Flp.0r.id – Dalam buku Menulis Secara Populer, Ismail Marahimin menegaskan bahwa cerpen itu bukan penggalan sebuah novel, juga bukan novel yang diperpendek. Cerpen dan novel, adalah dua buah karya dengan karakter sendiri-sendiri.
Ada yang mengatakan bahwa cerpen adalah tulisan fiksi yang panjangnya sekitar 500-10.000 kata. Sedangkan Edgar Allan Poe, sosok yang dijuluki sebaga Bapak Cerpen, mengatakan bahwa prose tale (cerpen dalam sebutan Poe), adalah narasi yang bisa dibaca dalam sekali duduk, dengan lama waktu setengah hingga 2 jam.
Penjelasan itu disampaikan penulis 66 buku yang juga Ketua Umum Forum Lingkar Pena (FLP), Afifah Afra, saat memberikan materi dalam agenda Kuliah WhatsApp yang digelar FLP bekerja sama dengan Rumah Zakat dan Blogger FLP, beberapa waktu lalu. Berikut materi lengkapnya.
Lebih lanjut Afifah Afra mengungkapkan, Poe menyebutkan, bahwa sebuah cerpen itu harus unik dan berefek tunggal. Untuk membentuk efek tunggal itu, plot dan karakter harus langsung diwujudkan dalam tindakan, bukan dalam deskripsi atau komentar tulisannya. Karena pendek, maka cerpen memiliki ruang yang padat. Dengan sendirinya, seorang cerpenis harus ketat dalam memilih kata- kata.
Satu hal perlu dicatat, bahwa cerpen dan novel itu genre yang berbeda, memiliki kekhasan yang berbeda-beda. Bukan berarti orang yang menulis novel lebih “keren” daripada yang menulis cerpen, hanya semata-mata cerpen lebih pendek daripada novel. Cerpen dan novel punya kesulitan yang berbeda-beda.
Ketika kita membuat cerpen, cerbung, novelet atau novel, sesungguhnya kita sedang membangun sebuah narasi. Narasi adalah cerita yang didasarkan pada sebuah urutan kejadian atau peristiwa, di mana peristiwa tersebut dialami oleh tokoh yang mengalami konflik tertentu. Urutan kejadian, tokoh dan konflik itu, menurut Marahaimin, membentuk satu kesatuan yang disebut plot atau alur. Sedangkan menurut Novakovich, narasi yang seimbang adalah hasil interaksi antara setting dan tokoh yang membentuk plot (alur), atau dirumuskan: PLOT = TOKOH + SETTING.
Namun yang harus dipahami adalah, narasi ditulis agar pembaca seperti mengalami sendiri kisah yang ditulis oleh penulis. Karena itu, untuk membuat sebuah narasi yang baik, kita harus benar-benar menggali unsur-unsur pembangun plot, yakni tokoh dan setting tersebut. Jadi, saat membangun sebuah narasi, sebenarnya kita sedang mengolah interaksi antar tokoh, serta setting.
Terkait tokoh, terang Afifah Afra, ada tokoh antagonis dan protagonis. Pada cerita-cerita klasik, tokoh antagonis sering diidentikkan dengan kejahatan, sedangkan protagonis adalah si pahlawan pembela kejahatan. Akan tetapi, sebenarnya tak harus demikian. Antagonis adalah tokoh yang dimunculkan sebagai tokoh yang berkebalikan secara karakter dengan tokoh protagonis. Kemunculan dua jenis tokoh yang berbeda, memunculkan perbedaan karakter, yang ketika berinteraksi kemudian memunculkan konflik.
Konflik inilah yang akan membentuk plot. Agar plot menjadi semakin baik, maka karakter tokoh harus digali. Seunik mungkin. Sedetail mungkin. Semakin unik karakter tokoh yang dibangun, konflik yang muncul pun akan semakin unik.
Silahkan Anda bandingkan dua jenis karakter ini! Tommy anak SMA, kaya, tampan, sombong. Delisa, seorang gadis yang lahir dari keluarga broken home. Cantik, pintar, sempurna. Namun memiliki kepribadian ganda. Sering bergerak tanpa mampu mengendalikan diri. Sering tiba-tiba bangun di tengah malam, dan seakan-akan berubah menjadi orang lain. Dari perbedaan kedetailan dua tokoh tersebut, kira-kira mana yang jika dikembangkan, akan mendapatkan konflik yang lebih baik?
