Paparan Cak Amir dalam mengelola Rumah Cahaya FLP Probolinggo membuat moderator Yusi Rahmaniar tak bisa berkata apa-apa alias speechless. Cak Amir mendedikasikan waktu dan hidupnya untuk mencerdaskan masyarakat di sekitarnya.
Minggu malam, 12 November 2023, Cak Amir bercerita tentang pengalamannya mendirikan dan mengelola Rumah Cahaya. Rumah Cahaya itu berada di lingkungan warga desa yang tidak terlalu peduli pada pendidikan. Mayoritas orang tua di sana berpendidikan rendah.
Bersama istri tercinta, Cak Amir, begitu ia akrab disapa, berupaya membangun kesadaran warga agar lebih peduli pendidikan. Tantangan utama yang mereka hadapi adalah situasi sosial-budaya yang tidak berpihak pada anak.
Di sana, problem utama masyarakatnya adalah pernikahan dini. Ketika anak perempuan sudah menginjak kelas VI, lamaran melayang kepada keluarganya. Setelah menjalani pernikahan selama setahun dan dianugerahi satu anak, mereka bercerai.
Di sisi lain, anak laki-laki yang lulus SD diberi dua pilihan oleh orang tuanya: bekerja atau tidak sekolah sama sekali. Bagi orang tua, bekerja adalah mendapatkan uang dari hasil memeras keringat sebagai pembuat batu bata atau buruh tani.
“Dari kasus itu berdampak pada pernikahan dini dan angka perceraian yang tinggi,” ujar Cak Amir. Saat Pandemi Covid-19 menghantam negeri ini, angka pernikahan dini di kampungnya meningkat drastis.
Berdasarkan pengamatan dan hidup bersama mereka, Cak Amir melakukan pemetaan kondisi masyarakat. “Kita harus tahu problem di masyarakat dan FLP pandai menempatkan diri,” ungkapnya.
Ia kemudian membangun Rumah Cahaya dengan kegiatan bervariatif. Selain meminjamkan buku kepada para pengunjung, Cak Nur dan istri membuat bimbingan belajar (pukul 19.00—21.00) dan pengajian. Semuanya gratis.
Tak hanya diam di Rumah Cahaya, ia pun menghelat Pustaka Motor Bergerak. Ia berbagi dan membacakan buku kepada anak-anak di Taman Pendidikan Al-Quran dan SD. Di lembaga pendidikan, ia juga mengganti Al-Quran lama dengan Al-Quran baru hasil donasi.
Cak Amir mengaku kesulitan membangun Rumah Cahaya karena tidak memiliki relawan tetap. Relawan hanya 2 orang: ia dan istrinya.
Kadang ia dibantu oleh teman dan warga sekitar namun hanya dalam bentuk kegiatan insidental. Terlebih tidak ada buku di wilayah tempat tinggalnya. Ia berupaya mencari donasi buku.
Maka, dengan sedikit berseloroh, Cak Amir mengatakan bahwa tema Bincang Petang (Bintang) Rumah Cahaya yaitu Cara Mudah Mengelola Rumah Cahaya tidak tepat sebab ia mengelolanya dengan cara yang susah.
Ia pun masih memerlukan bantuan dan kerja sama dengan berbagai pihak untuk menjalankan program-program Rumah Cahaya FLP Probolinggo.
Sementara Koko Nata, Ketua Harian 2 Badan Pengurus Pusat Forum Lingkar Pena (BPP FLP), mengatakan Rumah Cahaya menjadi lokasi alternatif berkumpul bagi anak-anak dan orang tua. Setidaknya untuk mengurangi kecanduan anak pada gawai.
“Itu menjadi salah satu peluang bagi taman baca atau rumah baca sebagai tempat berkumpul bagi anak,” ucapnya saat menyampaikan sambutan.
Namun, tambahnya, rumah baca tidak sekadar tempat berkumpul. Perlu dibuat beragam kegiatan menarik sehingga anak betah berlama-lama di sana. Orang tua pun dapat dilibatkan sebagai fasilitator kegiatan.
“Yang penting komitmen, akan semakin banyak yang akan bergabung dan terinspirasi,” ujarnya.
Bintang Rumah Cahaya digelar melalui aplikasi Zoom. Acara diikuti oleh internal anggota FLP.
Acara perdana yang dihelat Divisi Rumah Cahaya BPP FLP ini merupakan wahana berbagi pengalaman pengurus dalam mendirikan dan mengelola Rumah Cahaya.
Diharapkan, melalui diskusi daring ini, tumbuh motivasi, semangat, dan inspirasi para pengurus FLP di lingkup wilayah dan daerah, baik yang sudah maupun belum memiliki Rumah Cahaya, untuk terus mendedikasikan diri bagi kemajuan literasi di tanah air.* (Billy Antoro)