Senin, November 25Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

Orang Kampung, Masyarakat Digital, dan Siasat Literasi

Saya orang kampung. Tepatnya di sebuah kota kecil yang tahun 1999 akhir diporak-porandakan oleh konflik SARA. Waktu kecil, saya hidupnya di atas laut itu. Jika malam tiba, saya senang tidur-tiduran di atas lantai papan sambil menikmati tiupan angin yang berhembus dari sela-sela papan tersebut. Jika sedang luang, saya luangkan waktu untuk memancing ikan di belakang rumah, menikmati semacam gugusan pulau di belakang rumah, Pulau Tulang, Kumo, Kakara, Tagalaya, Tolonuo, dan film-film India yang diputar di bioskop sederhana di dekat rumah yang suaranya menggema sampai kepada kami yang tinggal di pantai.
Ketika berumur sekitar empat tahun orangtua saya membawa saya ke tempat mengaji. Sekedar ikut-ikutan, akan tetapi dalam beberapa tahun kemudian saya menjadi yang tercepat menghafal surat Yasin. Mulai senang dengan belajar Al-Qur’an, saya terus mengaji di dua guru saya yang orang Tidore serta terus mengaji di Taman Pengajian Al-Qur’an yang dikelola secara lebih profesional di Al-Badru. Walau terus bergiat mengaji, saya tidak melupakan kebiasaan untuk sepulang sekolah turun ke pantai, tangkap ikan, cari udang, kuda laut, dan kepiting. Di tahun-tahun terakhir SD, guru saya (bernama Ko Uceng/Husen Tjan) memberikan saya juara 1 dalam sebuah kompetisi Al-Qur’an. Saya senang, dan sejak itu saya menemukan bahwa: sepertinya saya akan lebih berkembang lewat kajian terhadap Al-Qur’an, dan Islam.

Bermusafir ke Ibukota
Setamat SD, saya dan ayah saya berangkat naik kapal kayu ke Jakarta. Rute yang kami tempuh adalah dua hari dari pelabuhan Tobelo ke Morotai dan Ternate, kemudian menunggu kapal Pelni tiba, dan menempuh beberapa pelabuhan seperti Ternate, Bitung, Banggai, Buton, Makassar, Surabaya, dan terakhir ke Tanjung Priok Jakarta. Saya muntah-muntah dalam perjalanan itu, tapi saya selalu berpikiran positif bahwa suatu saat perjalanan ini bisa dikenang, bisa diceritakan, dan mungkin bisa dibagi inspirasi di dalamnya.

Setamat sekolah di Pesantren Darunnajah Jakarta, saya berencana ke luar negeri tapi tidak jadi. Akhirnya, saya memutuskan test IAIN Syarif Hidayatullah (sekarang UIN Jakarta/UIN Syarif Hidayatullah) dan diterima di jurusan Jinayah Siyasah serta diterima pula di jurusan Antropologi Universitas Hasanuddin, Makassar. Saya memutuskan tinggalkan Jakarta, dan ke Makassar. Alasan saya begini, “untuk memanah, kita harus tarik busur ke belakang agar busur itu bisa maju.” Artinya, jika saya ingin maju, saya tidak boleh maju untuk mundur sementara untuk maju pada waktu yang akan datang.

Salah satu yang menyemangati saya ketika itu adalah cerita-cerita Buya Hamka dalam novelnya Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Novel itu saya dapatkan saat jalan-jalan ke Pasar Mayestik, Kebayoran Lama, dan setelah baca, rasanya buku ini “gue banget.” Saya membeli dan membacanya berkali-kali. Keputusan saya untuk meninggalkan Jakarta, besar sekali dapat inspirasi dari buku karya beliau. Di sini saya dapat pelajaran bahwa langkah-langkah seseorang terkadang bukan diinspirasi oleh sesuatu yang besar, akan tetapi bacaan-bacaan ringan seperti novel, cerita-cerita cinta, atau bahkan sekedar obrolan singkat dari teman kita.

Singkat kata, tamat dari Unhas beberapa tahun kemudian saya lanjut S2 di Kajian Politik dan Hubungan Internasional di Timur Tengah UI, dan kini melanjutkan S3 di Departemen Antropologi FISIP UI sekaligus mengajar Antropologi untuk mahasiswa Program Sarjana di UI. Sebagai dosen tetap di Antropologi Universitas Khairun, Ternate, saya terus termotivasi untuk terus belajar, meningkatkan kapasitas literasi, dan jangan merasa cepat puas. Ketika seseorang sudah merasa puas, maka semangat belajarnya pun menjadi lemah, dan ia bisa-bisa terjebak dalam rasa takabbur atas apa yang telah dia raih yang bisa jadi sangat biasa-biasa saja.

