Selasa, November 26Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

Selamat Datang, Cinta!

Sumber: whattalking.com
Sumber: whattalking.com

Lelaki itu mengusap wajahnya yang berpeluh. Langit malam terasa begitu memanas. Udara nyaris tak bergerak sehingga begitu menyesak ke tenggorokan. Entah berapa lama lagi ia harus berjalan, kedua kakinya sudah goyah dan gemetaran setiap kali melangkah. Sungguh sulit untuk melangkah di sela-sela jalan yang telah dipenuhi tumpukan batu-batu dan beton bangunan yang runtuh. Dentuman roket dan pekikan berondongan peluru yang tak kunjung henti terus mengikutinya dari belakang. Udara Gaza memang sudah terbiasa menelan api dan ledakan. Siap merenggut setiap nafas dari badan dan nyawa dari keluarga.

Keluarga. Lelaki itu menelan air mata yang tak tertumpah. Terakhir kali ia melihat keluarga adalah saat istri dan kedua anaknya yang masih kanak-kanak menghilang di balik reruntuhan rumah mereka. Pagi itu, seusai shalat subuh, sirene peringatan serangan udara meraung-raung di atas kota dan mendadak sebuah roket menghantam rumah itu. Semua terjadi begitu cepat dan merenggut kesadarannya sehingga ia tak sempat menggali reruntuhan rumah untuk sekedar mencari anak istrinya atau pun mayat mereka.

Suara-suara membingungkan di sekeliling bersahutan menyuruhnya pergi ke arah perbatasan. Begitu memekakkan telinga. Perbatasan. Kemana arah menuju perbatasan? Utara? Selatan? Timur? Atau barat? Ia sama sekali tidak tahu arah mana menuju perbatasan. Kota kacau balau dan melepuh oleh asap yang membubung dari bangunan atau kendaraan yang terbakar. Satu-satunya suara yang terdengar jelas berdentam di kepala adalah lari. Lari sejauh-jauhnya dari kota ini. Keluar dari tanah ini. Tapi, lari kemana? Ke negara mana? Siapa yang mau menampungnya? Ia tidak punya harta benda. Semua harta miliknya sudah terkubur. Ia pun tidak punya sanak keluarga di luar negeri. Kota ini, satu-satunya tanah tumpah darah sejak ia dilahirkan. Di sinilah akar kehidupannya. Dan kini, akar itu sudah tercerabut bersama bangkai-bangkai manusia yang sudah membusuk.

Lelaki itu menghela nafas. Mengumpulkan segenap kekuatan sambil terus berlari dan berlari. Menembus jerit tangis memilukan dan mayat-mayat yang bergelimpangan di jalan. Sesekali ia berlindung dari rentetan tembakan di balik reruntuhan bangunan. Ia sudah lupa kapan terakhir kali menyentuh makananan atau terakhir kali tidur. Hari-hari bergulung menjadi satu kesatuan kelabu yang tak lagi mengenal fajar atau senja.  Malam ini semakin kelam.

Tiba-tiba ia mendengar suara tank bergerak mendekati tempatnya berdiri. Lampu sorot besar menyinari segala arah. Tentara!  Cepat ia merunduk dan tiarap mencium bumi.

“Tuhan, bila sudah tiba saatnya, biarlah kematian ini berlangsung cepat dan tidak menyakitkan,“ doanya dalam hati sambil merapatkan tubuh serendah-rendahnya. Suara tank itu berlalu. Namun lampu sorotnya masih menerangi jalan. “Ada apa? Mengapa mereka belum pergi juga?” bisiknya ketakutan dalam hati.

“Rasyid, bangunlah!” sebuah suara lembut bergetar di telinganya.

Bangun?

“Ya. Bangunlah!” suara itu kembali terdengar seakan bisa membaca pikirannya.

Siapa dia? Dia mau apa?  Mengapa ia tahu namanya?

Lelaki itu beringsut pelan dan menoleh. Sesosok bertubuh tinggi berdiri menjulang di hadapannya. Orang itu mengenakan jubah dan kerudung hitam. Juga penutup kepala hitam. Wajahnya nyaris tak terlihat. Namun suaranya terdengar ramah. Mungkinkah ia seorang musuh?

“Tenanglah! Aku tidak akan menyakitimu!” sambung orang itu.

Rasyid bangkit perlahan, duduk sambil mendekap kedua kakinya yang gemetaran. Wajahnya kotor. Berhari-hari ia tidak mandi. Cambangnya tumbuh lebat memenuhi wajah. Bajunya kotor dan tercabik. Bau tubuhnya begitu menyengat sehingga seekor lalat pun tidak sudi mendekatinya. Ia memicingkan mata, berusaha menatap orang itu menembus kegelapan malam.

“Kau hendak pergi ke perbatasan, Rasyid?” tanya orang itu sambil membuka tutup wajahnya. Rasyid memandangnya keheranan. Orang yang aneh. Seperti seorang perempuan tetapi bukan perempuan. Dikatakan laki-laki, juga bukan. Wajah orang itu begitu bersih. Begitu tenang. Begitu bercahaya. Suaranya ramah, lembut, begitu nyaman sehingga Rasyid dapat membayangkan tertidur pulas di pelukannya. Ia memegang sebuah lentera di tangan kanan. Semacam lentera tetapi bukan lentera yang biasa digunakan Rasyid  di rumah.

