Senin, November 25Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

Becak Daeng Baco

Sumber: http://ervakurniawan.wordpress.com/
Sumber: ervakurniawan.wordpress.com

“Bagaimana Daeng Baco, anda bersedia?” Pertanyaan yang sama untuk kedatangan yang kelima kalinya dari ketua Partai Kerikil. “Yakinlah Daeng Baco, anda memiliki kemungkinan sangat besar untuk terpilih. Saya sudah survei 3 kali dari lembaga yang berbeda. Kompetensi mereka tidak diragukan. Perhitungan mereka sangat akurat. Buktinya, seluruh survei Pilkada mereka tidak meleset.”

Baco diam tertunduk memperhatikan lantai rumahnya yang hanya disemen seadanya, tanpa keramik, tanpa marmer.

“Daeng Baco ragu? Tenang saja. Daeng Baco cukup iyakan, saya yang urus seluruh persiapan administrasi Daeng Baco.”

Kali ini Baco memandang dinding rumahnya yang terbuat dari kayu triplek tipis dan berlubang sana-sini.

“Bayangkan Daeng Baco, jika terpilih bukan hanya lantai baru yang bisa dibeli, bukan hanya dinding yang bisa diganti, Daeng Baco bisa beli rumah baru, besar, megah. Daeng Baco akan punya kendaraan. Yah mungkin awalnya hanya motor, tapi enam bulan kemudian mobil. Kan bisa kredit.”

Baco memandang atap rumanya. Ratusan sinar matahari menembusi lubang-lubang yang tak sanggup menghadang air jika hujan datang.

“Daeng Baco ingin mengubah hidup kan? Jadi caleg adalah jalan terbaik saat ini. Kesempatan ini hanya sekali dalam 5 tahun. Dan nanti belum tentu Daeng Baco punya kesempatan itu. Kan siapa saja berhak duduk di gedung dewan. Rumah itu kan rumah rakyat. Mau pengurus partai, militer, pejabat, dosen, guru, buruh, petani, ibu rumah tangga, penjual bakso, tukang ojek, sampai tukang becak berhak mejadi bagian dari pesta demokrasi ini. Bukan begitu Daeng Baco?”

Baco menatatap lelaki di depannya. Alis tebal, kacamata hitam, berturut di bawahnya kumis padat dan cambang brewok. Baju kaos ditutup jas warna partai, cincin dengan batu zamrud hijau melingkar di dua jarinya. Jam tangan dipergelangan memantulkan sinar matahari yang tembus membias dari celah dinding seng bagian samping rumah. Bersamanya 3 lelaki dengan postur lebih besar menggunakan kaos partai. Pandangan Baco menembus jendela dinding bambu bagian depan ruang tamu. Terparkir becak yang sehari-hari digenjotnya untuk menghidupi seorang istri dan lima anaknya. Lelaki itu menatap ke luar pula.

“Nah, becak itulah yang menginspirasi saya untuk meminang Daeng Baco menjadi caleg di partai saya. Daeng Baco dikenal, dihormati, disegani, dan dituakan oleh semua tukang becak di Kampong ini. Bukan hanya itu, juga para tukang ojek, tukang sayur, dan pedagang pasar. Luar biasa. Semua yang saya temui itu merasa sangat terbantu oleh pak Baco ketika mereka kesusahan, atau tidak punya uang. Daeng Baco rajin ke mesjid, senang bersedekah, bahkan meminjamkan becak jika tukang becak lain becaknya lagi rusak. Kalau Daeng Baco maju, pasti mereka pilih. Daeng Baco bisa mengangkat derajat tukang becak, dari kelompok masyarakat yang disisihkan, dipinggirkan, dan termarginalkan, menjadi masyarakat yang diakui dan dihormati. Daeng Baco bisa membantu mengangkat ekonomi mereka dengan bantuan pinjaman bergulir, atau memasukkan proyek ekonomi dan infrastruktur di daerah tinggal bapak yang kumuh ini. Wah mulia sekali kan?”

Penjelasan lelaki itu kian berapi-api. Mata Baco berbinar aneh. Tak kuasa kepalanya mengangguk. Tak kuasa tangannya membalas jabat dari lelaki di depannya. Empat lelaki itu pergi meninggalkan sekarung beras dan beberapa bungkusan lainnya.

***

Kota Kampong heboh! Anak-anak, remaja, deawasa, hingga tua renta menyatu membahana dalam kampanye Partai Kerikil.

“Bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian. Pilihlah Partai Kerikil. Karena di Partai ini akan ada wakil rakyat anda semua dari kelompok anda sendiri. Inilah dia Daeng Baco! Anda semua akan mengukir sejarah, pertama kalinya di dunia ini, tukang becak menuju rumah rakyat. Jangan lupa, 9 April 2009 pilihlah Daeng Baco!”

