Dua Minggu di Australia (2):
Catatan Peserta MEP Grup 1 2015
Tiba di Melbourne
Pukul sepuluh kuranglebih waktu setempat. Kami tiba di Melbourne setelah ketinggalan pesawat karena cukup lama ‘antri’ pemeriksaan bagasi di Customs & Border Protection. Berlapis-lapis pemeriksaan membuat jarak antara landing di Sydney dengan take off ke Melbourne menjadi sangat cepat. Selain pemeriksaan pakai detector dan semacamnya, beberapa anjing juga mengendus koper kami. Masing-masing menjaga jarak dengannya. “Untuk memastikan tidak ada narkoba,” kata salah seorang kawan. Untuk masuk ke negara orang memang kita diminta untuk men-declare apa-apa yang kita bawa, kemudian diperiksa lagi beberapa lapis.
Walau kita sudah berlari-lari dorong bagasi, tetap waktunya tidak cukup. Tapi baiknya kami tetap bisa berangkat ke Melbourne naik pesawat selanjutnya. Satu jam kuranglebih dari Sydney ke Melbourne. Saya duduk paling belakang pinggir. Sambil makan kue kering, dan minum air dingin, saya melihat ke bawah. Gunung-gunung begitu setia menjaga tanah Australia. Dari atas nyaris tidak ada manusia di bawah. Mungkin hanya hewan-hewan dan tetumbuhan yang hidup. Di tanah Australia memang tidak semua tanahnya bisa ditinggali manusia. Selain karena jarak, akses, juga karena beberapa daerah bergunung-gunung dan tidak cocok dijadikan tempat tinggal.
Dari pesawat Virgin ini saya mencoba menulis beberapa ‘status’ panjang, di buku Australian Aid yang diberikan Kedutaan. Tentang gunung-gunung yang berdiri tegak menjaga bumi Allah Australia. Tentang pentingnya mengadakan perjalanan ke luar dari negeri kita. Tentang ikhtiar untuk belajar dari siapapun dan dari manapun. “Kebaikan adalah mata uang universal, dan dapat ditemukan dimana-mana.” Kita bisa belajar baik tidak hanya dari laut, gunung, atau sejarah negeri kita, tapi juga dari keindahan, perjuangan, dan perjalanan bangsa lain. Tak bisalah kita menutup mata, bahwa saat ini terjadi salingpengaruh dunia yang begitu cepat. Kita bisa belajar dari mana saja, karena semua ini adalah ciptaan Allah yang harus dipelajari dan diambil hikmahnya.
Tiba di Bandara Melbourne, kami langsung dijemput Ibu Chris Raffertty-Brown dengan seorang driver asal Turki. Tiba di bandara saya merasa senang karena bisa menginjakkan negeri Melbourne yang sudah dikenal dimana-mana. Saya pikir sebagai kota berpenduduk multikultural, Melbourne bisa menjadi salah satu inspirasi untuk bagaimana menciptakan multicultural society, yang bisa hidup rukun, damai, saling menghargai dan toleransi. Sesungguhnya Islam adalah agama yang cinta damai.
Ke Melbourne University
Dari bandara kami langsung ke Asia Institute di kampus The University of Melbourne. Di sana kata Ibu Chris, kami sudah ditunggu oleh Rowan Gould, lelaki baik dan cerdas keturunan Indonesia-Australia. Ternyata, Rowan adalah menantu dari Ibu Chris. Rowan menikah dengan anaknya ibu Chris, Brynna namanya. Awalnya beberapa teman menganggap bahwa Chris adalah laki-laki sehingga mereka memanggil ‘Pak Chris’ via email, akan tetapi ketika bertemu ternyata perempuan. Memang masalah nama (apalagi panggilan ini beda-beda tipis antara Chris yang laki-laki dan perempuan).
Tiba di kampus Melbourne, saya melihat keteraturan yang baik, dan bersih. Kampus Universitas Melbourne tidak bersatu padu seperti kita di Indonesia. Kampusnya terpisah-pisah oleh jalanan. Ada juga yang tempatnya agak jauh. Turun dari taksi, kami disambut oleh Rowan Gould, dan langsung menuju ke gedung Asia Institute yang berada di lantai 3. Keluar lift, kami langsung disambut oleh Professor Pookong Kee, direktur Asia Institute. Beliau orang Singapura, dan logat bahasa Inggrisnya jelas. Itu jadi memudahkan kita untuk mengerti.
