Selasa, November 26Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

Pesta Kematian

Sumber: etsy.com
Sumber: etsy.com

1980

Usianya kini 60 tahun, dan ia ingin menyiapkan pesta kematian yang meriah. Dengan peti mati yang sangat indah, penuh ukiran berselera tinggi dan terbuat dari kayu jati yang terbaik di negeri ini. Ia mendambakan kain kafan yang sejuk untuk membaluti sekujur tubuhnya yang senantiasa dirawat dengan teliti. Ia ingin sebuah foto besar berpose wajah diri yang rupawan, serta karangan bunga raksasa dengan diameter yang menjebol buku rekor dunia, melengkapi upacara pemakamannya, selain seluruh petugas yang berseragam elok.

Ia ingin saat kematiannya, orang-orang berduyun-duyun meramaikan upacara persemayamannya. Itulah ending yang agung dari kebesaran yang pernah ia miliki selama menempuh kehidupan di dunia.

Dan ia begitu sibuk dibuatnya.

“Kau harus membuat makamku seindah istana, Nak!” ujarnya, pada seorang anaknya. “Hanya satu hal itu yang tidak bisa saya lakukan. Saya bisa mempersiapkan peralatannya, mulai dari semen, marmer, hingga emas untuk menyepuhnya. Namun kaulah yang kuharapkan menjalankan rencana itu dengan baik.”

“Ya, Pak!” ujar Sang Anak, takzim. “Tetapi Bapak santai saja. Bukankah Bapak masih segar bugar. Masih sehat. Masih penuh vitalitas?”

“Kematian itu bisa datang setiap saat. Karena itu, saya harus persiapkan dengan baik. Peti mati yang ada di rumah kita itu, adalah kualitas terbaik yang pernah saya saksikan. Jika kau melihat ada peti mati yang lebih baik dari itu, segera saja kau beritahu saya ya, Nak? Demikian juga, saya sudah menyuruh fotografer terbaik di negeri ini untuk memotret saya dan mencetaknya dalam ukuran besar. Lihatlah, betapa gagah bapakmu menggunakan busana seperti raja-raja. Orang-orang yang datang di upacara kematian saya pasti akan terkesima dibuatnya. Kau carikan saja sepuluh orang berwajah tampan, aku sudah menyediakan 10 potong seragam yang sangat mahal harganya….”

“Untuk apa, Pak?”

“Menggotong peti matiku. Yang tampan dan berbadan sehat, ya? Saya tak mau, saat mereka membawa peti mati, ternyata ada yang jatuh pingsan. Itu akan berpengaruh terhadap kemeriahan pesta kematianku.”

“Ya, Pak. Tenang saja. Bapak masih sehat… masih segar… masih….”

“Kematian datangnya tak terduga, Nak! Jangan bersantai-santai. Dan pesta kematian itu, akan menentukan sekali, seberapa hebat kebesaran kita di dunia fana ini.”

Sang anak pun hanya mengangguk-angguk.

1985

Usianya kini 65 tahun. Ia masih sehat, masih mampu mengerjakan aktivitasnya dengan prima. Masih mampu mengeruk kekayaan untuk ia timbun di brankasnya yang kian hari kian membesar. Masih mampu menebar pesona dengan senyumnya yang indah.

Namun ia menginginkan pesta kematian yang megah.

“Saya ingin ending yang sempurna. Saya sudah memiliki banyak wisma, banyak kendaraan, fasilitas hidup yang serbaada. Pendek kata, dunia sudah ada di genggaman saya. Saya tak mau kematianku tak segebyar performa ini. Kau harus bantu saya, Nak!” ujarnya mewanti-wanti Sang Anak yang tampaknya tak percaya jika Sang Ayah yang begitu perkasa akan mati dalam waktu dekat ini.

Usianya kini 65 tahun, dan tepat di hari ulang tahunnya, ia didatangi oleh seorang tamu.