Cinta Literasi: Sukai Membaca, Giatkan Menulis
Waktu SD saya sering membeli buku tipis karangan penerbit di Surabaya yang berisi gambar tentang kehidupan di akhirat. Isinya orang-orang disiksa karena dosanya. Sebagai anak kecil, saya takut akan itu dan itulah yang membuat saya bersemangat untuk belajar agama. Pada usia 35 tahun, sekarang ini, saya juga masih teringat bagaimana kisah-kisah di buku tersebut. Ketika saya remaja, bacaan “30 Kisah Teladan” karangan Abdurrahman Arroisi yang berisi cerita-cerita ringan tentang sufi yang penuh teladan juga saya baca sambil berdiri di toko buku Golden Truly (sekarang sudah jadi hotel) dan Gramedia Blok M, Jakarta.

Ternyata, suka terhadap membaca sejak kecil berpengaruh besar ketika saya telah dewasa. Paling tidak hingga saat ini, saya terus termotivasi untuk membaca, buku apa saja—kecuali yang banyak statistiknya—yang kira-kira bisa menambah pengetahuan kepada saya. Ketika diundang ke sebuah acara, saya juga membiasakan untuk membaca beberapa bahan, mencari di internet, dan juga bertanya kepada orang. “Pengetahuan awal” sangatlah penting saat menghadiri acara seperti seminar, bedah buku, workshop, dan semacamnya.

Semangat menulis saya mulai tumbuh saat kuliah di Unhas. Sebagai mahasiswa di Timur Indonesia—yang umumnya menganggap bahwa orang di Jawa pasti lebih hebat—saya selalu berpatokan pada penulis di Jawa. Ketika penulis di Pulau Jawa menerbitkan buku saya hanya bisa mengatakan, “wah, hebat betul” dan sebagainya. Hanya sekedar kagum, dan tidak bisa apa-apa. Tapi, belakangan saya jadi sadar bahwa kekaguman saja tidaklah cukup. Kita harus memulai, dan membuktikan bahwa kita juga bisa. Orang lain bisa kenapa kita tidak bisa. Otak kita punya, ikan kita makan, ayam kita santap. Nasi juga yang mereka makan, dan air putih juga yang mereka minum. Lantas, kenapa kita harus terpukau dan tidak bisa berbuat apa-apa?

Akhirnya, saya memberanikan diri untuk menulis di majalah dinding. Awalnya tulisan tangan beberapa kali, dan akhirnya saya coba pakai komputer di rental depan Unhas. Lama-lama saya kirim tulisan di koran kampus Identitas; dimuat, dan beberapa terbit di edisi khusus. Saya terus menulis di koran lokal seperti Fajar, Pedoman Masyarakat, dan Tribun Timur, selain media-media “gratisan” yang diterbitkan oleh sesama mahasiswa atau makalah-makalah ringan saat saya diminta bawa materi. Saya merasa tidak puas, dan ingin menulis buku. Akhirnya, suatu waktu saya bertekad untuk menulis buku dalam waktu paling lambat 7 hari. Selesai di hari keenam. Saya beri judul “Menemani Bidadari: Suara Hati Seorang Mahasiswa.” Buku yang bercerita tentang penting membaca dan menulis (literasi) ini termasuk punya posisi yang sangat penting dalam perjalanan saya karena pernah dibedah sampai 8 kali (di pelataran kampus, radio, hingga Gedung Pertemuan Ilmiah) dan itulah buku yang saya berikan kepada Rektor Unhas Prof. Dr. Idrus Paturusi saat wisuda.

Berkolaborasi dan Membantu Penulis Pemula
Hingga tahun 2017, saya telah menulis sekitar 60 judul buku, baik yang individual, berdua, dan antologi, selain lebih 10 naskah yang belum terbit. Pada suatu waktu, saya berpikir bahwa Rasulullah mengingatkan kita terkait manfaat kita untuk orang lain. “Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya,” begitu sabda beliau. Saya pun tersadarkan untuk tidak hanya menulis buku atas nama pribadi akan tetapi membantu orang lain untuk bisa menerbitkan buku.

Beberapa penulis pemula memang ragu terkait naskahnya. Apakah naskah ini sudah bagus? tanyanya. Penerbit mana yang bisa menerbitkannya? Dan berbagai pertanyaan lainnya. Beberapa orang yang saya beri masukan tulisannya telah diterbitkan di media-media besar seperti group Gramedia, Mizan, atau Tiga Serangkai. Mereka awalnya tidak percaya diri tapi karena dibantu—sebagai langkah awal saja—akhirnya mereka jadi percaya diri, dan bisa. Selain di penerbit besar, ada juga yang saya usulkan untuk terbitkan indie publishing saja, yaitu penerbitan yang kita sendiri biayai cetaknya. Itu tidak mengapa menurut saya sebagai sebuah proses dalam menulis.

Waktu pulang dari pertukaran tokoh muda muslim Indonesia-Australia, saya juga menerbitkan buku yang saya inisiasi dan edit selama dua tahun berjudul “Hidup Damai di Negeri Multikultur.” Buku ini ditulis dalam dua bahasa (Indonesia-Inggris) dengan kontributor sebanyak 77 orang alumni Muslim Exchange Program (MEP) dengan profesi yang berbeda-beda: anggota DPR, dosen, peneliti, aktivis LSM, artis, dan lain sebagainya. Secara cermat saya mengedit naskah tersebut dengan tetap berkonsultasi kepada Kedutaan Australia dan beberapa Indonesianis seperti Prof Greg Fealy (Australian National University) dan Prof Tim Lindsey (Melbourne University). Buku ini menjadi semacam karya diplomasi sekaligus bagaimana kita merawat jejaring yang ada lewat buku. Diluncurkan di Kedubes Australia pada tahun 2017 dan akan saya lanjutkan dengan bedah buku di Jakarta dan Makassar tahun ini juga, insya Allah.