Kami mulai pertemuan dengan perkenalan. Saya memulai perkenalan dengan menceritakan asal saya dari Ternate, Maluku Utara. “Ternate di masa lalu adalah daerah yang diperebutkan banyak orang Eropa karena rempah-rempahnya,” kata saya. Saya juga mengajar di Program Studi Antropologi Sosial di Universitas Khairun, dan juga menulis lebih dari 30 buku. Saya bilang bahwa saya tertarik untuk belajar, bahkan jika memungkinkan suatu saat bisa menulis tentang hubungan antara pelaut Makassar dengan Aborigin Australia. Ya, dalam sejarah masuknya Islam di Australia dijelaskan bahwa Islam masuk lewat interaksi antara pelaut-pelaut Makassar (Makassan) dengan orang Aborigin di utara Australia. Interaksi yang tidak sekedar membeli teripang, tapi juga dakwah. Tidak ada kekerasan dalam masuknya Islam ke Australia. Saya pikir, menulis tentang hal ini cukup menarik, dan itu sempat saya sampaikan kepada para pewawancara program MEP 2015 di kampus Universitas Paramadina. Selanjutnya, via facebook saya jalin kontak dengan Dr. Ismail Suardi Wekke, seorang sarjana asal Makassar yang banyak keluar negeri dan tertarik untuk menulis tema itu berdua. Saya berharap bisa lama dan menulis buku di perpustakaan seperti State Library of Victoria, akan tetapi walau tidak sempat berlama-lama di perpustakaan, mengunjunginya saja haruslah menjadi motivasi bagi saya untuk menguatkan tekad untuk menyelesaikan artikel tersebut. Berharap artikel itu bisa menjadi buku.
Teman-teman lain juga memperkenalkan dirinya. Ahmad Saifulloh memperkenalkan dirinya sebagai dosen di Universitas Darussalam Gontor, dan aktif pada pusat studi Islam dan Barat; Hindun Anisah menjelaskan dirinya sebagai aktivis Rahima, salah satu organ perempuan yang membela hak-hak perempuan; Lenni Lestari sebagai dosen di Aceh, juga menulis tesis tentang Muhammad Izzah Darwazah, salah seorang pakar tafsir hadis; dan Siti Rohmanatin Fitriani tidak lepas memperkenalkan dirinya sebagai trainer sosial di salah satu kementerian dan ditempatkan di Jayapura. Dalam pertemuan ini, selain Prof Pookong Kee, juga Philip Knight, Rowan Gould, dan Michael, dan seorang dosen lainnya. Dalam diskusi, Prof Kee menjelaskan tentang multikulturalisme di Australia. Menurutnya, Australia adalah negara yang didatangi oleh banyak warga dunia dan terjadi pembauran. Apapun pilihan agamanya, tiap warga negara harus taat pada aturan. Memang kelihatan bagaimana ketaatan warga pada aturan. Hal itu terlihat misalnya dari lalu-lintas, kemudian pemerintah juga terlihat begitu peduli pada kenyamanan dan kemanan pejalanan kaki sehingga mereka membuat jalanan yang enak dan bikin betah.
Menurut Prof Kee, di kampus Universitas Melbourne, mereka mengajarkan beberapa bahasa asing, seperti Indonesia, China, Japan, dan Arab. Di list nama dosen, saya melihat nama-nama mereka semua dengan spesialisasinya. Ia juga menjelaskan bahwa di Melbourne ada Prof. Abdullah Saeed, salah seorang pakar dalam kajian Islam dan bisa menjelaskan banyak tentang Islam di Australia. Beliau misalnya, pernah membuat workshop untuk para imam masjid di Australia tiap tahun untuk menciptakan pemikiran keislaman yang moderat dan toleran. Pemikiran radikal dan ekstrimis memang dihindari untuk itu.
Masih menurut beliau, di Melbourne tidak ada konflik antar agama. Adapun jika ada, itu karena konflik para gang akibat dari DO dari sekolah, atau karena faktor pengaruh mereka pernah berkonflik di luar Australia kemudian dibawa ke sini. Namun, secara umum kata beliau Melbourne ini kota yang aman, didatangi oleh banyak orang, dan menjadikan kota ini majemuk. Kurang lebih ada 25 persen imigran yang ada di Melbourne.