Baco naik ke panggung. Tepukan ratusan pengunjung kampanye terbuka di kawasan kumuh itu mengiringnya. Baco tak kuasa menahan harunya. Pertama kali dalam hidupnya ia merasa begitu dihargai. Elu-elukan peserta kampanye berakhir dengan joget dangdut ria dari artis lokal super erotis. Baco tenggelam dalam tarian rakyat. Hingga gelap menyelimut langit.

***

“Becak itu saya mau jual bu.”

“Hah, kenapa pak? Itukan alat utama bapak untuk mencari uang. Kemarin bapak sudah jual sepeda tua kita. Anak bapak sekarang jalan kaki ke sekolah. Kalau becak dijual, nanti bapak cari uang pakai apa? Ingat pak, meskipun bapak lulusan SMA tapi semua lamaran kerja bapak kan ditolak. Apalagi sekarang sudah tua.”

“Ibu lupa ya? Saya kan caleg. Ca-lon ang-go-ta le-gis-la-tif.” Saya harus merubah penampilan, sebab setiap hari saya bertemu orang. Nanti orang bilang apa kalau pakaian saya lusuh dan itu-itu saja. Saya harus melakukan sosialisasi, membuat kartu nama, dan baliho. Begitu caranya supaya saya semakin dikenal orang. Kalau saya tidak pasang baliho nanti orang bilang saya bukan caleg.”

“Lho, kan pak Toa bilang siap membantu? Apa dia tidak memberi uang?”

“Beliau sudah bayarkan semua urusan administrasi. 1 kotak kartu nama. 10 baliho pohon. Itu saja sudah satu juta lebih. Jadi sekarang saya harus berjuang juga, karena ini suara terbanyak. Tapi katanya saya pasti terpilih, jadi yang penting ada uang sedikit. Nah, karena hanya becak yang bisa jadikan uang sekarang, saya akan jual. Sekarang juga.”

“Tapi pak, kan belum tentu bapak terpilih.”

“Sudah 3 kali survei sebelum saya caleg. Sekarang saya calon paling tertinggi. Semua teman-teman tukang becak, tukang ojek, dan pedagang di pasar siap memilih saya. Bagaimana bu? Ibu sudah siap jadi isteri anggota dewan?”

“Bapak percaya survei?”

“Ibu ini! Lembaga survei itu orang-orang pintar bu. Jago penelitian. Tidak mungkin mereka salah.“

“Tapi pak, caleg lain lebih banyak uangnya. Caleg lain bisa beli suara pemilih.”

“Ah ibu ini. Tidak mungkin teman-teman tukang becak dan yang lainnya khianati saya. Bu, sudah 3 bulan saya sosialisasi.”

“Tapi pak …”

Baco bergegas ke luar rumah dengan senyum. Wanita baya di belakangnya tertunduk. Setetes embun jatuh di sudut matanya.

***

Sekali lagi Baco melirik jarum pendek di permukan benda padat yang melingkar di tangan kirinya. Tepat di atas angka 2. Kegelisahan makin tampak di wajah ceking coklat kehitamannya. Gundah gulana menyatu dalam penantiannya. Sejak dua jam lalu dunia serasa berhenti berputar. Kotak snack dan segelas kopi hitam torabika yang disuguhkan anggota TPS tak juga disentuhnya. Seluruh jenis makanan dan minuman tak lagi punya hasrat untuk turun dalam kerongkongannya yang tercekik. Debar jantung berlari amat kencang mengalahkan angka 120 meter/jam roda empat di jalan tol.

Satu demi satu petugas TPS menghitung kertas suara, hingga bongkahan berbahan bambu itu kian ludes. Matanya yang lebam menahan kantuk dalam siklus 48 jam tak lepas pandangan tiap lembarnya. Nyaris tak berkedip. Menyatu dalam gumpalan syak wa sangka jika terjadi kecurangan, pemutarbalikan fakta, penggandaan hitungan, pengantian lembaran, dan puluhan prasangka buruk lainnya.

Penghitungan selesai. Baco menarik nafas amat panjang hingga udara yang masuk terasa memaksa perut perihnya kembung. Tahap pertama usai. Baco memperbaiki duduknya. Ketegangan mulai menjangkit, lebih cepat, secepat keringat yang mulai meleleh di sekitar dahi dan ketiak. Teriakan pengumuman penghitungan hasil contreng dari speaker 80 ohm menusuk gendang telinga Baco. Jantungnya nyaris copot. Kolaborasi panik dan kaget.

Lembar pertama kertas suara calon anggota legislatif DPDR Kota Kampong dibuka petugas TPS. Dipelototi saksi-saksi. Dibacakan petugas TPS lainnya.