“Perbatasan sudah dekat, Rasyid. Tetapi aku ragu kau dapat melintasinya. Kulihat pintu-pintunya tertutup rapat. Lebih baik kau beristirahat dulu di sini. Kau lelah sekali tentunya,” kata orang itu sambil menatap Rasyid lekat-lekat.

“Ditutup?” tanya Rasyid linglung.

“Ya! Ditutup! Tidak ada yang dapat melintas. Kau terkurung di sini. Tidak ada yang bisa keluar dari kota ini,” suara ramahnya terdengar bagai buluh perindu. Lembut mengalun.

“Ia bukan musuh. Musuh tidak akan berkata seramah itu padaku. Kalau ia musuh, ia pasti sudah menembakku dari tadi,” bisik Rasyid ketakutan dalam hati. Ia begitu lelah sehingga nyaris tidak bisa berpikir.

“Aku tidak akan menembakmu, Rasyid,” orang itu membaca pikiran Rasyid dengan cepat. “Aku tidak membawa senjata apapun.”

Jantung Rasyid nyaris berhenti berdegup. “La-lalu, si-siapa kau?” tanya Rasyid tergagap.

“Tugasku menuntun mereka yang sedang tersesat mencari jalan pulang, menerangi, dan menghantar mereka kembali pulang,” jawab orang itu singkat.

Rasyid memandang sekelilingnya dengan bingung. Suara bom dan roket masih berdentum di kejauhan. Suara-suara tank yang bergemuruh dan tembakan masih bergema di sudut-sudut kota yang gelap. Listrik sudah dimatikan sejak serangan udara hari pertama. Rasyid yakin ia sudah berada di dekat perbatasan. Setidaknya begitu kata hatinya.

“Pulang? Ke mana? Aku tidak mungkin pulang kembali. Rumahku hancur. Aku akan menggedor pintu perbatasan itu kuat-kuat. Aku yakin mereka akan membukakannya untukku” ujar Rasyid.

Orang itu tertawa. Tawa yang aneh. Bergema dan memantul di kepala Rasyid. “Mengapa kau tidak mengangkat senjata dan bergabung dengan para pejuang lainnya?” tanya orang itu.

Rasyid menatap orang berjubah hitam itu dengan muram. Beribu pertanyaan masih bekelebat di kepalanya tetapi rasanya ia sudah penat untuk bertanya-tanya. “Aku bekerja di sebuah kantor penerbitan kecil sebagai penulis buku pelajaran untuk anak-anak. Aku terbiasa memegang pena daripada senjata.”

Orang itu mengangguk kemudian menyuruhnya berwudhu. “Bukankah kau ingin menggedor pintu perbatasan itu hingga terbuka? Shalatlah! Aku menjagamu di sini,” ujar orang itu.  Ia meletakkan lenteranya di tanah.

Rasyid menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Terisak pelan. Ia begitu bingung setelah peristiwa pemboman rumahnya hingga ia tidak bisa berpikir jernih. Allah Yang Maha Melihat. Kepada siapa lagi ia bisa mengadukan segalanya?

Ia tidak punya apa-apa lagi di dunia ini. Tidak ada harta. Tidak ada sanak keluarga. Bumi yang dipijak ini pun hendak direbut karena bukan kepunyaan bangsanya. Selama ini hidup hanya untuk menyambung mimpi dan harapan untuk dapat melihat langit fajar terbit keesokan harinya. Nafas yang entah sampai kapan melekat di tubuhnya. Kematian bertebaran dimana-mana. Pergi ke perbatasan dan hijrah dari kota ini, merupakan setitik harapan di tengah keputusasaan. Apa pun yang terjadi.

Rasyid sujud di rakaat terakhir shalatnya. Langit malam merah membara. Jeritan pilu dan tubuh-tubuh bersimbah darah menganak sungai dari kejauhan. Air mata Rasyid menetes membasahi bumi.

“Ikutlah denganku. Kubawa kau ke perbatasan dengan selamat,” orang itu mengulurkan tangannya. Lenteranya begitu terang sehingga menyilaukan mata. Kali ini tidak ada lagi keraguan, Rasyid meraih tangan orang itu dan menggenggamnya erat-erat. Jubah hitam orang itu berkibar-kibar ditiup angin malam. Berkelebat begitu cepat. Perbatasan segera saja terlihat dalam pandangan. Seluruh perasaan menggelegak di dada Rasyid. Allahu Akbar!

Kemudian, orang berjubah hitam yang memegang lentera itu menyenandungkan madah pujian, menatap Rasyid sambil tersenyum seterang matahari. Kata-katanya selembut hujan, “Selamat datang, cinta!”

Rasyid memandang perbatasan itu dengan penuh kehangatan. Di sana, pintu-pintu perbatasan itu telah terbuka. Ia tak perlu lagi menggedornya…

*****

“Siapa namanya? Cepat periksa sakunya! Mungkin ada tanda pengenalnya,” teriak seorang laki-laki pada rekannya yang sedang memeriksa sesosok mayat korban serangan tadi malam di daerah sekitar perbatasan. Mayat laki-laki itu masih berlumuran darah dan tertekuk, bersujud mencium tanah. Kepalanya terpenggal dan ditemukan beberapa meter dari tubuhnya. Dari saku baju mayat yang kotor itu, ditemukan sebuah kartu tanda pengenal lusuh. Muhammad Rasyid, penulis buku pelajaran anak…

Jakarta, 6 Januari 2009 at 11.00 p.m.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This