Di kampus Melbourne, mereka mengajarkan yang secular, akan tetapi mahasiswanya termasuk religious karena di asrama mereka juga punya komunitas keagamaan. Artinya bahwa kampus sebagai wadah yang umum tidak mengajarkan agama secara ketat, wajib, dan memaksa. Akan tetapi tiap mahasiswa diberi kesempatan untuk terlihat dalam ekspresi keagamaan di tempatnya masing-masing.
Kepada beliau saya bertanya tentang radikalisme mahasiswa. Ia menjawab bahwa radikalisme mahasiswa tidak ada di sini. Dulu pernah ada demonstrasi anti-Perang Vietnam. Akan tetapi belakangan tidak terlihat sikap-sikap radikal karena mahasiswa juga sibuk dengan tugasnya masing-masing. Ini berarti bahwa sikap radikal atau mungkin ekstrimis sangat erat kaitannya dengan tidak memiliki kegiatan yang jelas di kampus. Jika mahasiswa merasa nyaman untuk belajar, maka mereka akan berfokus pada belajar saja, tidak terlibat dalam aksi-aksi radikal.
Ke Perpustakaan Victoria
Siang harinya, setelah beristirahat sebentar di Darling Towers apartment yang terletak di Collins Street, kami mengunjungi State Library of Victoria. Bangunannya megah, khas Eropa. Melihat bangunan ini terbayanglah kita pada gedung-gedung tua yang ada di film atau buku-buku tentang Eropa. Ramai mahasiswa yang lalu-lalang di sini. Saya tidak melihat adanya sikap santai di sini. Mereka masing-masing belajar, atau mengobrol dengan kawannya. Sikap memanfaatkan waktu kayaknya memang dipahami sebagai sesuatu yang wajib untuk diamalkan.
Di dalam perpustakaan, Ibu Chris yang memandu kita menjelaskan tentang perpustakaan ini dan beberapa pajangan yang ada. Kita selingi dengan foto-foto. Foto ini penting karena jarang-jarang kita bisa ke sini. Kami dibawa ke dalam perpustakaan. Koleksi foto jadulnya Melbourne ada di sini. Ada sebuah foto gunung tikus. Rupanya tikus-tikus yang memakan tanaman masyarakat itu diburu dan ditumpuk jadi satu gunung.
Dari lantai atas ketika melihat ke bawah, tampak ruangan tengah seperti Library of Congress di Amerika. Saya terbayang seperti sedang di salah satu film yang diperankan Nicholas Cage. Menarik dan bagus tempatnya. Konon, memang sengaja dibuat semirip itu. Setelah jalan-jalan ke Perpustakaan, kami kembali ke apartement dan beristirahat untuk makan malam bersama beberapa alumni MEP.
Inspirasi di Curry Vault
Kami bertemu dan berdialog santai dengan beberapa alumni MEP di Curry Vault. Ada seorang alumni MEP, wanita, saya lupa namanya. Mereka banyak dialog dengan teman-teman kita yang wanita juga. Saya duduk di samping Philip Knight, mantan Dubes Australia untuk Saudi Arabia, dan berdiskusi tentang beberapa hal seperti politik Australia, Al Qaeda, ISIS, dan Ternate. Philip memperkenalkan saya dengan Ibu Nur Aini, istrinya yang asal Singapura tapi pernah bekerja untuk Library Australia di Jakarta.
Kepada Philip, saya mengusulkan agar beliau menulis biografi. Pengalamannya ketika jadi diplomat di Saigon, Arab Saudi, dan negara lainnya menarik untuk ditulis. Ia berkata, tidak ada yang menarik dari perjalanannya. Mungkin terlihat biasa-biasa saja, dan normal. Orang Australia katanya tidak begitu pusing dengan pengalaman seperti itu. Mereka bukan bangsa yang ada kasta sehingga membuat terjadi pembedaan di masyarakat. Mereka sama saja dengan warga lainnya, apalagi kalau sudah jadi ‘mantan.’
Kepada Philip saya menghadiahkan buku saya, ditandatangani. Tentu saja sesi foto juga tidak ketinggalan. Dari restoran kami pulang jalan kaki. Di depan apartment sebelum berpisah, setelah bilang “see you again”, Philip berkata bahwa suatu saat mungkin biografi saya akan ditulis oleh Pak Yanuardi. Saya hanya ketawa. Saya pikir mungkin ia bercanda, tapi masuk ke kamar saya bertanya ke Mas Saifulloh, “itu kalau beneran gimana mas?” Kata temanku yang pintar memasak itu, “Kalau benar itu bagus mas, dan ini kesempatan untuk menulis biografi orang penting seperti beliau.” *