Salah satu materi penting dalam pertemuan ini adalah soal proses penetapan fatwa MUI. Terkait fatwa penodaan agama yang dilakukan Ahok misalnya, ada yang mengatakan bahwa fatwa itu bersifat pesanan dari orang-orang tertentu. Akan tetapi, dibantah oleh Dr. KH. Cholil Nafis (Ketua Komisi Dakwah MUI), Ir Sumunar Jati (Wakil Direktur LPPOM MUI) dan Dr. Asrorun Niam Sholeh (Sekretaris Komisi Fatwa MUI) yang menjelaskan dalam sesi “Isu public MUI: Fatwa Halal dan Keuangan Islam.”
Dr. Cholil menjelaskan bahwa proses penetapan fatwa tidak satu kali duduk, akan tetapi dilakukan dalam kajian berkali-kali dan tidak asal-asalan. Adanya kelompok di luar MUI yang mengatasnamakan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI) yang beberapa anggotanya merupakan pengurus MUI menurut Cholil adalah baik dalam arti untuk mensosialisasikan fatwa-fatwa MUI.
“Akan tetapi secara internal, MUI juga memiliki pengawal fatwa tersendiri yaitu Dewan Pengawas Syariah,” kata Cholil Nafis yang juga menambahkan bahwa fatwa MUI ada yang bersifat mengikat (mulzim) namun ada juga yang tidak mengikat secara undang-undang.
Dalam prosesnya juga, ada fatwa yang dibuat karena permintaan pemerintah untuk memperjelas sebuah masalah keagamaan seperti kasus Lia Eden dan Mushaddeq, namun ada juga fatwa yang lahir dari pertanyaan masyarakat kemudian dibahas oleh MUI dan dikeluarkan fatwa tentang itu seperti kasus penodaan agama yang dilakukan oleh Ahok.
Dalam hal pengawalan fatwa lagi, kata Cholil Nafis, MUI tidak memiliki kepentingan tiap fatwanya dikawal akan tetapi menjadi kewajiban tidak muslim untuk mengamalkannya, termasuk kewajiban untuk menangkal berita bohong yang cepat sekali beredar di masyarakat.
Sumunar Jati menjelaskan tentang pentingnya kejelasan halal dalam sebuah produk yang membuat LPPOM dianggap sebagai sumber keuangan bagi MUI. LPPOM bekerja dalam konteks untuk memberikan kejelasan apa saja produk yang halal untuk dikonsumsi umat Islam.
Sementara itu, Dr. Asrorun Niam Sholeh menjelaskan bahwa fatwa lahir sebagai jawaban atas pertanyaan masyarakat terkait masalah keagamaan yang berlaku untuk umum. “Fatwa MUI mempertimbangkan juga masalah sosial-kemasyarakatan,” kata beliau.
Untuk memperjelas soal penetapan fatwa ini, tiap peserta juga dibagian sebuah buku tipis yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI berjudul “Pedoman Penetapan Fatwa.” *
*Yanuardi Syukur. Pengurus FLP Pusat Divisi Karya periode 2013 – 2017. Penerima Beastudi Etos Dompet Dhuafa 2001-2003. Dosen Program Studi Antropologi Sosial Universitas Khairun, Ternate.