Akan tetapi, karena dalam sebuah cerpen kita tidak memiliki ruang yang cukup luas untuk menuliskan karakter tokoh secara detail, maka kita bisa meminjam berbagai unsur seperti dialog, setting, tema, dan kalimat-kalimat lain yang tak secara khusus membicarakan karakter, untuk diselipi muatan karakter. Kalimat-kalimat dalam cerpen, sebaiknya memang multifungsi.
Contoh: Beginilah Roy, si Batak romantis yang senang berdendang. Sejak pagi, dia sudah membuat gara-gara dengan menyelipkan cemburu di hati para seniornya yang begitu ingin merundungnya sejak awal di masuk di kampus biru.
Coba lihat, dari kalimat-kalimat tersebut. Dari paparan singkat itu saja, kita bisa mendapat banyak informasi, yakni karakter Roy, setting kampus biru, hingga gambaran konflik yang mungkin akan berkembang. Kekuatan konflik sangat dipengaruhi bagaimana kita mengeksplor karakter protagonis maupun antagonis yang ada dalam cerita tersebut.
Setting juga merupakan bahan baku dari plot cerita. Selain tokoh, setting menempati posisi yang sangat penting dalam sebuah narasi. Kekuatan setting, apalagi pada sebuah cerita yang lebih panjang, akan menjadi nilai plus sebuah karya. Adapun dalam cerpen, meski ruangan terbatas, dengan kaidah kalimat multifungsi, kita juga perlu mengeksplor setting dengan ciamik.
Si tokoh, baik protagonis maupun antagonis, tentu mendiami sebuah tempat, waktu, kondisi sosial budaya dan berbagai varian lattar lainnya. Interaksi antar tokoh dengan setting, akan menghidupkan konflik. Bahkan, dalam beberapa cerita, ada para penulis yang dengan berani membuat konflik, benar-benar tokoh vs setting belaka. Tak ada tokoh vs tokoh.
Yang paling terkenal adalah Cast Away, film yang dibintangi oleh Tom Hanks. Film ini menceritakan seorang karyawan yang terdampar di pulau yang sepi setelah melakukan penerbangan di Pasifik bagian selatan. Berbagai konflik melawan setting, dihadapi seorang diri.
Sebagaimana tokoh, kedetailan setting juga akan memperindah dan dalam kasus tertentu, menjadi punggung dari alur. Contoh: Kepulan solfatara membetot ingatanku pada cerita Bang Rudi tentang hiruk pikuk malam itu, saat wedus gembel Merapi menghempas rumah-rumah sepanjang sungai Gendol, membawa gumpalan awan 600 derajat celcius. Baunya yang sangit juga mengingatkankanku tentang kami semua yang belum mandi hampir tiga hari, sebuah peristiwa yang hampir tak pernah terjadi di seumur hidupku yang selalu tertata rapi.
Selain menggambarkan setting, karakter tokoh juga dimunculkan dalam paparan tersebut.
Karena narasi merupakan interaksi tokoh, maka akan muncul dialog. Untuk menguatkan setting, gunakanlah warna lokal yang kuat dalam dialog, yang juga berfungsi membantu menggambarkan setting. Misalnya, anda membuat cerita bersetting Jawa, gunakanlah beberapa patah bahasa Jawa dalam dialog anda. Orang akan menjadi yakin, bahwa cerita yang anda tulis, memang benar-benar terjadi di Pulau Jawa.
Soal dialog, kita harus berhati-hati, karena kadang ditemui misalkan setting di pedesaan yang semestinya bicara bahasa Jawa, tapi kadang penulis muda memasukkan dialog yang bergaya bahasa metropolitan. Ini sangat kontradiktif.
