Senin, November 25Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

Catatan Dari AKI 2015

12168116_1031136053583967_1730151893_nSuasana Ruang Sumardjo, Hotel Sunan, malam itu, Senin 12 Oktober 2015, terasa meriah. Ratusan insan yang bergelut di dunia komunikasi memadati ruangan. Mulai dari menteri beserta segenap jajaran Kemenkominfo, para ahli komunikasi, anggota ISKI (Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia), awak media, hingga para peraih Anugerah Komunikasi Indonesia (AKI) 2015, berkumpul di hotel yang berlokasi di Kota Surakarta tersebut.

Kami, dari rombongan Forum Lingkar Pena (FLP), dipersilahkan untuk menduduki kursi depan, mengitari sebuah meja bulat berisi beraneka ragam hidangan. Memang setting ruangan saat itu dibuat santai, dengan meja-meja bertaplak putih yang masing-masing dikelilingi sekitar delapan kursi. Rombongan FLP saat itu terdiri dari Maimon Herawati (Pendiri FLP, Anggota Majelis Pertimbangan FLP), saya sendiri, Afifah Afra (saat ini Sekjen Badan Pengurus Pusat FLP) dan Riannawati (Wakil Ketua FLP Wilayah Jawa Tengah). Lumayan takjub, karena ternyata kami satu meja dengan salah seorang aktor kawakan yang terkenal apik dalam memerankan karakter-karakter antagonis, Pong Harjatmo, yang ternyata juga hadir dalam acara alam tersebut.

Karena saya pernah bertemu beberapa kali dengan Pak Pong, dan saya tahu beliau orangnya sangat ramah, saya tak sungkan menyapa beliau. Dan seperti dugaan saya, beliau membalas sapaan kami dengan santun dan penuh antusias. Bahkan, kami sempat menikmati wejangan beliau sambil menunggu acara dimulai dan menikmati kudapan yang disediakan panitia. Beliau bercerita resep awet muda beliau. “Saya tidak merokok, tidak minum es, alkohol, dan yang penting… saya tidak mau stres,” tutur beliau, sambil terus tersenyum ramah. Ketika kami memberikan cendera mata buku-buku karya anggota FLP yang kami bawa, beliau semakin perhatian, dan bahkan menawari kami untuk terlibat dalam penulisan naskah-naskah skenario. Baiklah, Pak… suatu saat akan kami follow up.

O, ya… di meja samping kami juga ternyata ada beberapa pakar komunikasi yang ternyata menjadi juri dari AKI 2015 ini, antara lain Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM) Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Deddy Mulyana. Kami juga sempat berdiskusi singkat dengan beliau, yang ternyata sangat mengapresiasi gerakan literasi FLP yang digaungkan sejak 1997.

Acara dimulai, dua MC, Farhan dan Elizabeth dengan luwes memandu jalannya acara. Sekelompok anak muda membawakan tarian yang unik. Kostumnya Jawa, tetapi gaya dan musiknya rancak, berganti-ganti memadukan tarian gaya Aceh, Padang, Bali, hingga Papua. Mungkin mereka hendak memberi pesan betapa keanekaragaman yang terbentang di nusantara, dari Sabang sampai Merauke, sesungguhnya bisa menjadi bibit-bibit kreativitas yang luar biasa, alih-alih perpecahan dan chauvinisme.

Usai performing art dari para penari, beberapa tokoh memberikan sambutan, antara lain Menteri Komunikasi dan Informasi RI, Bapak Rudiantara (Keynote Speech), dan Yuliandre Darwis, ketua ISKI (Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia), yang memang digandang Kemenkominfo untuk menggelar AKI 2015. Inti dari sambutan-sambutan itu bisa ditarik benang merah yang sangat jelas: komunikasi adalah masalah yang sangat penting—bahkan bisa jadi merupakan hal inti dalam hidup ini, mulai dari skala terkecil seperti hubungan antar individu, keluarga, masyarakat, hingga negara bahkan dunia.

Oleh karena itu, berkomunikasi, khususnya saat di ruang publik, harus memperhatikan etika, selain ketepatan cara dan efektivitas. Banyak permasalahan besar, ternyata berawal dari komunikasi yang tidak benar.

Saya teringat dengan salah satu koleksi buku saya, Pengantar Ilmu Komunikasi, yang ditulis oleh Prof. Dr. Deddy Mulyana (sayang saat itu, buku tidak saya bawa, kan bisa minta tanda-tangan). Menurut beliau, sangat mungkin pengeboman Nagasaki dan Hiroshima yang tragis itu sebenarnya berawal dari kesalahan komunikasi, yakni saat pihak Amerika Serikat gagal menerjemahkan kalimat “mokusatsu” yang merupakan jawaban pihak Jepang saat diminta menyerah atau akan dihancurkan total oleh Amerika Serikat. Mokusatsu yang artinya “untuk sementara tidak ada komentar, kami akan memikirkan tawaran tersebut” diterjemahkan pihak Amerika Serikat sebagai “Kami tidak akan memperdulikan ultimatum sampah itu.” Pihak AS pun marah besar, dan akibatnya bom atom meluluh lantakkan Hiroshima dan Nagasaki.

