Selasa, November 26Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

FLP dan Fitrah Perubahan

1925179_772095339485883_182376628_nBagiku, FLP adalah air dalam kehidupan. Ia merupakan sesuatu yang dapat memberikan nutrisi hidup, khususnya bagi orang yang berkecimpung di dalamnya. Menjaga orang-orang untuk tetap konsisten dalam memaknai langkah hidup bersama, memelihara kejernihan iman di dalam setiap gores karya dan senantiasa melakukan proses perbaikan. Sekumpulan pembelajar yang sedang melakukan proses perbaikan.

FLP bukan sekedar komunitas biasa. Ia adalah keluarga, bagian dari peradaban. Terlalu sederhana jika kita mengatakan bahwa FLP hanya sekedar komunitas penulis. Terlalu sempit ketika orang-orangdi dalamnya hanya termotivasi menjadi penulis bahkan menjadi seorang pengrajin buku sekalipun. Karena FLP adalah komunitas karya. Ia menjadi tempat berkumpul para pembelajar untuk beredar bersama dan menghasilkan karya. Sebuah modal dan bekal untuk memberikan yang terbaik untuk siapa saja, terlebih kepada Allah, yang telah menganugerahi kesempatan kita untuk berkarya.

Tujuh belas tahun sudah komunitas ini mewarnai belantika sastra dan kepenulisan nusantara. Begitu banyak hal yang sudah didapat dan tentunya diberikan. Bertambahnya usia menjadi penanda bahwa bertumbuh dan berkembang adalah sebuah fitrah. Layaknya makhluk hidup yang senantiasa bertumbuh, maka perubahan adalah konsekuensinya. Bukan hanya sekedar berubah, tetapi juga memastikan sebuah perubahan itu mengantarkan kita pada sebuah kebermanfaatan. Bukankah setiap diri kita adalah sekumpulan hari? Di mana setiap detik penyusun tubuh akan berkurang dan melebur seiring waktu yang berjalan. Sehingga menjadi lebih baik dan bermanfaat adalah harga mati bagi orang-orang yang tidak ingin hidupnya bernilai kerugian.

Seekor kupu-kupu yang cantik melalui sebuah proses yang panjang sehingga ia menjadi cantik dan indah. Seseorang akan menjadi seorang pejuang atau pahlawan manakala ia melalu sebuah proses yang membuatnya menjadi pahlawan. Bahkan sebaliknya, seorang pecundang pun menjadi pecundang karena ia melalui sebuah proses yang membuatnya menjadi pecundang. Begitupun dengan tua dan muda yang menjadi fase hidup yang berlaku dalam hidup kita. Ia hanyalah soal waktu, tapi yakinlah bahwa dewasa adalah sebuah pilihan hidup. Karena tidak semua orang memiliki keinginan untuk menjadi dewasa, namun tabiatnya manusia pasti menua.

Kesadaran untuk memilih dalam berproses inilah yang membuat kita belajar. Setiap kisah akan menjadi makna, setiap detik akan menjadi arti ketika kita menyadari bahwa hasil bukanlah segalanya. Karena keyakinan terhadap takdir Allah ta’ala menuntun kita untuk memahami bahwa hasil adalah konsekuensi dari perpaduan tawakal dan ikhtiar kita. Sehingga setiap jenak perjuangan di dalam sebuah proses pembelajaran menjadi jauh lebih berharga dari pada hasil yang diperoleh. Dengannya, kita menjadi penikmat proses yang tanpa sadar ia membawa kita bertumbuh dan matang dalam mengarungi samudera hidup.

Mimpiku tentang FLP seirama tersirat dengan apa yang disampaikan oleh Sayyid Quthb di dalam buku Afraah Ar-Ruuh:

“Manakala nilai hidup ini hanya untuk diri kita, maka akan tampak bagi kita bahwa kehidupan ini kecil dan singkat. Yang dimulai sejak kita memahami arti hidup dan berakhir hingga batas umur kita. Tetapi apabila kita hidup untuk orang lain, maka jadilah hidup ini bermakna panjang dan dalam. Bermula dari adanya kemanusiaan itu sendiri dan berlanjut sampai kita meninggalkan dunia ini”

Sejarah mencatat bahwa kontribusi besar telah dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kapasitas besar. Dari titik ini, saatnya kita mulai menata diri. Proses ini menjadi berarti ketika kita menjalani dalam bingkai perbaikan diri dan kebermanfaatan untuk orang lain. Ibarat dua mata uang logam yang tak terpisahkan. Pertama, dalam bingkai perbaikan diri berarti ia senantiasa melakukan sebuah proses perubahan diri menuju lebih baik sebagai manusia di mana lupa dan salah senantiasa melekat di setiap langkahnya. Kedua, dalam bingkai kebermanfaatan untuk orang lain. Maka inilah cita-cita manusia mulia dalam dimensi sosial. Karena sebaik-baiknya manusia adalah yang paling banyak memberikan manfaat kepada orang lain.

Sahabat pena yang disayang Allah, sebuah kerisauan yang mendalam bagi orang yang berproses untuk menjadi baik adalah bagaimana ia mengakhiri kisah perjuangannya. Bukan kapan kisah perjuangan itu berakhir. Karena kapan berakhirnya kisah hidup bukanlah kapasitas kita dalam memikirkannya, tapi cara untuk mengakhirinya itu adalah pilihan kita. Oleh karena itu, senantiasalah berproses dan belajar. Karena ia adalah fitrah dari sebuah perubahan….

Saif Fathan (Solli Murtyas), Ketua FLP Wilayah Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This