Ibnu Khaldun, mengemukakan hal menggelitik seputar kekuasaan. Menurutnya,
“… kekuasaan merupakan kedudukan yang menyenangkan, meliputi berbagai kesenangan materi maupun maknawi, material maupun spiritual, visible maupun invisible sehingga untuk mendapatkannya seringkali melalui kompetisi-kompetisi menggemparkan dan sedikit orang yang mau menyerahkannya. Karena partai merupakan proses awal bagi justifikasi kekuasaan, maka partai acapkali menjadi proteksi, pembela, bahkan klaim untul segala persoalan itu.
Kompetisi kekuatan antarkelompok biasanya tidak dapat dilepaskan dari sikap-sikap arogan untuk memperoleh kekuasaan tersebut, dimana pemegang kebijaksaan dari partai atau kelompok yang berkuasa senantiasa mencari legitimasi kemenangan dari massa dengan berbagai macam manuver siasat atas nama kelompok, profesi bahkan agama….”
Sejarah suatu bangsa, tak luput dari dinamika.
Perputaran masa tak dapat dielakkan ketika sebuah bangsa berkembang dari masa tumbuh, merdeka, membangun, memelihara. Sebagian orang-orang merasa bahwa perjalanan bangsa terbaik adalah ketika tengah tumbuh dan mencari kemerdekaan, sebab ikatan fanatisme baik kesukuan, agama atau ideologi demikian kuat terjalin. Sebagian merasa nyaman saat bangsa mulai membangun, disisi ini kenyamanan dan kemewahan hidup mulai dinikmati namun romantisme perjuangan yang penuh kesulitan masih terngiang.
Pernahkah kita mentafakuri perjalanan sejarah bangsa Indonesia?
Alangkah kaya bangsa ini secara jiwa!
Sejak masa raja-raja berkuasa hingga sekarang memasuki abad millenium, demikian beragam kejadian yang dilalui bangsa Indonesia mulai melawan penjajah hingga harus bertikai dengan bangsa sendiri. Masa demi masa perguliran kekuasaan memberikan kekayaan sejarah.
Stigma dan Schema
Stigma adalah label negatif yang melekat pada suatu obyek. Schema/skema adalah pola otomatis yang muncul di pikiran saat mendengar atau melihat sesuatu.
Apa yang muncul saat melihat sehelai kain merah?
Skema bahwa pakaian merah akan merangsang banteng atau kerbau mengamuk, sudah lekat di pikiran kita. Skema ini sangat sulit ditepis atau dihilangkan seperti mengenakan pakaian hijau di Laut Selatan, meyakini bahwa polisi menilang betul-betul karena tugas, meyakini bahwa anggota DPR bekerja amanah, meyakini bahwa pegawai negeri tak akan korupsi uang .
Stigma dan skema mirip.
Hanya saja, skema lebih panjang, mirip pola maze yang berputar-putar di kepala sebelum sampai pada sebuah sikap dan perilaku. Skema membuat kita menghindari baju hijau saat bermain ke pantai. Skema membuat kita pakai helm hanya karena polisi. Skema membuat kita menggeneralisir bahwa semua anggota dewan adalah brengsek. Skema membuat kita percaya bahwa semua PNS juga tak ada yang bersih.
Stigma lebih singkat, namun juga punya dampak kejut yang membekas lama.
Kata “pengkhianat” di zaman pendudukan Belanda sangat berbahaya bila melekat pada pribumi.
Salah seorang kerabat di era perang kemerdekaan lampau, sukses menjadi penjahit celana dan berjualan telur asin yang digemari para bangsawan di Yogya yang saat itu memiliki hubungan dekat dengan Belanda. Kerabat tersebut dapat membangun rumah dengan jendela kaca yang saat itu masih sangat jarang. Bisik-bisik tetangga yang tak suka, melabelkan kata “pengkhianat” sehingga kerabat tersebut bentrok dengan beberapa pejuang kemerdekaan.
Stigma apa yang masih lekat dengan PKI?
