Guru Besar Ilmu Komunikasi UI Profesor Ibnu Hamad memulai materinya dengan menjelaskan terkait doktrin bahwa berita yang baik adalah yang lengkap, ada 5W1H, putih harus putih hitam harus hitam (dikontrol oleh idealitas).
“Berita adalah hasil dari konstruksi realitas dan citra berita sangat tergantung pada kepentingan di baliknya,” kata Ibnu Hamad.
Hamad juga menjelaskan bahwa naskah berita juga menjadi arena pertarungan sehingga terkadang berita dari lapangan berbeda setelah masuk di meja redaksi karena pertimbangan iklan, kepentingan, dan lain sebagainya.
Permainan bahasa dalam berita tidak bisa dinafikan adanya. Ada banyak fakta yang masing-masing orang melihatnya akan tetapi berbeda ketika ditulis dalam berita. Hal ini menurut Hamad tidak lepas dari permainan bahasa dan kepentingan di balik berita tersebut.
“Bahkan, menulis berita adalah berpolitik,” lanjut Ibnu Hamad, “dan semua media bersifat partisan dalam artian narasumbernya dipilih, fakta diframing dan bahasanya juga diatur.”
Sebagai jurnalis muslim kita membuat berita yang sesuai dengan maqashidus syariah, yaitu: menjaga agama (hifzhuddin), menjaga jiwa (hifzhunnafs), menjaga akal (hifzhul ‘aql), menjaga keturunan (hifzhunnasl), dan menjaga harta (hifzhulmal).
“Jika media Islam ingin marwahnya semakin baik maka formalismenya mengikuti kode etik struktur yang berlaku umum dengan ruh menyerukan maqashidus shariah atau tujuan-tujuan dari syariah Islam,” sambungnya lagi. *
*Yanuardi Syukur. Pengurus FLP Pusat Divisi Karya periode 2013 – 2017. Penerima Beastudi Etos Dompet Dhuafa 2001-2003. Dosen Program Studi Antropologi Sosial Universitas Khairun, Ternate.