“Sampara nomor urut 10 dari Partai Air.” Riuh tepuk membahana. Para saksi mengangguk. Baco menegakkan tubuh.

“Daeng nomor urut 3 dari Partai Angin.”

“Puang nomor urut 1 dari Partai Api.”

“Karaeng nomor urut 1 dari Partai Tanah.”

Baco menegakkan kepala. Peluh sampai ke perut. Tepukan saksi, tim sukses, dan masyarakat bertamabah.

“Andi nomor urut 1 dari Partai Batu.”

“Petta nomor urut 2 dari Partai Rumput.”

“Toa nomor urut 1 dari Partai Kerikil.”

“Partai Kerikil.”

“Partai Kerikil.”

“Partai Kerikil.”

Tepukan semakin riuh dari para pendukung dam tim sukses partai dan caleg yang disebut. Baco berdiri. Tubuhnya tak hanya mandi berkeringat. Terasa mendidih. Membakar seluruh isi hati dan jantungnya.

Perhitungan suara caleg DPRD Kota kampong selesai. Papan hitung berisi coretan jumlah suara pada beberapa nama tertentu. Mata Baco membelalak memandangnya. Toa meraih 250 suara, Baco 1 suara, Partai Kerikil 20 suara. Pasti contrengannya sendiri, karena ini TPSnya.

Sejenak mematung. Kepala Baco seakan pecah. Lalu secepat kilat berlari menuju TPS lain tempat isterinya mencontreng. Mereka terpisah TPS karena kesalahan DPT; hasilnya Toa 200, Baco 1, Partai Kerikil 10.  Kembali Baco berlari menuju TPS di RT lain tempat mertua dan iparnya mencontreng; Baco 5, Partai Kerikil 60. di TPS lain; Baco 3 suara. Lainnya lagi; Baco 0 suara. Baco berlari lagi menuju persimpangan jalan. Air matanya meleleh saat tiba pangkalan becak kawan-kawannya.

“Hei, siapa yang kalian pilih? Kenapa suara saya sedikit, padahal saya sudah bagi-bagi amplop tadi malam. Bayangkan, tiap amplop itu isinya sepuluh ribu rupiah” Suara Baco serak.

“Eh, Daeng Baco. Aduh, maaf. Tadi shubuh Pak Toa datang ke rumah saya. Ia kasi amplop. Isinya lima puluh ribu rupiah. Pak Toa bilang, pilih saja dia. Karena kalau dia terpilih, Pak Baco juga bisa terpilih. Ia akan mensejahterakan semua tukang becak di sini. Katanya lagi, buktinya Pak Baco sekarang lebih bagus hidupnya, pakai baju baru, celana baru, sepatu baru, dan ikut pertemuan di hotel.”

Tukang becak lain angkat bicara. “Pak Toa bilang sama saya, ia teman baik daeng Baco. Dukunglah daeng Baco, contrenglah Pak Toa. Sama saja.”

Tukang becak lain bersuara “Kata Pak Toa, supaya rata suara pangkalan di sini pilih saja dia. Karena suara Pak Baco banyak dan cukup untuk satu kursi di tempat lain.”

Tukang becak lainnya juga bicara “Sebenarnya kami mau contreng Daeng Baco, tapi Pak Toa Bilang tidak apa-apa dia, kan satu partai, nanti suara dibagi-bagi. Teman-teman yang lain hanya disuruh pilih gambar partai. Saya juga dapat amplop dari dia. Lumayan, tadi pagi saya bisa beli ikan basah dan rokok.”

Tukang-tukang becak lain bicara, membenarkan tukang-tukang becak sebelumnya. Mata Baco sembab. Ngilu menjangkit seluruh rusuknya. Saat bersamaan mendekat benda beroda tiga yang digelutinya sejak 10 tahun lalu. Kemarin telah dijual.

“Daeng Baco, ini becak banyak rusaknya. Bunyi-bunyi. Tidak enak dipakai. Penumpang saya mengomel. Saya disuruh bos untuk kembalikan saja. Dia minta uangnya diganti. Dua juta katanya.”

Kali ini kepala Baco benar-benar pecah. Pembuluh darahnya meledak. Baco pinsan di depan becaknya. Belasan kartu nama caleg berhamburan dari kantong kemeja. Tercetak di permukaan kertas putih sedikit kusam; Tukang Becak menuju Rumah Rakyat, untuk kemakmuran, pemberdayaan ekonomi, dan kesejahteraan rakyat, pilih saya, BACO, caleg DPRD Kota Kampong, nomor urut 13 dapil 2.

 

Fakhruddin Ahmad

Makassar 20011

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This