Kata komunis demikian negatif tak peduli itu berupa kajian ekonomi atau ideologi yang harus ditelaah untuk diambil hikmah, dipelajari agar tak terulang lagi. Di tahun 60-70an, orang lebih takut dianggap PKI daripada diteriaki maling.
Tahun 80-90an, stigma pesantren adalah sekolah buangan, anak nakal yang sudah tak punya harapan masa depan, sakit kulit, kumuh.
“Sekolah dimana?”
“Pesantren X.”
Maka stigma pesantren yang bersarung, bau dan koreng; belasan bahkan puluhan tahun melekat di benak.
Stigma itu berubah di tahun 2000-an menjadi menakutkan, lambang kekejaman dan kebengisan. Bagaimana mungkin tempat orang-orang belajar kitab, menghafal Quran, menelaah hadits seketika menjadi tempat brainwashing sehingga orang mudah menyerang sesuatu atas nama agama? Islam dan segala simbolnya menjadi demikian menakutkan. Pesantren merupakan produsen perakit bom dan pemuda aliran radikal. Jenggot, jilbab lebar dan cadar adalah lambang keterbelakangan, fundamentalisme dan sikap intolerant.
Dan, di era media massa, media sosial serta media eletronik mengirim pesan secepat laju cahaya; stigma itu mudah dipindahkan ke kepala-kepala orang lain. Ditanamkan ke dalam hati orang yang menyimpan keraguan serta tak ingin mengambil peran mencari tahu kebenaran alias tabayyun.
Stigma, sekali melekat dapat menyulut kebencian. Meski orang tak punya informasi yang utuh tentangnya.
Film Mystic River, adalah gambaran bagus tentang bagaimana kata “pedofilia” menimbulkan kesalahan fatal. “Pedofilia” menimbulkan rasa jijik, benci, gambaran anak kecil yang menjadi korban perkosaan. Pelaku pedofilia pantas dihukum berat, namun bagaimana bila ternyata masyarakat salah menyematkan stigma pedofilia pada seorang lelaki tak berdosa?
Film The Most Wanted Man pun menggambarkan betapa stigma teroris melekat pada pria muslim, taat ibadah dan kaya raya. Seolah setiap muslim yang memiliki harta berlimpah menggunakan uangnya untuk membeli senjata serta membiayai organisasi terlarang.
Fundamentalis, radikal, teroris bertahun-tahun belakangan melekat pada kaum muslimin. Sikap tersebut bukan hanya milik kaum muslimin. Radikal milik kaum militan manapun yang fanatik terhadap ideologi yang diyakini. Fundamentalis, radikal, teroris pun dimiliki agama selain Islam seperti yang kita tonton dalam film-film karya novelis Dan Brown dalam Da Vinci Code, Angels & Demons.
Arti Kata
Kamus bahasa Indonesia mengartikan radikal sebagai (1) hilang sampai ke akar-akarnya sekali; (dng) sempurna (2) (haluan politik yg) amat keras menuntut perubahan undang-undang, ketatanegaraan, dsb.
Kamus bahasa Belanda mengartikan radicaal (radicale) : mendalam hingga akarnya, ekstrim.
Teroris , dalam bahasa Indonesia bermakna orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan, biasanya untuk tujuan politik. Terorisme bermakna : praktek-praktek tindakan teror; penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha untuk mencapai tujuan (terutama tujuan politik). Bahasa Belanda, terroris’me berarti cara menakut-nakuti dengan perbuatan kejam.
Kata-kata sensitif seharusnya dihindari oleh media saat melemparkan sebuah wacana ke tengah masyarakat, apalagi bila menyangkut penduduk mayoritas. Kaum muslimin sebagai penduduk mayoritas Indonesia akan dihadapkan pada posisi sulit : membela diri dikatakan radikal atau fundamentalis, berdiam diri dan memendam rasa hanya akan menimbulkan pusaran yang meledak sewaktu-waktu.