Terkait pola narasi, yang paling klasik diungkapkan oleh Aristoteles. Menurut Aristoteles, narasi terdiri dari 3 bagian, yaitu awal, tengah dan akhir. Pada bagian awal, silahkan menuliskan latar belakang cerita (tidak harus panjang lebar, yang penting cukup mengena), serta memperkenalkan tokoh-tokohnya. Menurut Marahimin, awalan yang baik harus bisa menyiratkan akhir, hanya saja, pembaca tidak tahu bahwa siratan itu adalah pertanda akhiran karangan. Baru ketika ia membaca akhiran, ia akan manggut-manggut, ―Oh, ini maksudnya…‖
Bagian tengah adalah ketika tokoh-tokoh itu memasuki konflik. Konflik itu bisa jadi antara tokoh dengan tokoh, atau tokoh dengan setting (misalnya tokoh yang berjuang untuk tetap hidup saat diterjang badai salju), tokoh dengan adat istiadat, bahkan dengan Tuhan (misalnya seseorang yang mencoba menentang takdir). Konflik biasanya diakhiri dengan sebuah ledakan yang disebut klimaks. Semakin hebat tekanan konflik yang kita buat, maka klimaksnya semakin dahsyat.
Kita bisa ibaratkan dengan balon. Semakin banyak udara yang mengisinya, maka ketika meletus, akan semakin keras bunyinya. Maka, narasi yang baik adalah yang bisa memenej konflik dengan baik pula, sehingga bisa menimbulkan sebuah efek yang mengena bagi pembaca. Tetapi, konflik juga jangan terlalu dipaksakan. Karena ingin membuat sebuah ledakan yang keras, kita memaksa agar si tokoh terus-menerus mengalami konflik, persis yang terjadi pada sebuah sinetron di stasiun TV swasta yang berlanjut, berlanjut dan terus berlanjut. Jika konflik tidak proporsional, pembaca akan merasa bosan. ―Gimana sih, tokoh ini, nggak happy-happy, sedih melulu…-
Selanjutnya akhir atau ending. Ending yang baik adalah yang mengesankan, baik kesan sedih, menggemaskan—bikin geregetan, atau bahkan sama sekali tak diduga sebelumnya. Ending yang baik akan membuat para pembaca merasa puas dan terkenang-kenang dengan tulisan tersebut.
Biarpun sederhana, pola narasi klasik yang diungkapkan oleh Aristoteles ini masih banyak dianut sampai sekarang di pola penulisan awal, tengah, dan akhir. Lebih lanjut, kaidah narasi Aristoteles ini dikembangkan menjadi ―The Three-Act Structure.‖ Begini gambarannya:
Pada Act I, yaitu introduction, kita mulai memperkenalkan para tokoh, baik protagonis maupun antagonis. Masalah utama mulai dimunculkan, dan mulai ada point of attack, yang akan menggiring pembaca untuk terus membaca hingga habis.
Pada Act II, confrontation, kita mulai melakukan dramatisasi atas masalah yang dihadapi tokoh protagonis dan benturannya dengan tokoh antagonis. Di sinilah penulis mulai bermain- main dengan suspense dan surprise. Biasanya, Afifah membagi babak konfrontasi ini dalam 3 scene yang memiliki suspense bertingkat, mulai dari yang rendah hingga tertinggi. Menurutnya, 3 scene cukup. Jika kurang, cerpen akan garing, jika kelebihan, pembaca akan bosan.
Pada Act III, falling action atau ending, penulis bisa menuliskan bagaimana hasil perjuangan si tokoh dalam menghadapi masalah. Ada istilah TWIST ENDING. Twist artinya putaran, pelintiran, memutarbalik atau memilin. Maksudnya, penulis membuat sebuah ending yang sama sekali tidak disangka, mengejutkan dan benar-benar di luar perkiraan, tetapi masih dalam satu kesatuan cerita, alias tidak mengada-ada.
Lihatlah contoh pola narasi ini! ACT I: Wied adalah seorang tukang becak yang menikahi Supeni dengan perjuangan susah payah. Supeni mau dinikahi asal Wied mau menghentikan kebiasaan merokok. Supeni mengatakan bahwa rokok adalah “selingkuhan”, dan Supeni tak mau Wied selingkuh dengan rokok dan tak bersetia terhadap Supeni. Wied menyanggupi. Inilah point of attack dari babak ini.
ACT II. Banyak sekali godaan yang didapatkan Wied agar tetap setia kepada Supeni untuk tidak merokok. Pada suatu malam, Wied berangkat membecak di hari yang basah karena hujan.
Scene 1: Wied menyaksikan para penarik becak lainnya merokok di tengah udara malam yang gelap. Wied membawa uang sedikit yang cukup untuk membeli beberapa batang rokok. Hampir saja Wied datang ke warung untuk membeli rokok, tetapi dia ingat janjinya.