Ya, komunikasi adalah hal yang sangat penting. Karena itu, upaya kemenkominfo untuk memberikan apresiasi kepada berbagai insan dan komunitas yang dinilai berjasa dalam menginisiasi dan mempelopori komunikasi di ruang publik yang apik, kreatif, bermuatan pencerahan dan kebaikan, alih-alih menyebar teror, fitnah, ghibah, adu domba dan sebagainya—khususnya di ruang publik yang makin tanpa sekat karena kemajuan teknologi informasi, adalah upaya yang menurut saya sangat positif. Dan, kalau boleh berharap, dukungan itu semestinya tidak terhenti pada sebatas pemberian AKI saja. Komunitas-komunitas tersebut perlu terus menerus digandeng sebagai partner dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjaga keutuhan NKRI.

FLP misalnya. Saat ini, FLP memiliki 1673 anggota terdaftar (saat ini masih dalam proses pendaftaran ulang anggota-anggota lama, diperkirakan jumlah real anggota mencapai 10.000), 29 wilayah (setara provinsi, atau negara untuk FLP Luar Negeri) dan 58 cabang (setara kabupaten/kota). FLP juga sedang menggalakkan kewajiban setiap anggota untuk aktif nge-blog dengan tulisan-tulisan penuh pencerahan dalam gerakan 1000 Blogger FLP. Jika setiap Blogger FLP ngeblog minimal sekali dalam sepekan, betapa banyak tulisan-tulisan berkarakter yang akan menyemarakkan jagad literasi, khususnya di dunia cyber negeri kita? Kata Joseph Goebbels, ahli propaganda Hitler, jika satu kebohongan dikatakan seribu kali sebagai kebenaran, dia akan jadi kebenaran. Nah, bagaimana jika satu kebaikan dikatakan seribu kali sebagai kebaikan?

Renungan saya terhenti saat satu per satu peraih AKI Award dibacakan dan maju ke depan untuk meraih award dan piagam. Jujur, nama-nama peraih penghargaan tersebut, kecuali Mer-C dan penghargaan khusus individu, yakni Ibu Heni Sri Sundani (yang ternyata juga pernah aktif di FLP Hongkong saat menjadi TKW di Hongkong), saya baru mendengarnya saat ini. Tetapi, justru karena terasa tidak akrab di telinga, saya semakin salut dengan kinerja dewan Juri yang benar-benar jeli dalam memetakan komunitas dan insan yang memang tepat untuk diberikan apresiasi. Bukankah memang banyak kalangan yang tulus-ikhlas, bekerja merakyat, namun tak tersentuh gembar-gembor pencitraan?

Menurut panitia, proses pemilihan karya dimulai melalui survei kuantitatif yang menghasilkan nominasi-nominasi. Kemudian, itu dikerucutkan dalam Forum Group Discussion untuk menyaring kualitas nominasi dari seluruh Indonesia setelah sebelumnya dilakukan verifikasi ke lapangan oleh pakar media dan komunikasi.

Siapa saja ketujuh penerima Anugerah Komunikasi Indonesia I Tahun 2015 tersebut?

  1. Kategori Pengembangan Literasi Media: Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA)
  2. Kategori Animasi Inspiratif: Kampoong Monster Studio (Bandung)
  3. Kategori Pengembangan Data dan Informasi : Good News From Indonesia
  4. Kategori Komunitas Media Sosial: Paparisa Ambon Bergerak
  5. Kategori Jaringan Komunikasi Sosial: Forum Lingkar Pena
  6. Kategori Pendidikan Publik: Ibu Heni Sri Sundani (Sekolah Gratis dari Mantan TKI, Kab. Bogor)
  7. Kategori Pesan Indonesia untuk Dunia: Medical Emergency Rescue Committee (MER-C)

Kegiatan dari komunitas-komunitas tersebut ternyata sangat beragam. Ada mantan TKI (Ibu Heni) yang giat mendidik publik—yakni para petani untuk giat memperbaiki kualitas diri, ada yang bergerak di bidang animasi kreatif, sampai yang gencar memproduksi dan mengkampanyekan bacaan-bacaan sehat berkualitas.

Meski acara pemberian AKI 2015 ini juga dimeriahkan dengan aneka hiburan, seperti monolog dari Ki Warseno Sleng, hiburan lagu-lagu dari suara emas Reza Artamevia, dan stand up comedy dari Vikri Rastafara, dan saya cukup menikmati hiburan tersebut, sejatinya pikiran saya justru sibuk berkelindan pada tugas-tugas besar yang harus diusung oleh komunitas-komunitas tersebut, khususnya komunitas tempat saya beraktivitas sejak 1999: Forum Lingkar Pena. Mengusung motto: berbakti, berkarya, berarti, sejak didirikan pada 1997, kami sebenarnya tak bekerja untuk sebuah penghargaan. Para senior kami menggembleng kami untuk benar-benar terjun di dunia literasi, menyumbang peran sebesar mungkin dalam rangka melakukan pencerahan terhadap masyarakat luas. Ada atau tak ada penghargaan, ada tidak ada support semacam pendanaan, kami tentu akan terus bergerak, jika perlu sunduquna juyubuna (kantong/dompet kami adalah sumber dana kami). Tetapi, dengan dukungan yang kuat dari berbagai pihak, tentu kami akan semakin kuat.[Afifah Afra, Sekjen BPP FLP]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This