“Ini bukan doa dari baju pengantin ungu yang kita kenakan dulu, melainkan buah dari cara melukaimu yang terlalu, terlebih caramu untuk kembali yang terlalu meremehkan.”
Sebagai seorang pendidik dengan konsistennya menebarkan cara kreatif menanamkan nilai karakter lewat karya-karyanya. Salah satunya adalah dengan konsisten diulang-ulang namun tidak dipaksakan dengan mengenalkan nilai triple Si (sipakatau, sipakalebi, dan sipakainge’). Dengan cara laten, penanaman nilai karakter triple Si dijelaskan pada cerpen “Ayah dan Ibu, 1 Ramadan ini Aku Tak Pulang” halaman 155.
“Nilai-nilai itu tak lebih dari perwujudan sikap. Aku sangat ingat di masa kecilku, bagaimana ayah dan ibu selalu menegurku jika duduk berselonjor kaki padahal ada orang lain duduk di sekitarku.”
Kumpulan cerpen ini adalah naskah-naskah cerpen yang telah terseleksi dan terkurasi melalui pemuatan media nasional dan kompetisi lomba menulis cerpen tingkat nasional. Konsekuensinya pembaca dibuat sulit untuk menemukan titik lemah dari cerita yang dihasilkan.
Seluruh unsur cerpen telah dipenuhi dengan standar penilaian di atas rata-rata. Satu hal kekuatan dari setiap cerpen yang dihasilkan selalu memberikan debaran hingga akhir melalui ending yang twist. Tentunya untuk mencapai itu, penulis telah melewati proses kesabaran dalam berkarya. Salah satunya ending yang sangat menawan yang terlihat pada Hampir Malam di Yogya pada halaman 45.
“Aku hanya diam, bukan sedang menghitung berapa lama aku ditelantarkan di Malioboro, tapi sedang membiarkan pertahananku runtuh. Pintu peluang itu terbuka lebar dan kupikir tak ada lagi yang bisa menghalangi kakiku untuk melangkah masuk, menemui lelaki yang diutus untuk jadi imanku.”
Ketiga belas cerpen tersebut melalui olahan dan imajinasi tingkat tinggi akan menjadi alih wahana yang menjanjikan. Karya-karya Gegge akan selalu hadir dalam upaya merawat dan melanjutkan tradisi kepenulisan yang telah terkenal ke manacanegara dengan karya luar biasa I Lagaligo. Tahniah.
Karya-karya Daeng selalu memukau dan kuat sekali lokalitasnya. Berharap banget beliau bisa mendapatkan anugerah di bidang sastra
Hebat memang daeng, saya malah selalu kesulitan kalau membuat cerpen tema lokalitas
MasyaaAllah karya-karya yang beradab dan selalu menarik dibaca. Daeng sangat terampil menulis karya yang bermuatan lokalitas, melebur, dan menyatu dengan isi cerita.
Membaca ulasan ini jadi penasaran pengen baca buku karya Daeng Gegge. Melihat kepribadian nya yg cukup humble, tulisannya pasti cukup menginspirasi.
memang byk penulis flp yg terbukti konsisten berkarya, tapi lebih byk lg yg hilang, hehe. aku mau coba bandingkan karya bg gegge ini dg khrisna pabichara, soale sama2 bugis dan sama2 penulis hebat mrk berdua.
MasyaAllah, sangat kental banget lokal karya dari daeng Gegge, penulis Bugis yang selalu multitalenta ini. Barakallah
daeng Gege ini memang kental banget ya, lokalitasnya dalam setiap tulisannya. bagi orang bugis pastinya jadi menambah wawasan baru terkait suku bugis
Karya Daeng memang sarat lokalitas, jujur buat sebagian penulis hal ini bukanlah hal mudah, tapi benar adanya jika bukan kita yang melestarikan lokalitas via tulisan ya siapa lagi dan khawatir akan terpendam cerita-ceritanya padahal bagus untuk bangun dan bantu karakter pembaca