Scene 2: Malam semakin larut, udara semakin dingin. Wied menggigil kedingingan. Pada saat itu, seorang teman datang, dan menawari Wied rokok: GRATIS. Batin Wied bergolak. Tapi dia tetap ingat janjinya dan menolak halus.
Scene 3: Saat hujan semakin deras, Wied mendapat penumpang yang minta diantar ke rumah sakit dengan jarak yang cukup jauh. Wied berjibaku dengan hujan badai. Ternyata, si penumpang memberi Wied bayaran besar termasuk: UANG ROKOK.
ACT III: Wied pun pulang dengan bahagia. Bahagia karena berhasil memegang janjinya untuk tetap setia. Ending saya buat nge-twist dengan sebuah kejutan… silakan baca cerpen ―SEORANG LELAKI DAN SELINGKUH‖ di link ini https://www.afifahafra.net/2013/04/seorang-lelaki-dan-selingkuh.html
Memahami kaidah The Three-Act Structure ini merupakan hal paling mendasar yang harus dikuasai oleh seorang penulis karya berbasis narasi seperti cerpen, novel, drama atau bahkan skenario film. Memahami kaidah ini serta pengaturan porsi babak yang proporsional, akan membuat cerita menjadi nikmat dibaca. Banyak cerpen atau novel kurang rapi dalam mengemas plot, sehingga justru tampak kedodoran. Misal babak pendahuluan yang terlalu panjang, konflik/konfrontasi yang terburu-buru, atau ending yang tidak menyatu dengan cerita sebelumnya.
Setelah memahami The Three-Act Structure di atas, kita bisa mengembangkan sebuah plot cerpen menjadi lebih detil dengan Diagram Plot Cerpen. Menurut Oxford Practical Teaching, beginilah urutan sebuah plot dari cerpen.
Dalam diagram tersebut, plot cerpen terbagi menjadi 6 babak.
- Exposition, pada bab ini, cerita dimulai dan karakter-karakter tokoh mulai diperkenalkan.
- Complication, mulainya terjadi kejadian atau perkenalan konflik, dan pembaca mulai bertanya-tanya, bagaimana kelanjutan cerita, apa yang akan terjadi, dan bagaimana penyelesainnya.
- Rising Action, ketegangan meningkat dan kejadian atau konflik semakin memburuk.
- Climax, inilah momen ketegangan terbesar, peristiwa terpenting dari kisah ini terjadi.
- Denouement/falling action, mulai ada penurunan ketegangan dan masalah mulai terselesaikan.
- Resolution, pembaca mulai memahami inti dari konflik dan penyelesainnya. Seringkali dalam sebuah ending, ada suatu hal baru yang bisa diperoleh.
Perhatikan juga beberapa jenis plot diagram dari cerita pendek di bawah ini
Jadi, template sebuah cerpen itu sebenarnya sangat sederhana: MASUKKAN SESEORANG KE DALAM HUTAN, KELUARKAN MACAN LAPAR, BUAT SESEORANG ITU BISA KELUAR DARI HUTAN.
Selain metode-metode tersebut di atas, kita juga bisa memakai teknik 7 Point Struktur Cerpen (7 Point Short Story Structure) untuk menulis cerpen
- A character, tentukan tokoh/karakter dalam sebuah cerpen.
- Is in a situation, masukkan tokoh/karakter itu dalam sebuah situasi tertentu.
- With a problem, berikan dia sebuah problem.
- The try to solve the problem, ceritakan bagaimana usaha dia dalam menghadapi problem tersebut.
- But fail, making it worse, dia gagal dan kondisi semakin buruk.
- The make a final attempt which may succed or fail, ceritakan upaya terakhir yang memungkinkan dia sukses atau gagal.
- The consequence is not as expected, buatkan sebuah kesimpulan, ending, akhir yang sama sekali tak diduga atau tak disangka-sangka, namun tetap dalam satu kerangka.
Terkait penggunaan tanda baca, dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Seorang calon penulis mestinya harus akrab dengan PUEBI. Lama-lama nanti akan hapal kok, bagaimana penempatan tanda baca yang tepat. Meski ada editor di penerbit/media yang akan kita tuju, tulisan yang minim kesalahan ejaan dan tanda baca, biasanya akan lebih disukai, karena mengurangi kerja editor.