Bagaimana Menumbuhkan Budaya Literasi?
Budaya literasi—membaca dan menulis—dapat ditumbuhkan lewat beberapa cara. Pertama, menjaga semangat ingin tahu yang tinggi. Semangat ingin tahu merupakan dasar bagi langkah selanjutnya seperti belajar, membaca, menulis, dan melangkahkan kaki. Misalnya, ketika kita ingin tahu sesuatu atau seseorang, maka jemari kita akan mudah untuk googling. Ketika kata kunci, dan tunggu hasilnya. Semudah dan sesimpel itu. Ini era digital. Kita harus memanfaatkan segala kemudahan yang ada.

Kedua, jangan malu untuk bertanya dan berlatih. Ada yang bilang, kalau kita sering bertanya adalah tanda kita tidak cerdas. Itu tidak tepat. Tapi memang, jika keseringan bertanya juga tidak bagus kesannya. Maka, bertanyalah hal-hal penting dan inti kepada orang lain kemudian carilah jalan untuk itu. Di era medsos seperti sekarang banyak sekali jalan untuk bertanya ke orang; bisa via WhatsApp, Line, Instagram, Facebook, atau email. Sangat murah, dan sangat mudah. Jika sudah bertanya dan dapat jawabannya, segeralah berlatih. Jangan berhenti sekedar tahu, tapi lanjutkan dengan aksi.

Ketiga, berteman dengan buku. Ada banyak buku di perpustakaan yang mungkin belum kita baca. Segeralah kunjungi perpustakaan dan baca buku yang ada. Saat baca, usahakan catat juga hal-hal penting yang ada dari buku itu. Tulis judul buku, penulis, penerbit, tahun terbit, dimana penerbitannya, dan apa kutipannya serta halaman berapa. Usahakan tulis itu semua dalam buku catatan tersendiri. Kelak, misalnya untuk menulis skripsi, tesis, atau disertasi, catatan-catatan itu sangat membantu dalam pengutipan. Kata pepatah Arab, “sebagai-baik teman duduk adalah buku.”

Catatan Penutup
Semua penulis yang kita kenal sekarang awalnya tidak bisa menulis tapi karena mereka berusaha akhirnya mereka bisa jadi penulis. Artinya, semua ini faktor usaha. Stephen Hawking tidak akan bisa menulis buku bagus, A Brief History of Time, kecuali lewat semangat ingin tahu tentang “hukum alam semesta” dan ia tulis. Ibnu Khaldun, filsuf Tunisia juga tidak akan bisa menulis kitab Muqaddimah—yang lebih fenomenal ketimbang buku ‘Ibar yang diniatkan sebagai inti buku—karena semangat untuk merenung, berbagi, dan mencari hukum-hukum yang ada di semesta sosial. Para penulis Indonesia seperti Mahmud Yunus yang menulis Kamus Indonesia-Arab, Buya Hamka dan M Quraish Shihab yang menulis tafsir Al-Qur’an (pun demikian dengan para penulis di STAI Al-Ma’arif dan secara umum di kota Jambi ini), sampai penulis produktif dan populer seperti Habiburrahman El Shirazy, Ahmad Fuadi, Tere Liye, dan sebagainya, mereka menulis untuk belajar, berbagi, sekaligus untuk mengabdi. Tampaknya, mereka merasa bahwa apa yang dikaruniakan Tuhan kepada mereka adalah berkah yang harus disyukuri dan salah satu caranya adalah lewat menulis.

Kita semua bisa menulis jika kita mau dan berusaha. Jangan membandingkan diri sendiri dengan orang lain, tapi berusahalah, bersiasatlah. Jaga semangat belajar, baca buku, dan terus menulis. Jangan mudah jatuh, jangan mudah frustasi, dan jangan mudah patah. Masa depan Indonesia merasa di tangah generasi yang tidak mudah jatuh, tidak mudah frustasi, dan tidak mudah patah karena berbagai gelombang yang datang bertubi-tubi. *

Jambi Selatan, 24 September 2017

Yanuardi Syukur, adalah dosen Antropologi Universitas Khairun, Ternate yang saat ini mengikuti program doktoral di Antropologi FISIP UI sekaligus mengajar di program sarjana FISIP UI. Saat ini, ia aktif di Forum Lingkar Pena (FLP), Asosiasi Guru Penulis Indonesia (Agupena), dan sebagai Ketua Forum Alumni Muslim Exchange Program (MEP) Indonesia-Australia. Email: yanuardisyukur@gmail.com
Tulisan dibawakan pada Seminar Nasional STAI Al-Ma’arif, Jambi, 24 September 2107.

Pin It on Pinterest

Share This