Selasa, November 26Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti

Empat Tips Menulis Buku

doc. Pribadi
doc. Pribadi

“JIKA kau ingin hidupmu berhasil, kau harus membangunnya,” begitu kutipan sebuah film, judulnya Runner Runner di layar lebar. Dalam konteks menulis,  kutipan tadi bisa diubah menjadi, “Jika kau ingin jadi penulis, kau harus menulis!”

Konon, ada yang pernah bertanya kepada budayawan Kuntowijoyo, bagaimana cara jadi menulis. Kata beliau, cara menjadi penulis itu cuma tiga: 1. Menulis, 2. Menulis, dan 3. Menulis! Ternyata, tetap sama, menulis-menulis juga jawabannya.

Hampir sama dengan dua kutipan di atas, novelis Stephen King punya nasihat untuk mereka yang ingin menulis. “Kunci untuk menjadi penulis,” kata King, dalam Stephen King On Writing, ada dua cara yang intinya: 1. Banyak-banyak membaca, dan 2. Banyak-banyak menulis!

Bagaimana cara menulis buku? Ada empat tips yang bisa kita perhatikan dalam menulis buku.

TENTUKAN TOPIK

Seorang penulis perlu menentukan topik apa yang hendak ia tulis. Waktu Barack Obama lagi naik daun, banyak sekali yang menulis tentang dia, tidak hanya di luar negeri, tapi di negeri kita juga. Beberapa judul seperti: Menelusuri Jejak Barack Obama di Jakarta, Barack Obama Menerjang Harapan, dan Jangan Bunuh Obama!

Dalam memilih topik, seorang penulis perlu memperhatikan faktor minatnya. Tulislah topik-topik yang diminati, bahan-bahannya ada (tersedia hard copy atau soft copy-nya, atau ada informan yang tahu tentang topik itu), dan kemungkinan bisa diselesaikan.

Topik bisa diperoleh lewat banyak cara. Bisa dari penglihatan, pendengaran, atau segala pengalaman. Tiap hari pasti tiap kita dapat pengalaman—baik itu pengalaman pribadi atau pengalaman orang lain. Dari tiap pengalaman itu pasti ada saja hal-hal menarik yang jika diangkat menjadi buku akan menarik dan inspiratif. Peribahasa “Pengalaman adalah guru terbaik” itu benar, bahkan bisa dipakai dalam penentuan topik kita dalam menulis. Buku Detik-Detik yang Menentukan-nya Habibie misalnya, itu dibuat berdasarkan pengalamannya dalam menjalani transisi demokrasi di Indonesia yang tidak ringan.

BUAT OUTLINE

Outline adalah kerangka karangan. Umumnya kalau sudah ada outline, seorang penulis sangat terbantu dalam menulis. Outline berguna sebagai kerangka sekaligus batasan-batasan dalam menulis. Tentu saja dalam menulis sebuah tema ada baiknya kita fokus pada satu atau dua hal. Jangan terlalu banyak hal hendak dibahas. Makin fokus dalam outline, makin bagus.

Sebagai gambaran dasar untuk pemula, berikut contoh outline buku saya berjudul Presiden Mursi: Kisah Ketakutan Dunia pada Kekuatan Ikhwanul Muslimin yang ditulis tak lama setelah Jenderal Abdul Fattah Al Sisi mengumumkan pencopotan Presiden Mesir Dr. Muhammad Mursi pada Juni 2013. Buku ini ditulis pada Juli 2013 di Ternate dan Jakarta saat menghadiri pelantikan Rektor Universitas Khairun bersama beberapa Rektor PTN lainnya oleh Mendikbud M. Nuh, dan komunikasi saya dengan penerbit (Mas Iqbal Aji Daryono) dilakukan secara online di Facebook. Berikut outline buku tersebut:

 