Banyak hal yang patut dicermati kaum muslimin sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang bermartabat : korupsi, pemerintahan, pakaian, film , pornografi, makanan, hukum dst. Ketika media massa dengan segala kebijakannya tak mampu menyalurkan seluruh aspirasi masyarakat, media sosial dan media online menjadi penyalur aspirasi.
Sebagai contoh, pornografi.
Sebagian pihak beranggapan produk sensual tidak masuk area pornografi, sebab seni menyiratkan banyak hal, ekspresi dan eksplorasi. Pihak lain beranggapan bahwa produk sensual menyuarakan immorality. Ketika media membela satu pihak, sisi yang lain membutuhkan ruang menyuarakan pendapat.
Siapakah yang diizinkan berpendapat?
John Stuart Mill yang dinggap bapak demokrasi mengatakan, jika seluruh ummat manusia berpendapat sama dan hanya satu orang yang berbeda, maka seluruh ummat manusia tidak boleh membungkam satu orang yang berbeda pendapat. Begitupun, satu orang yang memiliki pendapat berbeda –hanya karena ia berkuasa- tak boleh membungkam suara banyak yang dikuasainya (Syah, 2012).
Pendapat Mill telah diterjemahkan ke dalam beberapa kebijakan Pers. Beberapa tata aturan masalah penyebaran informasi terdapat dalam UU Pers no 40/1999. Beberapa contoh pasal sebagai berikut :
PASAL 1
(1)Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
(2)Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.
PASAL 3
(1)Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, dan hiburan, dan kontrol sosial.
(2)Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi.
PASAL 4
(1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara
(2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembreidelan, atau pelarangan penyiaran
(3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi
(4) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum , wartawan mempunyai hak tolak
PASAL 9
(1)Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers.
(2)Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.
Pro Kontra Jurnalis dan Media Islam : bolehkah berpihak?
Tidak semua media Islam memenuhi azas jurnalistik yang baik seperti ABC ( accuracy, balance dan clarity) serta cover both side. Akibatnya, berita-berita yang disiarkan pun tidak credible dan sulit dipercaya. Utamanya berita online yang demikian mudah copy paste, tanpa menelisik kebenaran berita apalagi konfirmasi dari pihak pertama. Namun, bukan hanya media Islam saja yang demikian. Media-media yang beredar di tengah masyarakat umumnya memanjakan publik dengan pemberitaan yang digemari.
Jacob Oetama memperkenalkan Insight Journalism ( Jurnalisme Makna). Martin Bell wartawan perang BBC memperkenalkan Journalism of Attachment dimana jurnalis berhak melibatkan perasaan melaporkan pengalaman subyektif.
Dulu, ketika meliput perang Palestina maka seorang wartawan harus meliput cover both side – harus melaporkan dari dua sudut pandang pihak bertikai yaitu Palestina dan Israel. Sekarang, wartawan boleh melaporkan dari sudut pandang sepihak : Israel saja atau Palestina saja. Tak heran, banyak jurnalis yang melaporkan keberpihakan pada Palestina lantaran hati mereka tersentuh oleh penyiaran informasi yang tidak sebanding. Jurnalis, wartawan, penulis, boleh melakukan pengamatan subyektif dan melibatkan perasaannya, di sisi manapun ia berdiri. Silakan ia empati terhadap perjuangan bangsa Israel, dan silakan pula ia peduli pada perjuangan bangsa Palestina. Dunia tak boleh membungkam Palestina, hanya disebabkan penguasa saat ini adalah bangsa tertentu.
Begitupun media Islam.
Jurnalisme masa depan sesungguhnya bukan hanya sekedar cover one side, cover both sides namun juga cover many sides or multi-angles. Beragam sudut harus ditampilkan saat menampilkan berita dengan tetap mempertimbangkan ABC. Immerse journalismmenjadi salah satu genre jurnalis yang digemari, jurnalis yang “berbaur” dengan obyek liputan.
