SOLO, FLP.or.id – Menurut logika umum, jika ilmu dan informasi menghadapi bencana dikuasai dengan baik melalui literasi kebencanaan, maka akibat buruk bencana dapat diperkecil. Karena itu, pemahaman dan penyikapan masyarakat mengenai bencana dan bagaimana menghadapi bencana, merupakan hal penting yang tidak bisa diabaikan. Demikian dikemukakan Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Forum Lingkar Pena (FLP) Afifah Afra di Solo pada Kamis (30/11/2017).
Afifah berpandangan, literasi kebencanaan selama ini masih harus banyak diperbaiki, terutama dalam hal sosialisasi. “Misal, saat terjadi gempa, apa yang harus dilakukan. Indonesia sangat rawan gempa karena ada di cincin api Pasifik. Tapi sejauh ini sosialisasi belum baik,” katanya di sela penyiapan gerakan FLP Peduli untuk bencana banjir, longsor, dan gunung berapi baru-baru ini.
Afifah menjelaskan contoh fenomena ketika terjadi lindu. “Kalau gempa, orang spontan lari keluar. Maka korban banyak, karena kejatuhan benda-benda dari atap. Di Jepang, kalau gempa, anak-anak lari ke kolong meja.”
Hal itu, menurut Sri Widiyastuti, penulis cerita anak yang pernah bermukim selama 5 tahun di Jepang, karena memang anak-anak sering dibimbing melakukan simulasi. “Anak anak dibekali bantal untuk menutup kepala, saat jongkok di bawah meja,” ujarnya.
Sri melanjutkan, simulasi sejenis itu selayaknya rutin dilakukan di Indonesia. “Misalnya terkait banjir dan longsor. Karena sepertinya dua hal ini yang sering terjadi,” lanjut perempuan yang juga Sekretaris BPP FLP itu.
Kondisi literasi kebencanaan yang cukup baik di Jepang, menurut Afifah, mestinya ditiru juga di Indonesia. Meski demikian, ia memberi apresiasi tinggi, karena dari interaksinya dengan pekerja di lembaga kemanusiaan, sosialisasi semacam itu sudah banyak dilakukan. “Tapi masih terbatas sih jangkauannya.”
Afifah juga menjelaskan ketika dirinya diminta sebuah lembaga bantuan kemanusiaan nasional. Kala itu ia bertugas untuk menulis buku kisah relawan Merapi. Ia diajak kru lembaga memasuki Merapi yang masih dipenuhi abu panas dan sisa solfatara. “Oleh-olehnya, selain buku kisah, juga ada satu cerpen yang alhamdulillah menang lomba penulisan tingkat nasional,” kata perempuan yang menggawangi BPP FLP 2017-2021 dengan tagline “literasi berkeadaban” itu.
Pola literasi kebencanaan bisa diwujudkan dengan penerbitan buku. Menurut Sri, buku-buku semacam itu bukannya tak ada. Dari pengamatannya, buku-buku literasi kebencanaan tersebut disusun melalui kerjasama dengan CSR. “Misalnya ada buku yang dikeluarkan lembaga kursus bahasa Inggris. Isinya tentang mitigasi bencana alam, kontennya berbahasa Inggris. Bukunya dikemas dalam bentuk komik,” katanya menguraikan.
Masih senada dengan Afifah, Sekjen BPP FLP Ganjar Widhiyoga menyampaikan sorotannya ihwal sosialisasi yang kurang, terutama jika memetik pelajaran dari pengalamannya selama menempuh program doktoral di Inggris.
“Di UK, badai seperti yang belakangan ini terjadi, biasanya sudah diprediksi sejak sepekan sebelumnya, meski tingkat akurasi masih rendah. Masyarakat sudah diminta untuk menyiapkan persediaan makanan, ada lokasi shelter, lengkap dengan info nomor darurat dan sebagainya,” tutur Ganjar.
Ganjar menilai, di Indonesia, persebaran informasi terkait kebencanaan di masih sangat mendadak, sehingga terlalu mepet untuk suatu antisipasi. “Misalnya info bahwa siang sampai dengan malam masih peluang hujan, itu baru keluar 10 menit sebelum waktunya. Qadarullah langsung hujan nih. Lha kapan siap-siapnya?” lanjutnya.
Terkait peran media, Sri mengingat kembali pengalamannya di Jepang, ketika taifu (angin topan) mengancam tempat mukimnya, Kanto. “Pokoknya deg degan waktu itu. Tiap hari mantau BMKG setempat. Sebab di televisi tayang 24 jam di sela program TV lainnya. Kadang tayang sebagai breaking news,” katanya. Sesuai arahan dari otoritas setempat, ia pun sudah menyiapkan ransel berisi keperluan seminggu untuk menghadapi taifu. “Kami sekeluarga juga sudah saling janjian ketemu di daerah Shiakusho kalau terpisah sebab bencana,” cerita Sri. Ia sendiri akhirnya bersyukur, karena taifu berbelok, tidak melewati daerah Kanto.
Terkait upaya nyata dalam membina literasi kebencanaan, Afifah memandang perlu adanya sinergi antara para penulis dengan lembaga pemerintah yang terkait dengan penanganan bencana.