PENGANTAR PENULIS

PROLOG – MURSI SEBAGAI PEMIMPIN ISLAM

BAGIAN 1 – IKHWANUL MUSLIMIN DARI MESIR

Negeri Penuh Rindu

Al-Banna dan Al-Ikhwan

Pemikiran Politik Hasan al-Banna

Jejaring di Luar Mesir

Militansi Kader

BAGIAN 2 – PROFIL PRESIDEN MURSI

Jalan Kaki Empat Kilo

Sederhana, Hafal Qur’an, dan Berprestasi

Dosen, Tinggal di Apartemen Sederhana

Bersama Ikhwan

Keluar Masuk Penjara

Yaumul Ghadab

Akhir Kekuasan Mubarak

Jadi Presiden

Orang ke-4 Berpengaruh di Dunia

Rahasia Kemenangan Mursi

Hari-Hari Bersahaja Sang Presiden

Sebab Mursi Cepat Dicintai

Konstitusi Baru dan Dekrit

Setuju Jihad ke Suriah

BAGIAN 3  – ABORSI POLITIK DAN KUDETA ITU

Kekhawatiran AS dan Israel

Antara Tahrir dan Rabiah

Ultimatum 48 Jam

Tetap Melawan

Faktor Militer

Respon Barat

Respon Tokoh Muslim

Respon al-Ikhwan

Adly Mansour, Sang Pengganti

Mursi Pasca Kudeta

Aborsi Politik dan Peranan Barat, Mungkinkah?

Kebiri Demokrasi

EPILOG – KUDETA DAN BENCANA DEMOKRASI

DAFTAR PUSTAKA

PROFIL PENULIS

 

Berikut tips menulis buku 

TULIS DENGAN BEBAS

Terkadang, seorang penulis (terutama pemula) terpenjara dengan berbagai belenggu. Misalnya, takut salah, takut hasil bukunya tidak bagus, takut tidak best seller, takut tidak selesai, bahkan takut jangan-jangan nanti bukunya dicemooh/dilecehkan orang lain. Ketakutan tersebut bisa jadi belenggu yang “berbahaya” dalam proses menulis. Untuk itu, maka ketika hendak menulis, seorang penulis harus membebaskan dirinya dari belenggu-belenggu tersebut. Jangan takut salah, jangan takut tidak bagus, jangan khawatir naskah tersebut tidak selesai (kalau naskah itu diminati, pasti bisa selesai), jangan pusing dengan buku apakah nanti best seller atau tidak, dan jangan takut dilecehkan orang lain.

Penulis yang baik adalah yang membebaskan dirinya dari berbagai belenggu itu. Ibarat burung yang terbang di angkasa, ia menerbangkan dirinya dengan bebas kemana pun ia mau. Ia tidak peduli apa kata orang, selama yang dilakukannya itu benar. Buya Hamka ketika menulis tafsir al-Azhar di penjara Orde Lama, tentu saja referensinya tidak banyak, tapi ia memberanikan dirinya untuk itu sambil mengingat-ingat dan menyempurnakan tulisannya belakang hari. Atau dalam konteks fiksi, ketika belum banyak yang memasukkan nilai Islam secara ketat dalam badan naskah, Habiburrahman El Shirazy memberanikan dirinya untuk itu dalam novelnya Ayat-Ayat Cinta yang fenomenal itu. Artinya, sebagai penulis, kita menulis saja apa yang menurut kita benar, dan jangan khawatirkan godaan-godaan yang kontraproduktif.

EDIT SECARA KETAT

Sesempurna naskah kita tulis, pasti ada kekurangannya. Seorang penulis perlu memerhatikan secara ketat isi naskahnya, baik konten maupun teknisnya. Bisa jadi saat menulis kita alpa, dan membuat kesalahan. Kesalahan itu—jika hanya teknis—mungkin bisa dimaklumi, tapi kalau kesalahannya itu kesalahan data, misalnya, akan repot jadinya. Olehnya itu, dalam pencarian data, sebaiknya data-data yang otoritatif kita pakai, dan usahakan sumber pertama.

Jika sebuah naskah telah selesai diedit, bisa juga diperlihatkan pada seorang editor (atau penulis senior) untuk mengeditnya lagi. Masukan dari seorang editor (atau penulis itu) cukup baik untuk memberikan masukan dari “orang luar” terhadap naskah yang kita buat. Masukan-masukan tersebut perlu dipertimbangkan, dipikirkan kembali apakah sudah cocok atau belum. Masukan dari luar akan semakin memperkaya isi naskah dan skill kita dalam menulis. []

 

Yanuardi Syukur. Artikel ini pernah dibawakan pada Workshop Guru Menulis 2013, Asosiasi Guru Penulis Indonesia (AGUPENA) Sulsel, di Aula Penerbit Erlangga Makassar, Ahad 29 September 2013.

 

 

 

 

 

8 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This