Selasa, November 26Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

Cadar dan Stigma Radikal

Oleh ANUGRAH ROBY SYAHPUTRA (Ketua FLP Wilayah Sumatera), FLP.or.id – Pro dan kontra terhadap penggunaan cadar bukanlah barang baru. Muslimah yang memakai niqab sejak era pra reformasi sering mendapat diskriminasi di lapangan. Mulai dari dicibir sebagai ninja, mumi, hantu hingga dituduh sebagai pengikut aliran sesat. Hal ini setali tiga uang dengan tudingan serupa terhadap pengenaan jubah, sorban dan jenggot. Namun seiring bergulirnya waktu, nafas revivalisme Islam berdenyut di seluruh penjuru dunia, tak terkecuali republik kita tercinta. Jika dulu jilbab sempat dilarang digunakan pelajar di sekolah-sekolah negeri, maka pada 1980-an akhir sudah terjadi apa yang disebut Alwi Alatas sebagai revolusi jilbab. Bahkan pasca tumbangnya Orde Baru, gelombang hijabisasi terus bergerak kencang.

Menariknya, cadar (niqab) yang dulu dianggap tabu kini justru diminati banyak kaum hawa. Di berbagai kota besar bermunculan aneka ragam komunitas hijrah khususnya di kalangan anak muda yang sebagian besar anggotanya adalah perempuan. Para muslimah (yang kerap mengidentifikasi diri sebagai akhwat) ini sebagiannya tak ragu menggunakan cadar. Bukan hanya ketika mengikuti majelis pengajian, tapi juga di kampusnya atau di kantor tempat ia bekerja. Motivasi generasi millenial ini berbondong-bondong mengubah tampilan berbusananya bukan semata soal gaya di pandangan mata manusia, melainkan perihal lahirnya kesadaran bahwa menutup aurat adalah kewajiban agama yang mesti dijalani. Lebih jauh, ketaatan terhadap prinsip ini dianggap lebih menjaga kehormatan dan kesucian diri terlepas bahwa hukumnya secara fiqih masih terkategori ikhtilaf (terjadi perbedaan pendapat) di kalangan ulama.

Fenomena ini seolah juga membenarkan tesis Laila Ahmed, profesor kelahiran Mesir yang saat ini mengajar di Universitas Harvard. Dalam bukunya A Quiet Revolution (2011) ia melihat gejala kebanggaan yang menghinggapi pemuda Islam di seluruh kota-kota besar dunia Islam untuk tampil dengan atribut-atribut keislaman tradisional. Di sini terungkap bahwa ummat Islam tidak lagi minder dengan simbol agamanya di hadapan hegemoni peradaban Barat yang sekuler. Di benua biru, penulis Mellanie Philips menyebut istilah “Londonistan” untuk mendeskripsikan suasana ibukota Inggris yang serasa berada di Jazirah Arabia.

Kasus Pelarangan di Jogja

Mirisnya, belakangan ini salah satu kampus Islam di Yogyakarta yang mengeluarkan peraturan bagi mahasiswanya yang bercadar. Memang bukan sebuah larangan, tapi berupa pendataan dan pembinaan di setiap lapisan civitas akademik. Melalui surat bernomor B-1301/Un.02/R/AK.00.3/02/2018, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta baru-baru ini mengeluarkan surat edaran ‘penting’ bagi Direktur Pascasarjana, Dekan Fakultas dan Kepala Unit/Lembaga di kampusnya. Namun ujungnya jika konseling dan pemanggilan terhadap orangtua tidak membuat sang mahasiswi berubah pikiran, maka ia akan dikeluarkan.

“Konseling akan dilakukan beberapa kali. Jika mahasiswi bercadar itu telah diberikan konseling selama beberapa kali tetapi tidak ada perubahan, kami akan mempersilakan mereka untuk pindah kampus,” kata Prof. Yudian Wahyudi. Selain itu, Yudian juga menyebut bahwa perempuan dengan kebiasaan memakai cadar itu seringkali hanya bergaul di komunitas mereka dan cenderung eksklusif serta berpotensi terikut ideologi atau aliran tertentu yang dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. (republika.co.id, 5 Maret 2018).

Benar kampus punya hak mengeluarkan aturan yang mengharuskan mahasiswanya berpakaian tertentu. Hal itu merupakan bagian dari norma akademik kampus, yakni ketentuan, peraturan dan tata nilai yang harus ditaati berikut dengan sanksi yang ditetapkan untuk jenis pelanggaran baik yang bersifat akademik maupun non akademik. Akan tetapi, hal ini tentunya dibatasi dengan UU yang berlaku. Dalam Pasal 6 UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi bahwa Pendidikan Tinggi diselenggarakan dengan prinsip (b) Demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya, kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa. Nah, kalau ada kebijakan pendataan mahasiswi bercadar sementara yang tidak, apakah itu bukan diskriminasi namanya?

Menurut Taylor, Peplau, dan Sears (2009) diskriminasi adalah komponen behavioral yang merupakan perilaku negatif terhadap individu karena individu tersebut adalah anggota dari kelompok tertentu. Dalam hal ini pihak kampus telah melakukan tindakan yang berbeda karena sekelompok mahasiswi memiliki ciri penampilan tertentu. Pernyataaan rektor tegas sekali mencurigai para mahasiswi bercadar memiliki pandangan radikal. Padahal soalan itu masih belum bisa dibuktikan kebenarannya.