Seorang penulis media online, penyebar informasi, merasakan betul “immerse” menjadi seorang muslim di negara mayoritas muslim ini. Berbeda sedikit dengan arus kebanyakan, semisal pakaian : bergamis, berjubah, berjenggot, bercadar, maka stigma muncul dan melekat sebagai kaum fundamentalis dan radikal. Akibatnya kaum muslimin resah bertindak. Padahal, negara menjamin kebebasan seluas-luasnya bagi mereka yang berpakaian menampilkan dada dan paha.
Pers memberikan kebebasan pada munculnya film, berita yang menonjolkan sensualitas; namun tulisan-tulisan yang mengajak warga muslim Indonesia untuk lebih memperhatikan busana yang dituntunkan oleh agama, mendapatkan sorotan sebagai fundamentalisme.
Apatah lagi tulisan yang berusaha membahas hukum, ketatanegaraan, politik, hubungan bilateral dan multilateral; akan mendapatkan stigma lebih berat dan buruk lagi bagi jurnalis Islami. Bahkan, bila menyoroti hal-hal yang lebih sensitif semacam keberpihakan ekonomi, peperangan, persenjataan, maka stigma terorrisme akan melekat pada penyebar informasi. Padahal sekali lagi, label teroris harusnya melekat secara politik pada pihak berkuasa yang melakukan kekejaman demi memaksakan kehendak, bukan pada penyiar informasi.
Memang, sekian banyak media massa, media online, media sosial, memberitakan hal-hal subyektif yang sangat jauh dari ABC, baik media Islam ataupun bukan.
Bila media Islam yang melakukan one both side, immerse journalisme, dan muatannya dianggap meresahkan; masih ada jalan-jalan bijak yang ditempuh oleh negara.
UU Pers no 40 199 cukup jelas menjabarkan hak tolak, hak jawab, dan sekian pasal yang menyangkut hak serta kewajiban insan pers. Situs-situs Islam termasuk pers yang menjadi kekayaan demokratis negara. Bila dibungkam dan menjadi arus bawah, tentu negara sulit lagi mengendalikannya.
Ibnu Khaldun menuliskan dalam Muqadimah , Pasal ke-3 dari Kitab Pertama : Pasal 24
“Tindakan Ofensif Membahayakan Kerajaan dan Menyebabkan Kehancuran “
“….Sebab apabila penguasa bertindak bengis dan sewenang-wenang, dengan menerapkan berbagai sanksi berat, dan mencari-cari kesalahan rakyat dan dosa-dosa mereka; maka mereka akan diselimuti ketakutan, kehinaan dan cenderung berinteraksi dengannya dengan kedustaan, kemunafikan dan tipu daya, hingga sifat-sifat buruk tersebut menjadi kebiasaan dan etika mereka. Pandangan mereka pun menyimpang, dan bahkan terkadang mereka mengkhianatinya dalam emdan perang dan pembelaan kerajaan. Dengan begitu, tak ada lagi kekuatan yang melindungi karena rusaknya niat mereka….”
Naudzubillahi mindzalik.
Apabila sifat-sifat buruk menjalari warga Indonesia, tak ada lagi yang berniat melindungi negara ini. Bila rakyat dicengkram ketakutan bersuara; maka rakyat akan mudah berdusta untuk menyenangkan pihak penguasa sebagaimana rumus Ibnu Khaldun. Bila hubungan penguasa dan rakyat tidak fair, maka mudah bagi rakyat untuk membelot serta berkhianat. Apabila terjadi, bukankah kehancuran negara dapat diprediksi?
Mari berdoa dan berharap, Pemerintah melakukan tindakan bijak terkait situs-situs Islam yang merupakan anggota pers Indonesia.
Referensi :
Khaldun, Ibnu. 2001. Mukaddimah. Pustaka al Kautsar, Jakarta.
Kamus Umum Bahasa Indonesia
Kamus Belanda-Indonesia
Syah, Sirikit. 2011. Rambu-rambu Jurnalistik. Pustaka Pelajar. Jogjakarta.
—————. 2012. Watch the Dog. RM Books.
Sinta Yudisia. Ketua Umum FLP periode 2013-2017. Mahasiswa Magister Psikologi Profesional.