Kalau secara standard, klimaks mestinya di tengah. Tetapi karena kepenulisan adalah sebuah kreativitas, tentu sah-sah saja jika kita hendak meletakkan klimaks di manapun. Asal tetap artistik, tidak mengganggu, dan tidak “menggagalkan” narasi. Maksudnya ―menggagalkan‖ narasi itu, kita itu gagal membuat paparan cerita yang runtut. Misalnya ending di depan. Biasanya kan orang penasaran dengan ending. Nah, jika kita kita taruh ending di depan, pembaca jadi tidak berminat karena sudah tau endingnya.
Dalam cerpen, konflik harus tunggal. Karena ini kekhasan sebuah cerpen. Dengan demikian, karena problem merupakan “bahan utama” dari konflik, sebaiknya tunggal saja. Tetapi dosisnya bertingkat. Misalnya, problem bau badan. Di scene 1, bau badan cuma menggangu orang serumah. Di scene 2, menganggu orang sekantor. Di scene 3, ini klimaks, menggagalkan akad nikah, misalnya. Sadis, ya? Gara-gara calon suaminya bau badannya menyengat, akad nikah gagal. Jadi, dosisnya bertingkat. Rendah, sedang, tinggi. Kalau problemnya mutipel, cerpen jadi tidak fokus. “Daya tusuknya” akan berkurang. Kalau begitu adanya, sebaiknya dikembangkan saja menjadi novelet atau novel.
Kalimat awal sebuah cerpen atau tulisan apapun, selalu menyita perhatian lebih para penulis. Seringkali, para penulis mengobrak-abrik bagian depan, agar terlihat indah dan “menyedot” perhatian.
Cara menyedot perhatian pembaca, paragraf pertama merupakan kunci dari kesuksesan sebuah novel. Ada beberapa alasan. Pertama, banyak pembaca kita merasa malas untuk menikmati sebuah novel, sehingga dia perlu dientakkan dengan ―sihir‖ yang dilakukan seawal mungkin.
Kedua, jika cerpen kita diikutkan dalam sebuah seleksi, seringkali cerpen kita harus berjuang melawan ratusan, bahkan ribuan lawan. Terbayang kan, betapa capek juri kita saat mencoba membaca satu persatu. Banyak juri hanya membaca paragraf pertama, tengah dan akhir. Begitu menarik, maka akan membaca hingga habis.
Bagaimana membuat paragraf pertama yang menarik? Awali dengan Ledakan. Awalilah cerpen dengan ledakan (bang), sehingga begitu melihat sekilas, pembaca akan tertarik. Cerpen itu mirip sebuah presentasi, dimana audiens harus terlebih dahulu diikat perhatiannya sehingga akan tersihir dan mau menurut ke arah mana ia akan dibawa‘ oleh presenter.
Punggung dari sebuah cerita adalah konflik. Terkadang, pembaca sering malas membaca pendahuluan yang bertele-tele, namun bergairah saat dihadapkan pada konflik. Contoh: ―Pagi ini aku membuka pintu apartemen, dan kulihat sebuah benda teronggok di depan pintu. Aku tersentak. Benda itu ternyata mayat!‖
Jangan Menggunakan diksi yang terlalu mainstream. Lupakan pendahuluan semacam ini untuk sebuah cerpen: ―Pada suatu hari, di sebuah desa, matahari bersinar dengan cerah. Awan tak sepotong pun mengotori birunya langit. Burung-burung beterbangan… dst.‖
Untuk membuat sebuah cerpen yang menarik, karena ruang yang sempit, kita wajib menyeleksi kata-kata yang akan kita ambil. Jika memungkinkan, rangkailah kata-kata sedemikian rupa sehingga kalimat yang dihasilkan, memiliki multifungsi. Hal ini juga berlaku pada paragraf pertama.
Coba lihat kalimat berikut, “Muak aku melihat wajahmu yang terbalut make-up murahan, mirip wajah ondel-ondel yang sedang menari di tengah lapangan itu!”
Dari kalimat tersebut, kita bisa mendapati beberapa hal! Pertama, karakter si kamu yang pesolek namun berselera murahan. Kedua, karakter si aku yang tampaknya punya atau merasa punya selera yang tinggi. Ketiga, kita bisa menjelaskan bahwa setting cerita itu terjadi di sebuah lapangan di mana tengah berlangsung pertunjukan ondel-ondel.
