Sebelum ayahnya meninggal di Karachi, Antropolog Akbar Ahmed yang saat itu mengajar di Princeton University mendapatkan wasiat dari ayahnya untuk menulis buku Sejarah Islam. Di mata ayahnya, sebagaimana tulis Ahmed dalam Discovering Islam (2001), sejarah Islam sangat mungkin untuk disalahpahami, dan olehnya jika para sarjana dapat menulisnya maka itu bisa menjadi “the greatest contribution” (kontribusi terbesar) yang dilakukan oleh mereka. Sejak itu, Ahmed pun berfokus menulis serial buku terkait sejarah Islam khususnya hubungan antara Amerika dan dunia Islam.
Saya jadi teringat dengan Buya Hamka. Ulama asal Maninjau, Sumatera Barat tersebut pernah menulis sebuah buku tebal berjudul “Sejarah Umat Islam” (SUI) lebih dari 600 halaman. Tidak seperti buku Hamka lainnya yang dikerjakan dalam waktu yang relatif singkat, buku SUI tersebut diselesaikannya selama 20 tahun. Kumpul bahan, tulis, dapat data, tulis. Kira-kira begitu.
Ketika Forum Lingkar Pena (FLP) berdiri pada 1997, para tokohnya–sebutlah tiga orang, Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, dan Maimon Herawati–memiliki visi yang sama, yaitu dakwah bilqalam atau berdakwah lewat pena. Mereka sama meyakini–mungkin seperti ayahnya Diplomat Akbar Ahmed–yang melihat bahwa Islam ada kemungkinan disalahpahami, dan olehnya itu para penulis muslim perlu bersatu untuk sama-sama berjuang dalam wadah FLP.
Pada tahun 2008, saya diajak oleh Mbak Helvy Tiana Rosa dan Mbak Setiawati Intan Savitri untuk hadir dalam pertemuan Liga Sastrawan Muslim se-Dunia atau Rabithah Al-Adab Al-Islami Al-Alamiyah, organisasi para sastrawan/penulis muslim sedunia yang memiliki cabang di 16 negara di dunia. Perwakilan Indonesia ketika itu diketuai oleh Kang Abik.
Prof. Dr. Quddus Abu Shaleh, perwakilan Rabithah Adab sempat menawarkan agar karya-karya penulis Indonesia diterjemahkan ke bahasa Arab agar dapat dinikmati oleh pembaca Arab. Saya tidak begitu tahu, apakah novel Kang Abik telah diterjemahkan ke bahasa Arab atau belum, akan tetapi usulan Prof. Quddus tersebut menarik untuk dilanjutkan lewat penerjemahan karya-karya FLP tidak hanya ke bahasa Arab akan tetapi juga bahasa Inggris. Sederhananya, yang bahasa Arab untuk konsumsi dunia Arab sedangkan bahasa Inggris untuk dunia Barat.
Suatu ketika, dalam program pertukaran tokoh muda muslim Indonesia-Australia di Melbourne, saya mendengarkan nasihat dari Bilal Cleland, seorang penulis produktif yang menulis buku “The Muslims in Australia: a Brief History”. Bilal berkata, bahwa Indonesia sangat berpeluang untuk menjadi bangsa yang besar, dan olehnya itu para sarjana muslim haruslah menulis sejarah mereka dan sejarah-sejarah yang ada dalam Islam dan dunia. Jika tidak, maka sejarah ini akan ditulis oleh orang lain yang rentan untuk disalahpahami, dan pada gilirannya akan menjadi keyakinan yang salah pula. Betul kata Bilal tadi. Jika kita tidak menulis, maka orang lainlah yang akan menulis.
Saat ini, Indonesia sangat berpeluang untuk menjadi bangsa yang besar, terutama dalam sejarah Islam. Sebagai bangsa dengan muslim terbanyak di dunia, Indonesia juga memiliki nilai luhur yang dapat menjadi teladan bagi bangsa-bangsa di dunia.
Pada kesempatan yang lain, saya bercerita kepada Bang Fahri Hamzah bahwa saya diajak oleh seorang kolega asal Australia yang mengajar di salah satu kampus di Pakistan untuk menjadi pembicara di seminar internasional. Rencananya, saya akan menjelaskan perkembangan Islam di Indonesia dan peranan Pancasila yang merekatkan bangsa Indonesia. Kata Bang Fahri, ia pernah hadir di Afghanistan dan berbicara soal persatuan Islam, akan tetapi problemnya Afghanistan–tetangga Pakistan–tidak memiliki “elemen perekat” seluruh bangsa seperti kita yang punya Pancasila.
Walaupun tidak semua orang setuju dengan Pancasila seperti kelompok teror yang mengatakan bahwa Pancasila adalah thagut dan pembelanya adalah ansharut thagut, tapi Pancasila diakui dan diterima oleh mayoritas ulama dan umat Islam di negeri ini. Jika dilihat lebih dalam lagi, baik kata per kata, ide per ide, apa-apa yang ada di Pancasila ternyata bersumber dari ajaran Islam seperti kata “ketuhanan”, “adil”, “beradab”, “hikmat”, “musyawarah”, dan lain sebagainya. Singkat kata, Pancasila bisa disebut sebagai “the greatest contribution” para tokoh Indonesia di periode awal kemerdekaan.
Kini, mungkin kita bisa bertanya, “apa kontribusi terbesar yang dapat saya berikan untuk agama dan bangsa ini?” Mereka yang mengikuti seleksi beasiswa LPDP pasti pernah menuliskan itu pada berkas “kontribusi terbesarku untuk Indonesia.” Berkas tersebut ingin melihat apa yang sebenarnya ingin diberikan si kandidat pada bangsa ini. Dari pernyataan tersebut akan terlihat bagaimana konstruksi berpikir kandidat tersebut.
Sebagai muslim, kita semua menyadari bahwa kehidupan dunia ini hanya sementara, fana, dan tidak kekal. Maka, alangkah ruginya jika umur yang ada tidak dimanfaatkan untuk menciptakan “the greatest contribution” pada agama, bangsa, bahkan bagi dunia. Nasihat dari pendiri Gontor yang mengatakan “hidup hanya sekali, hiduplah yang berarti!” baik sekali untuk kita ingat-ingat dan amalkan.
Era penulis masyhur seperti Hamka, Natsir, Hassan, dan lain sebagainya telah berlalu. Kini, era kita yang muda-muda. Sudahkah kita berpikir apa kontribusi terbesarku dalam dunia kepenulisan? Dan, apakah kontribusi tersebut telah saya jaga, rawat, dan terus kembangkan dan bagi kepada sesama sampai sekarang?
*Yanuardi Syukur. Kandidat Doktor di Universitas Indonesia. Staf Divisi Karya BPP FLP. Dosen Antropologi di Universitas Khairun, Ternate.
Kece badai, kang Yankur. Menarik jg ide ttg menerjemahkan karya bermutu penulis Indonesia ke dua bahasa Arab dan Inggris.