“Perkenalkan, saya Roger, manager event organizer khusus upacara kematian. Saya bisa mensetting upacara kematian yang mengesankan, termasuk menyiarkannya secara live di beberapa stasiun TV nasional.”

Roger, lelaki itu, masih muda. Namun ia memiliki karisma luar biasa. Sang Bapak pun seketika percaya padanya, dan meluangkan waktu untuk menemaninya meninjau pernik-pernik persiapan ucapara kematiannya.

“Bolehkah saya memberi kritik kepada Bapak?” tanya Roger.

“Oh, silahkan saja!”

“Peti mati itu bagus, tetapi masih kurang menarik. Ukirannya kuno. Bapak adalah icon kemajuan teknologi. Mestinya peti itu dibuat dengan ukiran yang menggambarkan kedahsyatan teknologi kita.”

“Apakah kau punya kenalan orang yang….”

“Tentu saja, Pak! Saya akan perintahkan staf saya, seorang pakar ukiran paling baik di dunia ini, untuk mendesainkan sebuah peti mati yang benar-benar eksklusif. Percayalah, pesta kematian anda akan menjadi momen yang paling mengesankan!”

“Baiklah. Saya percaya. Tetapi, berapa harganya?”

“Tidak mahal. Hanya 1 milyar!”

“Tak cukup hanya peti mati, bukan?”

“Tentu. Seragam-seragam pengantar peti mati ke liang lahat juga harus diganti. Sudah terlalu usang. Jika Bapak setuju, saya bisa meminta teman saya yang desainer kondang untuk merancang busana yang paling pas. O, ya… untuk keluarga yang ditinggalkan, kami juga memiliki beberapa contoh busana duka cita yang sangat representatif.”

“Persiapkan saja! Persiapkan saja! Berapapun dana yang dibutuhkan, saya siap!”

Roger menyebut sebuah angka yang sarat dengan butir-butir nol.

Sang anak yang diam-diam menyimak pembicaraan itu hanya bisa mengurut dadanya.

1990

Ia berulangtahun ke-70 dan pada saat itu, ia menerima kabar bahwa Roger, sang manager EO meninggal. Ia sungguh tak percaya, karena Roger masih begitu muda. Roger masih berusia 35 tahun, sama seperti usia anak bungsunya. Ia tersentak. Namun ketersentakan yang paling membekas adalah sebuah kenyataan yang menggelitik hatinya. Pemakaman Roger berlangsung sangat sederhana.

“Apa-apaan ini?! Ia mengaku bisa merancang pesta pemakaman yang hebat, yang mengesankan. Pada kenyataannya, semua itu nol besar. Bahkan pemakamannya hanya didatangi kurang dari 20 orang. Kebetulan sekali, ia mati mendahuluiku. Dengan demikian, aku bisa melihat, bahwa sesumbarnya selama ini adalah omong kosong.”

Sepenuh kemarahan, ia pun memerintahkan orang untuk membakar semua peralatan yang disediakan oleh Roger. Peti mati, baju seragam, pigura foto, hingga karangan bunga.

“Sekarang, Nak… tolong carikan event organizer upacara kematian yang betul-betul mumpuni. Umur saya sekarang sudah 70 tahun. Sebagian teman sepermainan sudah mati mendahului saya. Secepatnyalah! Siapkan sebuah upacara kematian yang benar-benar megah dan mengesankan,” pintanya kepada sang anak yang teramat ia sayangi itu.

“Bapak, saya sendiri tidak pernah yakin, apakah event organizer yang khusus menangani upacara kematian itu benar-benar ada. Apakah Roger bukan seorang badut yang pintar beromong-kosong dan hanya ingin menggerogoti uang Bapak?” kilah sang Anak.

“Mengapa tidak? Banyak orang yang menginginkan upacara kematiannya dikemas dengan sangat meriah….”

Sang Bapak mengeluarkan ribuan kata. Sang anak terdiam. Salah-salah melakukan penentangan, bisa-bisa ia tidak dicantumkan dalam daftar yang memperoleh warisan.