Mungkin saja Pak Rektor belum melihat komunitas Niqab Squad yang walaupun berpakaian tertutup namun tetap gaul dan stylish. Tak jarang para muslimah ini tampil wangi dan trendi, nongkrong di kafe, tertawa riang lalu berswafoto bersama karibnya dengan gawai keluaran terbaru. Jauh sekali dari kesan radikal apalagi teroris. Di kalangan selebritis saat ini sejumlah nama juga sudah memutuskan untuk memakai niqab seperti Laudya Chyntia Bella, Pipik Dian Irawati, Peggy Melati Sukma dan Indadari Mindrayanti. Mereka toh tetap santun, inklusif dan bersahabat dengan siapa saja tanpa membeda-bedakan latar belakangnya.

Stigma Tak Berdasar

Oleh karenanya, asumsi keji semacam ini sungguh tidak berdasar. Sikap diskriminatif semacam ini malah bisa berakibat semakin memecah belah bangsa yang sudah kadung terpolarisasi ini. Tidaklah elok kampus sebagai kawah candradimuka kepemimpinan di mana kegaraman diakomodir sedemikian rupa bisa membelenggu hak asasi mahasiswanya. Bukankah tujuan pendidikan sebagaimana UU Sisdiknas adalah membentuk manusia yang beriman dan bertakwa?

Lagi pula UUD 1945 pasal 28E Ayat 2 telah menjamin bahwa setiap orang berhak atas kepercayaannya, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Selanjutnya di pasal 28I ayat 2 tegas menyebut bahwa setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat dikriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

Menggunakan cadar sebagai ekspresi keimanan dalam melaksanaan perintah Allah adalah hak warga negara yang dijamin UUD kita. Apalagi republik ini mengaku memiliki corak moderat Islam Nusantara yang mayoritasnya bermazhab Syafi’i. Dalam fiqih Syafi’iyah sebagaimana diterakan dalam Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah bahwa madzhab Syafi’i berbeda pendapat mengenai hukum memakai cadar bagi perempuan. Satu pendapat menyatakan bahwa hukum mengenakan cadar bagi perempuan adalah wajib. Pendapat lain (qila) menyatakan hukumnya adalah sunah. Dan ada juga yang menyatakan khilaful awla. Jelas sekali bahwa tidak ada yang meragukan kesunnahan hukumnya. Lalu mengapa ada oknum cendekia yang tega mengharamkannya?

Teringat ketika kejadian sejenis terjadi di sebuah kampus di Pamulang, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin ikut urun pendapat. “Saya fikir itu lebih pada salah paham. Menurut kita, penggunaan pakaian, cadar itu bagian dari keyakinan, harus dihargai,” kata Menag Lukman saat diwawancara usai menjadi narasumber pada Seminar Internasional di Universitas Al Azhar, Jakarta Selatan, Senin (14/08). Karena itu, lanjut Menag Lukman, setiap orang harus mempunyai kemampuan dan kemauan untuk menghargai pilihan pakaian yang digunakan. Kecuali pakaian itu memunculkan dan mengganggu ketertiban umum, misalnya pakaian terlalu seksi, membuka aurat yang bisa menimbulkan masalah. Dan itu sudah jelas, umat muslim mempunyai aturan kepatutan dalam berpakaian. (kemenag.go.id, 14 Agustus 2017)

Melawan Stereotip

Beragam stigma negatif yang disematkan kepada pengguna cadar haruslah dilawan untuk menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bila dibiarkan segala macam labelling ini akan berubah menjadi stereotip yang melekat permanen dalam memori kolektif publik. Padahal memakai cadar adalah hak konstitusional yang dilindungi UU. Tidaklah layak adalah sekelompok orang memberangus kebebasan beragama di negara demokrasi yang berketuhanan yang Maha Esa ini. Apalagi jika sikap dzalim ini diperbuat oleh mereka yang selama ini menggembar-gemborkan toleransi, pluralisme dan indahnya keberagaman. Tampak sekali standar ganda yang dihadirkan. Mengapa yang menggunakan pakaian ketat atau rok mini tak dicurigai sebagai pembawa ideologi impor dari Barat? Sekularisme tegas sekali bertentangan dengan Pancasila yang jadi pedoman hidup kita berbangsa.

Esok, jika masih ada yang berlaku serupa, perlulah kita ingatkan dia agar lebih banyak membaca. Di Pakistan ada pilot muslimah bercadar bernama Shahnaz Laghari. Di Yogyakarta ada Ferihana, dokter muslimah bercadar yang cemerlang dengan inisiatif konsultasi dan pengorbanan gratisnya. Di tempat lain muslimah bercadar rutin menggelar bakti sosial, mengedukasi anak jalanan, mendaur ulang sampah, menjadi terapis penyimpangan LGBT dan lainnya. Mereka bukan ISIS. Justru perilaku mereka jauh lebih Pancasilais daripada para pemvonis. Benarlah pesan Pram, “Bersikap adillah sejak dalam pikiran. Jangan menjadi hakim bila kau belum tahu duduk perkara yang sebenarnya.”

Penulis adalah Ketua Forum Lingkar Pena Sumatera Utara

Pertama kali dimuat di Harian Waspada, Edisi Jumat 9 Maret 2018 [ https://www.instagram.com/p/BgGBlVDlL4z/ ]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This