Nah, bagaimana, sangat menghemat ruang, bukan? Bayangkan jika untuk menjelaskan ketiga hal tersebut, anda membutuhkan 3 paragraf… cerpen akan menjadi penuh lanturan dan tidak fokus. Bisa jadi, ketika anda mengakhiri pembukaan dan masuk ke konflik, ternyata anda sudah menuliskan berlembar-lembar halaman sendiri.
Ruang operasi semakin beku. Bukan sekadar karena pendingin ruangan, tetapi juga karena sejuta tanda tanya telah melebur ke aliran darah para manusia berpakaian dan masker serba putih yang berada di ruang tersebut. Gunting, pisau bedah dan peralatan canggih yang sedianya akan membantu mengeluarkan jabang bayi, tergeletak di tempatnya masing-masing. Sementara, perempuan yang perutnya menggelembung sebesar bola basket itu masih tergeletak tak sadarkan diri setelah bius total mematikan kesadarannya untuk sementara.
Kehabisan ide sebenarnya muncul ketika kita tak mengonsep dulu sebuah tulisan. Tipsnya, konsep dulu tulisan kita. Misalnya dengan kaidah 7 poin. Jadi, jalan cerita sudah kita buat terlebih dahulu. Sudah matang, begitu. Baru kemudian kita menuliskan dalam format cerpen. Dengan cara tersebut, kita tidak akan kehabisan cerita.
Mengonsep jalan cerita itu pekerjaan yang cukup memakan waktu, konsentrasi, kadang bete juga. Tapi, kalau sudah ketemu ide2 yang segar, dan jalan cerita sudah jelas, maka akan lebih mudah menuliskannya. Kehabisan ide juga bisa karena “kehabisan bahan bakar”. Kalau mobil kita bensinnya kosong, tentu kita akan pergi ke POM bensin. Nah, kalau tangki ide kita kosong, kita bisa pergi ke perpustakaan, membaca buku, diskusi dengan teman, dll.
Ada 2 jenis sudut padang, pertama dan ketiga. Sementara sudut pandang orang kedua masih kontroversial. Sudut pandang pertama terbagi juga menjadi 2: aku sebagai tokoh utama, dan aku sebagai tokoh sampingan. Sudut pandang orang ketiga pun dibagi dua: dia yang serba tahu, dan dia yang tahu terbatas pada pemikiran dia/sebagai pengamat saja.
Menurut Afifah, sudut pandang itu soal pilihan. Ada penulis yang lebih nyaman menggunakan aku, ada yang orang ketiga. Agar sudut pandang memikat, kita bisa mencoba lebih banyak memainkan kelit kelindan pemikiran yang unik dari si tokoh. Sudut pandang ini kan dari sisi mana sebuah narasi berjalan. Maka, sudut pandang harus benar- benar bisa membawa cerita berjalan sesuai dengan alur yang telah ditetapkan si sudut pandang harus bisa melahirkan kedekatan yang intens dengan pembaca, sehingga pembaca seperti tersedot pada pola pikir si narator tersebut.
Saya tidak terlalu bersepakat ada cerpen religi dan ada cerpen yang tidak religi. Semua cerpen harusnya religius, meski tak harus mengangkat nilai-nilai yang sifatnya khususnya, karena kan banyak hal-hal dari religi yang sifatnya universal. Seperti keadilan, kebenaran, kejujuran dll.
Religi atau tidak religi, biasanya tergantung si penulisnya, jadi bukan dari genre karyanya. Kalau masalah diksi, sebisa mungkin diksi dipilih yang santun, tidak menggunakan kata- kata yang jorok, cabul, dll, karena kalimat-kalimat itu akan sangat berpengaruh terhadap pembaca, apalagi yang masih usia muda.
Bahasa campuran boleh saja, tapi bahasa daerah sebaiknya dipakai dalam dialog saja, bukan di narasinya.
Apa saja unsur yang membuat cerpen tidak monoton? Selain faktor-faktor intrinsik, beberapa hal yang membuat cerpen menjadi asyik dibaca, misalnya konteks kekiniannya. Misal, cerpen yang mengangkat isu yang sedang aktual, pasti akan lebih menarik. Bisa juga diksi-diksinya, diksi yang menggelitik dan unik, juga merupakan daya tarik sebuah cerpen.