Selasa, November 26Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

FLP dan Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham Siapkan Kerjasama Agenda Literasi untuk Penghuni Lapas

“Salah satu hak narapidana yang tertuang di Pasal 14 UU nomor 12 tahun 1985 tentang Pemasyarakatan ialah mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang. Maka menjadi kewajiban negara untuk menyediakannya,” kata Aman Riyadi, Direktur TI dan Kerjasama Ditjen Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kemenkumham di Jakarta, Rabu (25/10/2017).

Hal tersebut dikemukakan dalam Rapat Penyusunan MoU tentang Peningkatan Tradisi Literasi, Minat Baca dan Menulis bagi Tahanan, Anak yang Berkonflik dengan Hukum, Narapidana, dan Klien Pemasyarakatan. Selain Forum Lingkar Pena (FLP), dalam rapat itu hadir perwakilan dari pihak Perpustakaan Nasional, Kompas Gramedia, Pustaka Bergerak, dan PT Pos Indonesia.

Dalam kesempatan itu, Aman menuturkan contoh inspiratif yang patut ditiru dari Brazil, di mana tahanan atau napi yang membaca buku dan kemudian menulis resensi buku tersebut, akan mendapat remisi. “Sehingga para narapidana terpenuhi haknya, tapi juga mengembangkan kemampuan mereka dalam menulis,” kata Aman.

ditjen-pas-kemenkumham-mou-literasi-flp-2017Ia juga mengungkapkan data tentang narapidana dan rumah tahanan (lapas) di Indonesia. Menurut keterangannya, total jumlah napi ialah 227.000 yang tersebar di 262 lapas, 157 rutan, 11 lapas perempuan, 33 lapas anak, dan 71 bapas. Untuk memenuhi hak napi, dengan mencontoh inspirasi dari Brazil itu, ia menyatakan perlunya dukungan banyak pihak.

Rahmadiyanti Rusdi selaku Ketua Harian I FLP, dalam rapat itu membagikan pengalaman FLP yang pernah menggalang sumbangan buku untuk lapas. Tak hanya donasi buku, FLP juga melakukan beberapa kali pelatihan di lapas, khususnya Lapas Anak Tangerang sejak tahun 2011.

Rahmadiyanti juga menuturkan pengalaman Koko Nata Kusuma, pengurus BPP FLP yang memberikan pelatihan menulis. “Anak-anak di lapas kemampuan baca dan menulisnya di bawah rata-rata. Jadi pelatihannya lebih banyak menonton film atau tayangan visual, lalu meminta mereka menceritakan ulang.”

Selain itu, pengenalan akan profil penghuni lapas mau tak mau tidak bisa dipandang sepele. Sebab sebagian besar anak-anak yang masuk lapas adalah anak “terbuang”, kurang pengurusan keluarga, dan berada di waktu dan tempat yang salah sehingga terjerat kasus kriminal.

Sementara itu di Sulawesi Selatan, pada tahun 2008, FLP juga rutin mengisi workshop menulis di lapas narkotika. “Saat itu FLP Sulsel bekerjasama dengan Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar,” kata Gegge Mapangewa, Ketua FLP Wilayah Sulsel 2006-2008, yang juga Staf Bidang Kaderisasi BPP FLP, dalam keterangan terpisah.

Di hadapan forum rapat, Rahmadiyanti menegaskan afirmasi positifnya atas prakarsa Ditjenpas Kemenkumham tersebut. “FLP akan mendukung kesepakatan ini,” katanya. Ia juga mengusulkan agar saluran karya para napi bisa juga dilakukan melalui media online atau media sosial, selain diterbitkan menjadi buku cetak, karena perlu proses dan waktu lebih lama untuk menjadi buku,” kata perempuan yang juga dikenal sebagai travel writer tersebut.

Dalam keterangan terpisah, Sekjen BPP FLP, Afifah Afra, yang juga pernah punya pengalaman wira-wiri masuk lapas untuk advokasi dan mengisi pengajian, menuturkan profil ketidakberuntungan lainnya. Ia menceritakan bagaimana anak seorang jelata dan ayahnya yang penarik becak, harus meringkuk di penjara. “Becak mereka mengangkut barang-barang curian padahal mereka enggak tahu.”

Rapat penyusunan MoU bersama Ditjenpas Kemenkumham sendiri akhirnya menetapkan judul MoU yang akan disepakati ialah “Peningkatan Budaya Membaca dan Menulis Bagi Tahanan, Anak yang Berkonflik dengan Hukum, Narapidana, dan Klien Pemasyarakatan.” Menurut rencana, penandatanganan MoU akan dilakukan Senin (30/10/2017).

3 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This