Singkat kata, akhirnya datang kepadanya seorang lelaki yang mengaku bernama Michael. Ia membawa beraneka VCD dan foto-foto luks tentang upacara kematian yang pernah ia desain.

“Ada peti mati dari logam platina yang diarak dengan kereta kencana. Delapan ekor kuda putih menarik kereta tersebut, lalu 64 pengiring dengan seragam seperti pasukan pengawal kerajaan Inggris berjalan di belakang kereta. Khusus untuk keluarga yang berduka, bisa dirancang bus dengan bak terbuka.”

“Mengapa jumlah pengiring saya harus 64?”

“Itu menandakan jumlah perusahaan yang Bapak miliki. Ada 64 bukan? Nah, aura kemegahan pasti akan terpancar dengan jelas, dan ribuan para pelayat akan berdecak kagum. Inilah anda, lelaki sukses yang berhasil membangun sebuah kerajaan bisnis terbesar di dunia!”

Sang Bapak mengangguk-angguk. Konsep Michael jauh lebih jelas dan lebih teruji dibanding Roger.

“Berapa jumlah dana yang harus saya siapkan untuk upacara kematian saya?”

“Tak banyak,” jawab Michael. “Hanya 2 trilyun! Dan itu tak seberapa dibanding jumlah uang yang anda miliki, bukan? Untuk apa anda bekerja keras jika tidak untuk kepuasan diri anda sendiri, bukan?”

Sang Bapak mengangguk setuju. Ia sudah bisa membayangkan, seberapa megahnya pesta kematiannya kelak…

1995

Usianya kini 75 tahun. Seluruh persiapan pesta kematiannya telah selesai. Untuk itu, ia harus memuji Michael yang benar-benar telah bekerja keras. Ia sudah siap mati. Sesiap persiapan untuk itu. Hanya saja, kematian itu tak juga datang menjemput. Ia masih sehat, bugar, perkasa. Sesekali batuk dan flu menghinggapi, namun kemudian pergi. Kuman penyakit tak betah bertahan di tubuhnya berlama-lama.

Ia pun masih sibuk dengan aktivitasnya. Masih sibuk dengan mimpi-mimpinya.

“Tak apa. Yang terpenting, ketika saya meninggal nanti, semuanya telah siap. Saya akan dikubur dalam sebuah pesta kematian yang meriah. Tenang saja…”

2000

Ia melirik ke jendela pesawat terbang dengan senyum mengembang. Pelataran bumi yang terpampang membuat hatinya dijejali kembang. Semuanya… semuanya telah menjadi miliknya, kini…

Betapa hebatnya ia. Usianya sudah 80 tahun, dan sebagai manusia ia masih berdayaguna dengan segenap kapasitasnya. Barusan  ia dianugerahi gelar adiluhung, sebagai Man of the World oleh sebuah kerajaan media skala internasional. Mereka terkesima dengan kebesarannya. Sebuah pelengkap persiapan yang ekstravaganza. Jika ia meninggal nanti, maka pesta kematiannya akan menjadi sebuah persemayaman agung…

Sebuah sentakan mendadak meluruki jiwanya ketika teringat, ada yang tidak pas dalam persiapan kematiannya. Seragam pengantar peti mati yang tersedia hanya sejumlah 64, padahal perusahaannya telah bertambah lebih dari selusin. Ia belum meng-update persiapan itu. Ia…

Sebuah guncangan terjadi disusul ledakan yang berjalan sangat cepat. Ia tak menyadari apa yang terjadi karena kesadarannya memang seketika lantak terpagut nyala api yang membara membakar raganya. Rohnya pun terusir karena badan kasarnya sudah tak mampu menampungnya.

Kecelakaan pesawat terbang.

Maka pesta kematian pun berlangsung meriah. Ribuan—bahkan jutaan makhluk datang bertandang. Bukan manusia. Namun sekerajaan arthropoda yang mengerubuti seonggok jenazah hangus di antara puing badan pesawat udara.

Pesta kematian yang begitu istimewa.

Surakarta, 30 November 2005

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This